13 Mei 2024
53 / 100

Oleh Husni Rosyidah

Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 telah memasuki tahapan masa kampanye yang dimulai sejak hari Selasa (28/11) lalu. Kampanye akan berlangsung selama 75 hari hingga 10 Februari 2024 mendatang. Kampanye di media cetak, siber dan elektronik berlangsung sejak 21 Januari hingga 10 Februari 2024. Para kontestan mulai turun ke masyarakat guna mengkampanyekan visi, misi dan program kerjanya. Mereka mengumbar janji yang katanya akan memberikan solusi segala keluhan para rakyat. Tak hanya itu, KPU (Komisi Pemilihan Umum) juga akan menggelar debat capres dan cawapres sebanyak lima kali.

Masa kampanye tahun ini akan diisi dengan persaingan para kontestan pemilu yang bisa jadi akan memunculkan kampanye hitam antar kandidat. Tak cukup pita suara, baku hantam pun sangat mungkin terjadi. Bahkan sebelum kampanye dimulai, isu dugaan kecurangan sudah mulai bertebaran. Selain itu juga muncul kasus pakta integritas Bupati Sorong, Yan Piet Mosso yang berkomitmen mencarikan dukungan untuk capres-cawapres Ganjar-Mahfud (BBC.com, 15-11-2023).

Tingginya potensi konflik menandakan sistem ini penuh dengan intrik dan tipu daya berulang. Hoaks dan pencitraan satu keharusan yang tak terlewatkan. Ketika tahta telah berada dipangkuan janji, semua janji yang sebelumnya disebar hanyalah ilusi. Sistem demokrasi nyatanya bukan untuk kebaikan rakyat melainkan untuk para penguasa dan korporat semata.

Padahal, memilih pemimpin adalah hal penting yang harus penuh pertimbangan. Sebab nasib estafet peradaban ditentukan dari bagaimana seseorang memimpin dan seperti apa sistem yang diterapkan. Seharusnya pemilihan pemimpin dilandaskan kepercayaan umat dan tingginya rasa amanah yang ada pada diri calon pemimpin. Agar kelak amanah mengenai urusan umat dan negara yang ditumpukan padanya berjalan sesuai syariat-Nya. Jabatan pun bukan tentang tingginya kekuasaan yang ia pegang. Namun amanah yang harus ia emban dalam mengurus urusan umat di tengah kalutnya kehidupan. Bukan bagaimana mencapai keuntungan duniawi yang sebesar-besarnya. Namun rida-Nya yang menentramkan hati dan jiwa. Bukan pula berlandaskan keinginan personal. Namun menuju ketakwaan yang akan dipertanggung jawabkan. Bukan hanya kepada sesama manusia tapi pada Sang Khalik semata.

Itulah sebabnya, politisi dalam sistem Islam akan memiliki profil jujur, bertakwa, dan hati-hati (warak) dalam melakukan segala sesuatu. Mereka tidak akan berbohong dan melakukan fitnah terhadap lawan politiknya. Orang-orang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin adalah orang beriman yang takut kepada Allah Swt. Ini terbukti dari hadirnya para pemimpin muslim dalam sistem pemerintahan Islam pada masa lampau.

Seperti ketika pemilihan khalifah setelah wafatnya Sayyidina Umar bin Khaththab ra. Saat itu, ada dua calon kuat, yaitu Ali bin Abi Thalib ra. dan Utsman bin Affan ra. Menariknya, setelah Utsman bin Affan ra. terpilih, Ali bin Abi Thalib ra. segera membaiatnya dengan penuh keridaan. Karena sejatinya, pemimpin adalah periayah (pengurus) umat yang akan selalu memberikan solusi dan menunjukkan ke jalan yang benar. Tak hanya mengikuti naluri semata, namun yang memuaskan akal, serta menentramkan jiwa.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam cerdas dalam memilih. Bukan hanya sekadar memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa. Namun sistem yang diterapkan pun harus berdasarkan syariat Islam. Wallahu a’lam bishawab.

1 thought on “Estafet Peradaban dan Paradigma Kekuasaan

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.