30 April 2024
66 / 100

Dimensi.id-Banyak hal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka peningkatan perekonomian terutama dari aspek keagamaan. Tentu yang dibidik adalah agama terbesar di negeri ini yaitu Islam. Tak hanya istilah halal yang dijadikan sebagai ikon produk dan industrinya tapi juga syariat yang lain seperti zakat dan wakaf.

 

Salah satunya adalah wakaf, yang sejatinya sudah menjadi aturan syariat, diperintahkan oleh Allah swt., ironinya hari ini kembali ditekankan agar menjadi lifestyle. Yang artinya sudah tidak nampak lagi sebagai lifestyle. Badan Wakaf Indonesia (BWI) pun mendorong agar wakaf menjadi lifestyle masyarakat dan bisa disahkan menjadi aturan resmi pemerintah.

 

Ketua BWI, Muhammad Nuh juga mendorong agar wakaf bisa dilakukan rutin setiap bulannya oleh ASN khususnya di Kementerian Agama (Kemenag). BWI sedang mengembangkan wakaf calon pengantin. Tujuannya untuk membantu masyarakat yang gagal dalam pernikahannya (republika.co.id, 28/3/2024).

 

Solusi Indah Tapi Tak Mengena Akar Persoalan

 

Zakat, wakaf, infak, shadaqah adalah beberapa instrumen perekonomian dalam Islam. Dan merupakan mekanisme pemerataan perekonomian selain jaminan dari negara yang memang sudah seharusnya. Pada masa kejayaan Islam, ada sosok wanita , bernama Fatima al-Fihri yang pertama kali mendirikan sebuah universitas bernama Al-Qarawiyyin, pada tahun 859 M di Fez, Maroko .

 

Universitas ini menjadi institusi pendidikan tinggi tertua yang hingga kini masih beroperasi. Universitas ini dibangun atas infak Fatimah yang begitu mencintai ilmu. Dan kala itu berwakaf memang menjadi lifestyle, tak segan-segan individu masyarakat mewakafkan dana untuk proyek-proyek negara seperti masjid, rumah sakit, jalan, perpustakaan, moda transportasi dan lain sebagainya.

 

Namun perlu diingat, saat itu negara tak berlepas tangan. Secara mandiri negara sudah membangun semua kebutuhan masyarakat terhadap fasilitas umum. Menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Bahkan juga kebutuhan sekunder dan tersier rakyat negara pun ikut mengupayakan dan menjamin kemudahan mengaksesnya. Negara memiliki Baitulmal. Sebuah sistem keuangan negara berdasar syariat.

 

Sangat berbeda dengan hari ini, wakaf seolah butuh dorongan untuk bisa menjadi lifesytle. Apakah kaum muslim berubah menjadi pelit atau mati hati? Sehingga perlu ada satu lembaga yang fokus pada pengurusan wakaf dan lainnya?

 

Tentu jika benar berkurang, bukan semata karena jauhnya Islam hari ini dari keseharian masyarakat, sehingga urusan syariat menjadi ribet dan susah dipelajari. Namun lebih kepada sistem yang melingkupi dan membentuk pola hidup yang benar-benar memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga muncul manusia yang individualistis bahkan tak kenal halal haram.

 

Sistem ekonomi yang masih berbalut riba, muamalah yang tak sesuai syariat masih memungkinkan wakaf dan sadaqah lainnya tercampur dengan sesuatu yang haram. Bahkan ada beberapa kasus sadaqah dijadikan sarana pencucian uang. Belum lagi negara yang memanfaatkan sebagai bentuk pembiayaan kebutuhan negara.

 

Sejatinya, syuur atau rasa berbagi dari umat Islam tidak pernah hilang tak berbekas, terbukti semakin banyaknya lembaga filantropi yang kemudian menjembatani pemenuhan kebutuhan bersedekah itu sekaligus menyalurkannya. Namun, disinilah akhirnya yang kemudian memunculkan persoalan.

 

Lembaga atau yayasan yang siap memungut sekaligus menyalurkan infak, zakat, sadaqah maupun wakaf rakyat sejatinya berdampak membelokkan perhatian umat pada perjuangan sesungguhnya. Yaitu melanjutkan kehidupan Islam, dimana seluruh aspek kehidupan masyarakat di atur oleh Islam, tujuannya jelas mempermudah masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya, hidup sejahtera dan selamat dunia akhirat.

 

Terlebih bagi muslim yang mendapatkan amanah sebagai hamba Allah. Dengan semakin maraknya campur tangan yayasan atau LSM maka semakin minim peran negara, padahal ini berbahaya. Dampaknya, negara yang lalai malah menzalimi rakyat karena bencana datang beruntun dan hidup kian terasa sempit. Sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak justru dikuasai asing. Negara “ bangkrut” tak mampu berdaulat penuh secara keuangan.

 

Seberapa kuatnya pemerintah ataupun lembaga sosial mendorong rakyat untuk wakaf, tetap tidak pernah akan mencukupi. Jurang perbedaan si kaya dan si miskin sangatlah dalam, sehingga tidak setiap muslim bisa berinfak, bagi yang mampu, justru menumbuhkan rasa cukup, syuur mereka berbagi sudah terpenuhi tanpa pernah peduli dengan fakta di sekitar masih banyak yang miskin dan sengsara dan ironinya tak mendapat perhatian dari negara secara hakiki.

 

Islam Bukan Hanya Akidah, Tapi juga Cara Pandang Terhadap Kehidupan

 

Rasulullah Saw., bersabda,”Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).

 

Artinya, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat adalah negara, termasuk mewujudkan kesejahteraan di tengah rakyat. Bukan kemudian di” serahkan” kepada yayasan, sebab hasilnya akan berbeda. Hari ini jangankan berwakaf, memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja rakyat kesulitan. Memiliki APBN namun hampir 90% berisi pajak dan utang luar negeri.

 

Maka, jika benar hendak menjadikan wakaf sebagai lifestyle, tak ada jalan lain kecuali mengambil Islam secara Kaffah, dan mencabut sistem batil yang tidak manusiawi, yaitu kapitalisme sebab sangatlah aneh, negeri dengan muslim terbesar, namun perhatiannya hanya pada sistem ekonominya saja. Wallahualam bissawab. [DMS].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.