1 Mei 2024

Penulis : Susanti Pratiwi, Aktivis Dakwah UINSU

           

Dimensi.id-Setelah, sebelas tahun terhitung dari sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko Tjandra kabur menginggalkan Indonesia. Juga meninggalkan hukuman dari dakwaan tindak pidana kasus korupsi yang dilakukannya berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie merugikan Negara Rp 940 miliar. Tidak hanya itu kehebohan yang dilakukan, Djoko Tjandra sebagai buronan pun dapat dengan leluasa membuat e-ktp.

Hingga membuatnya bisa melakukan perjalanan yang panjang tanpa lika-liku bagai traveler yang sedang menikmati liburan sekaligus memantau usaha rahasianya di luar negeri yang hingga kini masih aktif. Namun, sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh jua, maka sepandai-pandai koruptor sembunyi akan tertangkap juga. Kini ia telah resmi menjadi narapida setelah Bareskrim Polri menangkapnya di Malaysia.

           

Hal yang serupa juga pernah terjadi sebelumnya pada seorang koruptor hingga membuat seniman menciptakan lagu yang diberi judul “Andai Aku Gayus Tambunan”. Tentu, rakyat tidak lupa sampai saat ini kasus korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan dan kabur untuk mengelakkan hukuman. Yang bisa pergi kemana saja walau sedang buron. Lagi dan lagi ini menunjukkan betapa bobroknya birokrasi dan mental pejabat negeri ini. Kuasa korporasi mengendalikan pejabat negeri ini. Dengan tabir yang tebal membuat lembaga peradilan mandul memberi sanksi.

           

Hukum oh hukum, rakyat harus kecewa untuk kesekian kalinya. Untuk menahan pelaku korupsi saja harus menunggu bertahun-tahun dan belum lagi melihat sanksi yang diberikan, rakyat harus menghela nafas kembali. Bagaimana bisa seorang buron melakukan begitu banyak perjalanan didalam maupun diluar negeri dan tak terdeteksi oleh polisi.

Walau penangkapan sudah terjadi bukan berarti ini sebuah prestasi bagi kepolisian, tetapi ini adalah kewajiban terhadap public untuk memberi sanksi pada pelanggar aturan. Sejatinya, kepolisisan merupakan tulang punggung penjagaan keamanan dalam negeri dan sistem pemerintahan, serta melaksanakan perintah-perintah yang dimaksudkan untuk menjaga maupun mengamankan jiwa raga dan harta benda masyarakat.

Jika kita melihat bagaimana sejarah peradaban Islam yang mulia maka, akan kita dapati salah satunya kepolisian pada masa khalifah Bani Abbasiyah Al-Muktafi yang berhasil menangkap pencuri. Bukan sembarang pencuri sebab, yang dilakukan aksi pencurian besar-besaran pada masa itu dan berhasil mendapat harta yang melimpah serta lihai bersembunyi. Lalu, Al-Muktafi segera mengintruksikan kepada kepala kepolisian untuk menangkap para pencuri tersebut atau harus membayar denda dengan sejumlah harta.

Mendengar perintah juga ancaman sang khalifah, maka kepala kepolisian pun segera memacu kendaraannya dan mengelilingi wilayah tersebut sepanjang siang dan malam. Kerja keras itu menghantarkan dirinya pada jejak pencuri yang berada di lorong sudut kota tepat digang buntu dan menghantarkannya pada para tetangga yang berada tinggal tidak jauh dari persembunyian pencuri tersebut hingga tidak satupun dari para pencuri itu yang lepas dari penyergapan. Kisah ini membuktikan kecerdasan dan kecekatan kepolisian masa itu dan tegasnya seorang pemimpin dalam melayani ummat. Dalam bidang lembaga peradilan khalifah dan pejabat Negara tunduk kepada hakim serta mematuhi panggilan persidangan untuk kepentingan peradilan dan mematuhi apa yang diperintahkan hakim.

Menyikapi para pejabat yang tidak mau menghadiri persidangan, para hakim mengancam mereka dengan pemakzulan atau melemparkan masalah mereka kepada rakyat umum secara terbuka. Akan tetapi, secara umum keputusan-keputusan peradilan dihormati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Bahkan hukum yang diberikan sangat jera sehingga akan mengurangi tindak pidana korupsi dan begitu juga dengan tindak kejahan lainnya. Sebab, hukum islam itu adalah hukum yang bersifat menjadi penebus dan pencegah.

Penebus dosa bagi para pelaku dan pencegah bagi semua orang, agar orang-orang tidak akan melakukan tindak kejahatan lagi. Hingga kita akan menjumpai luar biasanya kegemilangan dan keadilan dikala islam sebagai landasan negerinya tercatat selama 13 abad hanya terjadi 200-an kasus saja. Tidak seperti saat ini dalam sehari bahkan bisa mencapai ratusan kasus. Maka, wajar jika manusia menyuarakan suara fitrahnya bukan hanya suara hatinya lagi untuk kembali dalam bingkai aturan Sang Pencipta sekaligus Pengatur. Wa’alahu’alam Bishowab        

Editor : Fadli    

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.