28 April 2024
65 / 100

Dimensi.id–Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan, kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 tidak akan ada penundaan. Dengan demikian, kebijakan tersebut akan berlanjut pada masa pemerintahan mendatang.

 

Sebagaimana diketahui, tarif PPN saat ini sebesar 11% sejak 2022, atau telah naik sesuai ketentuan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dari sebelumnya 10% (cnbcindonesia.com, 18/3/2024).

 

Airlangga mengatakan, ketentuan kenaikan tarif PPN ini akan berlanjut pada 2025 karena juga sudah keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program-program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo. Kenaikan PPN menjadi 12% merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

 

Kenaikan tarif PPN jelas akan berimbas pada kenaikan harga barang, terutama barang yang biasa dikonsumsi masyarakat yang tersedia di layanan pasar-pasar modern. Begitu pun dengan layanan kuota dan paket internet yang pada era digitalisasi saat ini menjadi kebutuhan rakyat. Apalagi berbagai macam layanan publik saat ini tidak terlepas dari akses digital.

 

Disisi lain, hutang negara hingga November 2023 mencapai Rp8.041 triliun. Menurut cara pandang kapitalisme, cara terbaik nengurangi hutang tersebut adalah dengan menaikkan tarif pajak atau mencari apa saja yang bisa dikenai tarif pajak. Alhasil, kenaikan tarif pajak adalah kebijakan yang pasti terjadi, siapa pun pemimpinnya.

 

Kalaulah tidak naik, kenaikannya akan beralih pada sektor lain yang sekiranya bisa menambah pendapatan negara. Ini karena dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber pendapatan negara yang utama.

 

Setiap negara yang menganut idiologi kapitalisme pasti memungut pajak dari rakyat. Bahkan, rakyat akan dikejar pajak hingga pemasukan negara bertambah. Hal ini juga berlaku bagi Indonesia yang notabene menerapkan sistem kapitalisme. Mirisnya, pendapatan dari sektor pajak juga rawan dikorupsi sehingga pendapatan negara tidak mencapai targetnya.

 

Kebijakan menaikkan pajak ini akan semakin membebani rakyat, karena juga untuk menutupi defisit anggaran negara. Sebaliknya, menurunkan tarif pajak akan mengurangi beban rakyat, tetapi negara mengalami defisit keuangan.

 

Oleh karena itu, langkah logis yang biasa diambil oleh negara pengemban maupun penganut ideologi kapitalisme adalah dengan berutang. Negara kapitalis juga akan melakukan pengurangan dan penghapusan subsidi, pengurangan anggaran untuk rakyat, serta privatisasi BUMN dalam rangka liberalisasi ekonomi.

 

Negara yang memiliki utang hingga ribuan triliun seperti Indonesia sulit untuk tidak berutang kembali. Negeri ini kaya dengan sumber daya alam, tetapi tersia-siakan lantaran tidak dimanfaatkan dengan benar dan malah dikapitalisasi sesuai kepentingan pemilik modal.

 

Saat negara kehilangan pendapatan, pajak pun diberlakukan meski harus menambah beban rakyat. Bagi kapitalisme, hutang dan pajak tidak dapat dipisahkan dan akan senantiasa dijadikan instrumen pendapatannya.

 

Cara Pandang Islam

 

Dua instrumen pemasukan negara kapitalisme (pajak dan utang), justru tidak menjadi hal utama dalam Islam. Baitulmal memiliki sumber pemasukan melimpah, yaitu dari fai dan kharaj, juga kepemilikan umum dan zakat. Kepemilikan umum, haram untuk dikuasai swasta atau privatisasi. Dari sini, pemasukan akan mengalir deras untuk baitulmal.

 

Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. la adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup) dari harta orang-orang kaya saja.

 

Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan baitulmal dalam memenuhi kewajibanna, dan tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan.

 

Alhasil, pemberlakuan pajak dalam Islam tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat. Artinya, pajak dalam Islam hanya diterapkan secara temporal, bukan menjadi agenda rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini dan diambil dari individu yang mampu saja.

 

Begitupula dengan utang, Islam memiliki pandangan yang berbeda. Dalam Islam, andai saja negara sedang mengalami krisis, dalam hal ini kas baitulmal mengalami kekosongan, negara akan memobilisasi pengumpulan dana dari kalangan orang kaya (aghniyah). Jika kondisi ini belum mampu memenuhi kebutuhan rakyat, baru negara boleh berutang dengan syarat sesuai syariat.

 

Meski demikian, sistem ekonomi Islam sejatinya merupakan sistem ekonomi mandiri. Semaksimal mungkin, negara membangun kemandirian ekonomi. Negara akan memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara yang lain berupa pemasukan tetap, yakni fai, ganimah, kharaj, usyur, khumus, rikaz, dan tambang dan jizyah. Juga pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya.

 

Saatnya Berubah

 

Menjadikan pajak dan uutang sebagai sumber pendapatan utama negara merupakan kebijakan yang salah. Karena sejatinya negara masih memiliki berbagai sumber penghasilan lain yang bisa dimaksimalkan sebelum memilih opsi membebani rakyat. Apalagi kondisi Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, bila dikelola dengan syariat justru akan mensejahterakan rakyat.

 

Oleh karena itu, sudah saatnya negeri ini berbenah secara sistemis. Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, kebijakan negara akan mengacu pada hukum-hukum Syari’at sehingga negara tidak akan bingung mencari sumber pendapatan negara. Negara juga tidak akan mudah menjerat rakyat dengan pajak dan heban utang. Wallahualam bissawab. [DMS].

 

Penulis: Ummu Ita

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.