3 Mei 2024

Penulis : Aisyah Karim (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Dimensi.id-Ada yang janggal dari negara ini. Di tengah kepayahan menghadapi corona, yang telah berdampak menghantam hampir semua lini. Tak dapat dibantah bahwa sektor kesehatanlah yang paling telak mendapat hantaman tersebut, disusul sektor ekonomi, mikro dan makro. Segera setelah pandemi meluas pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi tren dimana-mana. Pandemi telah menjadikan warga rentan miskin menjadi miskin sementara warga miskin bertambah miskin.

Ditengah membludaknya angka kemiskinan, penguasa menaikkan iuran BPJS. Perpres Nomor 64/2020 tentang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan mencederai upaya pemerintah yang katanya akan mengurangi beban masyarakat yang saat itu benar-benar terjepit. Bukan hanya BPJS yang mendadak naik, listrik, air, sembako berlomba-lomba naik harga. Bahkan Ketika minyak dunia jatuh harga BBM dalam negeri tetap ogah turun.

Belum reda kebingungan dan kepayahan masyarakat terbitlah wacana hidup damai dengan pandemi melalui new normal life. Penguasa meminta masyarakat agar beradaptasi di masa transisi normal baru termasuk menggunakan transportasi umum dan bekerja di kantor dengan tetap mematuhi protokol Kesehatan yang berlaku.

Wakil Presiden Ma`ruf Amin menjelaskan, jika keterpurukan ekonomi terus dibiarkan, maka akan sangat berbahaya untuk efek jangka panjangnya. Ya penyelamatan ekonomi telah menjadi dalih bagi pemerintah menggiring masyarakat untuk bertaruh nyawa di tengah pandemi yang semakin ganas dan meluas. Agar kemiskinan teratasi dan ekonomi kembali berdenyut.

Anehnya, tak lama kemudian penguasa kembali mengejutkan rakyat, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat pada 20 Mei 2020 lalu. Di dalam beleid tersebut dijelaskan, mulai tahun 2021, Badan Penyelenggara Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) sudah bisa mulai memungut iuran untuk Pegawai Negeri Sipil (tribunkaltim.co 12/6/2020).


Untuk tahap berikutnya, badan tersebut juga bakal memungut iuran kepada anggota TNI/Polri serta pegawai swasta dan pekerja mandiri yang berpenghasilan dibawah upah minimum. Lalu, akan digunakan untuk apa uang hasil iuran tersebut? Deputi Komisioner Bidang Pemupukan Dana Tapera Gatut Subadio menjelaskan, BP Tapera bakal memanfaatkan dana iuran ke dalam tiga hal yakni dana pemupukan, dana pemanfaatan, dan dana cadangan. Untuk pemupukan, BP Tapera akan menginvetasikan dana iuran tersebut ke beberapa instrumen dengan skema kontrak investasi kolektif (KIK).


Pada tahap awal, yang berlaku pada Januari 2021 pemungutan hanya berlaku untuk ASN. Kemudian, Tapera diharapkan telah menjangkau 6,7 juta peserta dari ASN, TNI/Polri, BUMN, dan BUMD. Sementara karyawan swasta atau formal diberi waktu selambat-lambatnya 7 tahun sejak Badan Pengelola (BP) Tapera beroperasi.

Sementara mekanisme pungutan Tapera diperoleh melalui pemotongan sebanyak 3% dari gaji dan penghasilan, dimana 2,5% ditanggung oleh pekerja dan 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja. Iuran ini harus disetor paling lambat tanggal 10 setiap bulannya. Sejumlah kalangan menilai inilah cara baru pemerintah untuk memalak rakyat.

Hal tersebut disinggung oleh sejumlah tokoh nasional, Rizal Ramli salah satunya. Menurutnya, memotong gaji rakyat adalah hal paling mudah. “Jangan main seenaknya saja tadi kan mau ngumpulin biaya murah, kalau caranya dengan motong gaji mah, pekerjaan paling gampang.” Ia melanjutkan, “Malak lah istilahnya itu paling gampang gitu loh,” ungkapnya keras (tribunwow.com 7/6/2020).

Namun, diantara semua keganjilan yang terdapat pada Tapera, hal yang paling mencengangkan adalah bahwa Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menyatakan pekerja dengan status Warga Negara Asing (WNA) tetap wajib membayar iuran. BP Tapera beralasan WNA juga harus sama-sama ikut menanggung beban atau gotong royong sebagaimana pekerja Indonesia pada umumnya.


Tentu hal ini sangat berbahaya karena aturan tersebut akan memberi  peluang kepada Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk memiliki rumah di Indonesia. Aturan ini termaktub dalam pasal 1 bab umum nomor 11, bahwa WNA dapat memiliki rumah di Indonesia asal mempunyai visa dan bekerja minimal enam bulan. Padahal undang-undang tentang kebolehan WNA memiliki rumah di tanah air telah diatur dalam undang-undang dengan sejumlah syarat. Karena ia telah menikah dengan WNI misalnya.

Pada prinsipnya, Indonesia menganut asas “Larangan Pengasingan Tanah”. Irma Devita Purnamasari dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan asas “Larangan Pengasingan Tanah” adalah tanah-tanah di Indonesia hanya dapat dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia atau orang perserorangan Indonesia. Jika mengacu pada asas tersebut, orang asing (WNA) tidak bisa memiliki tanah berstatus hak milik di Indonesia.

WNA hanya diberikan peluang mempunyai hak pakai atas tanah, sebagaimana yang diatur dalam pasal 42 Undang-undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Jadi kalaupun membeli rumah WNA hanya boleh memiliki rumah diatas tanah hak pakai.

Hal ini dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia (“PP 41/1996”). WNA dapat memiliki rumah dengan mengacu pada ketentuan Pasal 2 PP No. 41/1996 yang berbunyi, “Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah: Pertama, rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah baik Hak Pakai atas tanah Negara; Atau yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah.

Selain persyaratan tersebut, ada pula syarat lain bagi WNA yang ingin memiliki kepemilikan rumah di Indonesia, yaitu Pasal 2 ayat (2) Peraturan MNA/BPN 7/1996 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing (“Peraturan MNA/BPN 7/1996”) yang berbunyi:

“Rumah yang dapat dibangun atau dibeli dan satuan rumah susun yang dapat dibeli oleh orang asing dengan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah rumah atau satuan rumah susun yang tidak termasuk klasifikasi rumah sederhana atau rumah sangat sederhana.”

Sedang Tapera sendiri menyediakan perumahan rakyat untuk masyarakat menengah kebawah dengan tipe 21 hingga 30. Lalu warga asing yang mana yang hendak memiliki rumah melalui program Tapera ini? Jika ada WNA mengikuti Tapera tentulah yang bersangkutan unskill workers.

Untuk itu patut dicurigai bahwa regulasi ini bermaksud memberikan peluang bagi WNA  untuk diizinkan memiliki rumah di Indonesia. Hal ini semakin meneguhkan kita bahwa hak warga negara atas sandang, pangan dan papan yang tercantum dalam konstitusi kini tinggal mimpi. Pemerintah telah mengambil peran hanya sebagai regulator saja dan berlepas tangan dari semua kewajibannya.

Meski kebutuhan rakyat terhadap rumah sangat tinggi namun Tapera bukanlah solusi. Tapera dengan mekanisme yang memberatkan dan memaksa justru menjadi beban baru bagi rakyat yang semakin menambah kesulitan mereka. Disisi lain justru menjadi angin surga bagi para WNA unworkerskill yang sudah menyesaki tanah air untuk menetap dan memiliki rumah.

Untuk itu, tidak ada pilihan bagi umat, Islamlah solusi untuk semua kesusahan ini. Islam telah menetapkan kebutuhan dasar pangan, sandang dan papan ditanggung oleh negara, diberikan secara cuma-cuma melalui pos laba pengelolaan SDA, jizyah, ghanimah dan lain-lain. Khilafah Islamiyah telah menetapkan standar seseorang miskin adalah mereka dengan sebuah rumah, kuda tunggangan dan sebidang lahan untuk bertani.

Tidak ada beban pembiayaan ini itu yang menyulitkan, apalagi ditengah musibah pandemi begini. Rakyat hanya fokus untuk memberdayakan potensi terbaik yang dimiliki untuk kebaikan. Bukan memeras keringatnya untuk membiayai negara apalagi menjadi perantara bagi kesejahteraan warga negara asing di tanah air mereka sendiri sementara mereka mati karenanya.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.