3 Mei 2024

Penulis : Merli Ummu Khila (Kontributor Media dan Pegiat Dakwah)

Dimensi.id-Hampir setengah tahun dunia bergelut dengan pandemi Covid-19. Seperti petinju yang nyaris KO, hampir semua negara dibuat babak belur dibuatnya. Hampir semua aspek kehidupan terdampak terutama perekonomian.

Negeri ini memang sudah sempoyongan. Sebelum Covid-19 menyerang pun perekonomian sudah tidak terselamatkan. Hutang menggunung tidak mampu dibayar. Bahkan sekedar mengangsur bunganya pun tidak sanggup.

Penanganan terhadap pandemi Covid-19 ini menelan dana tidak sedikit. Seperti dilansir oleh kompas.com, 31/3/2020, Presiden Joko Widodo menggelontorkan anggaran untuk mengatasi Covid-19 melalui APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun.

Sebuah angka yang besar untuk sebuah anggaran dadakan. Tentu saja hal ini membuat defisit APBN semakin melebar. Seperti diketahui defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN 2020) bakal melebar hingga 6,72 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau mencapai Rp 1.028,6 triliun.

Pemerintah mencari solusi ibarat tambal sulam. Menambal APBN dengan hutang bukanlah solusi tapi justru menambah masalah. Entah karena tidak ada solusi lain atau memang berhutang menjadi jalan pintas.

Kebiasaan berhutang bagi rezim sudah seperti pecandu narkoba. Tidak bisa berhenti meskipun hutang sudah melampaui batas. Berambisi membangun infrastruktur  tapi hasil berhutang. Untuk menambal APBN pun kembali berhutang.

Ditambah lagi perekonomian dalam sistem kapitalis memang didominasi sektor non riil. Pasar modal dan perbankan yang identik dengan bunga atau interest. Kesalahan perekonomian konvensional adalah menjadikan uang tidak hanya sebagai alat tukar namun juga menjadi komoditas.

Uang lebih banyak yang diperjualbelikan ketimbang sebagai alat tukar. Sektor finansial memberikan kredit dengan instrumen bunga. Ini yang menjadi sasaran empuk bagi spekulan dan kapital. Kesalahan konsepsi ini yang menjadikan hampir setiap negara dilanda krisis ekonomi.

Rezim ini seolah tidak sadar bahwa perekonomian sektor riil jauh lebih produktif. Indonesia punya segalanya seandainya saja mau mengelolanya. Sumber daya alam diberlakukan seperti amanat UUD 1945. Dikelola negara, bukan asing. Memberdayakan petani serta UMKM serta stop impor demi majunya produk lokal.

Namun faktanya justru memprihatinkan. Hampir semua sumber daya alam dikuasai asing. Negara hanya mendapat remahnya berupa pajak. Impor menggila dan permainan kartel yang sudah menjadi rahasia umum. Apalagi kebijakan pasar diserahkan pada para kapital.

Sistem kapitalismelah yang menjadi biang keladi dari problematika seluruh aspek kehidupan. Sistem buatan manusia yang tentu tidak mampu menyelesaikan segala problematika kehidupan secara menyeluruh. Karena akal manusia yang terbatas. Ketika manusia  menjadi pembuat hukum maka akan selalu sarat kepentingan.

Dalam perspektif Islam, uang hanya sebagai alat tukar. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun, dan lain-lain.  Hal ini dipertegas oleh Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara.

Di tengah keputusasaan dunia, sangat mungkin ada peluang terjadi perubahan besar dunia pasca pandemi. Yaitu melakukan sebuah gebrakan baru dengan revolusi sistem. Mengulang kembali peradaban yang dulu pernah berjaya. Peradaban yang menjadikan  syariah Islam sebagai landasan bernegara.

Montgomery Watt mengungkapkan, “Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.” Hal yang sama pernah dikatakan oleh Barack Obama. Dia mengatakan. “Peradaban berhutang besar pada Islam.” Maksudnya adalah peradaban Barat memiliki utang besar kepada peradaban Islam.

Sudah selayaknya kita kembali kepada sistem yang diridhai Allah Swt. yaitu sistem Islam. Mengulang kembali peradaban yang dulu pernah berjaya yaitu Daulah Khilafah Islamiyah ala Minhajin Nubuwwah.

Wallahu’alam bishawab

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.