3 Mei 2024

Penulis : Rut Sri Wahyuningsih (Muslimah Penulis Sidoarjo)

Dimensi.id-Dilansir dari Detiknews.com, 13 Mei 2020, DPR menyetujui peraturan pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (Covid-19) menjadi undang-undang (UU). Keputusan ini diambil mayoritas fraksi di DPR kecuali Fraksi PKS.

Dengan keputusan itu, maka DPR menyetujui pemerintah melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 5,07% terhadap PDB. Pemerintah juga harus mencari pembiayaan sekitar Rp 852 triliun untuk menutupi defisit anggaran.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pengesahan tersebut menjadi landasan pemerintah dalam menanggulangi dampak COVID-19 terhadap ekonomi nasional. “COVID masih terus berlanjut dan kami akan terus memperbaiki response policy agar masyarakat dari sisi kesehatan dan sosial ekonomi mendapat perlindungan melalui pelaksanaan Perppu,” kata Sri Mulyani usai rapat paripurna DPR.

Keputusan Kapitalis dalam menyelesaikan masalah memang selalu menimbulkan masalah baru. Pemerintah membutuhkan banyak dana demi menanggulangi dampak Pandemi Corona alias COVID-19 dan melindungi perekonomian nasional. Untuk memenuhi dana tersebut, salah satunya pemerintah melebarkan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2020 ke level 6,27% terhadap produk domestik bruto (PDB). Arti lain secara awam adalah mengambil utang.

Berdasarkan draf kajian Kementerian Keuangan mengenai program pemulihan ekonomi nasional , pemerintah hingga saat ini sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) senilai Rp 420,8 triliun hingga 20 Mei 2020. Nantinya, total utang senilai Rp 990,1 triliun ini akan dengan penerbitan SUN secara keseluruhan baik melalui lelang, ritel, maupun private placement, dalam dan atau luar negeri ( detikNews.com, 28/5/2020).

Jelas, inilah watak kapitalis yang sedang ditunjukan penguasa.  Dengan pengesahan Perppu Corona, pemerintah memiliki wewenang lebih besar (tanpa perlu restu DPR) untuk mencari ‘jalan keluar’ atas problem defisit anggaran (APBN). Dan bisa diduga bahwa jalan yang ditempuh adalah dengan utang asing baru maupun penerbitan surat utang Negara. Keduanya memiliki dampak buruk dan bahaya bagi fundamental ekonomi maupun kemandirian bangsa.

Sebab, komposisi APBN menjadi tidak seimbang. Antara pemasukan dan pengeluaran. Pajak dan utang yang berbasis riba jelas suatu saat akan menggantung perekonomian Indonesia hingga menemui ajal. Utang dalam sistem kapitalisme adalah berbasis riba, hingga hari ini saja pemerintah Indonesia sebenarnya belum pernah membayar hutang pokoknya, baru bunga berjalan saja.

Maka sangat masuk akal jika Islam, mengharamkan perolehan pendapatan dari sisi utang yang berbasis riba. Sebab riba membuat pelakunya berbuat keji. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah: 278 yang artinya,” Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang – orang yang beriman”.

Dan juga QS Al Baqarah : 275 yang artinya “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba“.

Dari dua ayat itu telah tampak jelas bahwa pinjaman berbasis riba dilarang. Sebab keuntungan yang didapat hanyalah kamuflase bak bom tersembunyi, jika sampai saatnya meledak maka makin porak porandalah perekonomian suatu bangsa. Allah mengijinkan Covid-19 meluluhlantakkan dunia adalah agar manusia kembali kepada jalan yang benar. Dari sisi apapun, terlebih ekonomi sebagai salah satu penopang kemandirian negara.

Kekurangan dana untuk penanggulangan krisis ekonomi dan pemberantasan Covid-19 kemudian diambil dari utang dalam sistem Islam adalah haram, sebab ia akan menjadi celah penjajahan gaya baru. Jelas itu akan tertolak dengan sendirinya. APBN negara Khilafah terdiri dari 3 pos utama yaitu kepemilikan umum( milkiyah Amma), kepemilikan negara ( milkiyah Daulah) dan pengelolaan harta zakat.

Dicatat oleh petugas secara rinci untuk kemudian diberikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan yang bermutu baik aspek pendidikan ekonomi, sosial, sandang, pangan, papan  dan aktifitas yang lainnya. SDA Indonesiapun tak boleh diprivatisasi. Langkah kedua adalah tidak memungut pajak sepanjang tahun, sebab itu pajak dalam Islam hanya dipungut pada masa sulit atau ketika keadaan Baitul Maal kosong.

Ketiga adalah mendorong peroangan melakukan bisnisnya dengan syarat yang sama yaitu tanpa riba dan praktek-praktek muamalah yang tidak bertentangan dengan syariat. Langkah-langkah inilah yang telah membawa peradaban baru nan mulia selama 1300 tahun. Mampu menghadapi segala pembiayaan ketika wabah sekalipun. Wallahu a’lam bish showab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.