4 Mei 2024

Penulis : Ari Sofiyanti (Alumni biologi Universitas Airlangga)

Dimensi.id-Ekonomi negara sudah lama lesu, kini semakin ambruk di tengah badai Covid 19. Rakyat yang sebelumnya sudah biasa berkorban untuk negara, kini dipaksa mengorbankan lebih banyak lagi. Ini adalah buah dari pemikiran pemerintah, apa lagi yang bisa diperas dari rakyat untuk menjadi sumber pembiayaan agar defisit tak semakin tinggi mencakar langit?

Setelah rakyat harus rela membayar upeti BPJS kesehatan, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun, maka kini upeti Tapera pun diaminkan pemerintah. PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat telah diteken sah oleh Presiden. Pundi-pundi rupiah akan segera dipungut dari tetes-tetes keringat rakyat dengan dalih gotong-royong.

Seluruh pekerja wajib menyerahkan iuran Tapera, baik yang belum maupun sudah memiliki rumah. Target pertama adalah seluruh ASN dan PNS yang harus mulai membayar Januari 2021. Target kedua adalah pekerja BUMN, BUMD, TNI dan Polri. Lalu target ketiga adalah pekerja swasta, pekerja mandiri dan pekerja sektor informal bahkan pekerja asing yang telah bekerja selama enam bulan. Upeti yang wajib dibayarkan rakyat adalah 3% dari gaji, 0,5% ditanggung pemberi kerja dan 2,5% ditanggung oleh pekerja melalui pemotongan gaji.

Jika kita simulasikan hitungan potong gaji ini, misalnya saja seorang pekerja penerima upah 5 juta perbulan. Iuran BPJS kesehatan sebesar 50.000, Jaminan Hari Tua sebesar 2% yaitu 100.000, Jaminan Pensiun 1% yaitu 50.000, terakhir Tapera 2,5% yaitu 125.000. semua iuran ini jika dijumlah menjadi sebesar 325.000, belum lagi potongan lain yang ditetapkan perusahaan. Tentu saja dengan ini beban rakyat semakin berat.

Program ini lantas saja jadi kontroversi, pasalnya sudah ada program yang mirip dengan Tapera yaitu MLT (Manfaat Layanan Tambahan) BPJS Ketenagakerjaan yang memberikan fasilitas pembiayaan perumahan bagi peserta yang belum memiliki rumah. Ditambah lagi pencairan bagi pekerja yang di-PHK dinilai menyulitkan, karena baru bisa cair setelah 5 tahun menganggur. Perusahaan pun keberatan dengan banyaknya iuran ini, namun peraturan sudah dibuat. Kabarnya perusahaan akan dapat sanksi denda hingga dicabut izin usahanya jika tak membayar iuran tapera. Jadi, mengapa tetap memaksa diadakan program ini? 

Program ini tentu menggiurkan bagi pemerintah. Karena dana besar yang dapat dikumpulkan akan diputar dahulu untuk menggerakkan roda perekonomian negara. Dana Tapera diharap-harap akan memberi stimulus pada sektor perbankan dan bisnis properti. BP Tapera akan menggandeng manajemen investasi untuk mengelola dana ini. Instrumen investasi bisa berupa deposito, Surat Berharga Negara (SBN), obligasi dan saham perusahaan pengembang berkategori berpendapatan stabil dan besar.

Begitulah kezaliman penguasa di dalam sistem kapitalisme. Semena-mena teken UU buatan sendiri tanpa izin dari Allah Sang Pembuat Hukum yang mutlak. Sistem kapitalisme sekulerisme demokrasi ini alamiahnya memang melegalkan pemerintah untuk membuat aturan kemudian mengawasi saja. Aturan-aturan ini memang dibuat untuk menguntungkan korporasi dan semakin melanggengkan eksploitasi mereka terhadap kekayaan alam milik umum yang harusnya dikelola negara. Sementara kebutuhan individu, komunal dan negara semua dipikulkan ke pundak rakyat dengan tarikan pajak dan iuran.

Jika kita mencari solusi, maka kita harus bertanya pada Islam. Sebagaimana dalam Al Quran terdapat semua hukum kehidupan yang tiada keraguan di dalamnya. Negara Islam, yaitu Khilafah merujuk pada syariat dalam menjamin kebutuhan pokok rakyat. Negara memastikan terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal dengan memerintahkan laki-laki dewasa yang mampu untuk mencari nafkah dengan bekerja. Maka, negara pun harus memastikan tersedianya lapangan kerja dan peluang berusaha. Jika ada yang terkendala modal, maka negara mengatur permodalannya dengan kerjasama antarwarga negara atau memberikan modal agar dapat dikelola. Jika ada individu yang lemah, tidak mampu bekerja dan tidak memiliki keluarga yang dapat mengurusnya, maka negara wajib menanggungnya.

Khilafah pun tidak dibenarkan menjadi pengawas saja, sementara pengelolaan perumahan diserahkan pada bank dan pengembang properti yang hanya berorientasi pada keuntungan dari hajat pokok rakyat. Padahal hajat pokok rakyat memang sudah jadi porsi negara untuk memenuhinya.

Dana untuk pengelolaan seluruh aspek kehidupan bernegara dalam Khilafah adalah berbasis baitul mal. Salah satu sumber penerimaan baitul mal adalah dari kepemilikan umum meliputi aneka ragam sumber daya alam yang dimiliki negara yang dikelola secara mandiri dan dikembalikan pemanfaatannya untuk rakyat. Negara tidak akan memungut pajak dari rakyat kecuali dalam kondisi yang benar-benar mendesak, lagi pula pajak hanya diambil dari warga yang kaya saja.

Semua ini dilaksanakan oleh kepala negara, yaitu Khalifah sesuai perintah Allah, karena Rasulullah telah bersabda,

“Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR. Al Bukhari).

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.