30 April 2024
14 / 100

Dimensi.id–Sekretaris Jenderal Kemnaker Anwar Sanusi saat membuka Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) Tahap III Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BBPVP) di Semarang, Jawa Tengah pada Jumat (22/3/2024) mengatakan bahwa pelatihan vokasi adalah salah satu respons dalam menjawab berbagai tantangan dan problematika ketenagakerjaan (Infopublik.id, 23/3/2024).

 

Menurutnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) terus berkomitmen menghadirkan pelatihan vokasi yang berkualitas. Pelatihan vokasi yang berkualitas merupakan pelatihan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang mengutamakan link and match ketenagakerjaan.

 

Tujuan diadakannya pelatihan vokasi itu agar dapat menjadikan angkatan kerja Indonesia, baik angkatan kerja baru maupun angkatan kerja lama, menjadi angkatan kerja yang kompeten dan berdaya saing.

 

Sedangkan Link and match tersebut adalah satu bagian dari strategi Kemnaker dalam melakukan transformasi Balai Latihan Kerja (BLK). Di mana balai-balai yang ada di bawah Kemnaker harus mampu menjalin kerja sama dengan dunia usaha dan industri, agar terjadi kesesuaian pelatihan vokasi.

 

Benarkah Pelatihan Vokasi Berkorelasi Dengan Peningkatan Kesejahteraan?

 

Pelatihan vokasi berkualitas dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja sesuai pasar kerja, apalagi mengutamakan link and match dengan dunia industri. Namun sejatinya pelatihan ini tidak mengubah nasib pekerja menjadi lebih baik/sejahtera, karena tetap menjadi budak korporasi.

 

Status pekerja tetaplah buruh atas perusahaan besar yang memiliki hak istimewa mengeksploitasi kekayaan alam negeri ini. Peran negara sangatlah minim, hanya menyediakan pelatihan vokasi yang biayanya tak seberapa. Padahal sebagai penguasa seharusnya disadari ada kewenangan lebih dari sekadar mengadakan pelatihan vokasi.

 

Tentulah yang dimaksud adalah sebagai pengelola utama kekayaan alam Indonesia yang berlimpah dengan memberdayakan SDM berkualitas mulai dari pekerja maupun tenaga ahlinya dari dalam negeri sendiri. Bukannya sibuk membuka investasi dan hanya “ mengemis” deviden atau pajak yang tak seberapa dari para investor itu.

 

Alasan Indonesia tak memiliki modal, tenaga ahli berikut kecanggihan teknologi hanyalah alasan usang. Mari kita lihat potensi sumber daya manusia di Indonesia, di Juni tahun 2022 saja jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa. Ada 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk Indonesia yang masuk kategori usia produktif, 67,16 juta jiwa (24,39%) penduduk usia belum produktif dan sebanyak 17,38 juta jiwa (6,31%) merupakan kelompok usia sudah tidak produktif.

 

Fresh graduate di Indonesia belum tentu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan layak, hal ini dikarenakan kebanyakan perusahaan di Indonesia menggunakan pembatasan usia dan lebih memilih tenaga kerja luar negeri dengan keahlian di bidang yang sama, alasannya standar internasional lebih terpercaya. Bukankah itu seharusnya menjadi sebuah tamparan bagi pemerintah, artinya menjadi keharusan mengupayakan penyediaan tenaga kerja tidak hanya terampil namun juga ahli.

 

Tantangann bagi dunia pendidikan kita, yang seharusnya tak hanya berorientasi pada penyediaan pekerja pada lapangan pekerjaan apa adanya (baca: buruh). Namun hal ini merupakan konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme, yang hanya menganggap pekerja sebagai salah satu faktor produksi.

 

Di lapangan pemerintah hanya menjadi perantara antara dunia industri dan angkatan kerja, namun tidak menciptakan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat. Padahal, seandainya memiliki mindset sebagai pengurus rakyat, tentulah keadaan akan menjadi lebih baik. Pengelolaan SDA contohnya, jika dikelola sendiri tanpa melibatkan investasi dan korporasi akan sangat banyak membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat.

 

Solusi Islam Bagi Kesejahteraan Bagi Seluruh Rakyat

 

Islam menjadikan negara sebagai pengurus rakyat termasuk dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw.,”Sungguh Imam/Khalifah adalah perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya”. (HR Muslim). Artinya pemimpin bukan sekadar mereka yang memiliki jabatan atas satu kaum, namun menjadikan hidupnya untuk kepentingan rakyat bukan yang lain.

 

Maka dalam hal ini, pemimpin dalam negara Islam atau Kholifah akan mempersiapkan ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan negara dan rakyat, bukan untuk kepentingan oligarki.

 

Negara Islam juga memiliki mekanisme dalam menentukan upah pekerja sehingga pekerja tidak dizalimi perusahaan pemberi kerja. Yaitu berdasarkan akad antara pencari kerja dan pemberi kerja. Negara tidak menetapkan besaran upah namun disesuaikan dengan uruf ( kebiasaan yang berlaku di wilayah tersebut). Namun akan menindak tegas setiap perusahaan yang zalim terhadap pekerjanya semisal penetapan akad yang tidak manusiawi atau menunda-nunda pembayaran upah.

 

Di sisi lain, negara Islam juga menjamin kesejahteraan setiap rakyatnya dengan menjamin kebutuhan pokok rakyat dan memenuhi kebutuhan komunal. Bukan dibebankan pada perusahaan. Sehingga atmosfir muamalah sehat dan adil bisa terwujud.

 

Kebijakan ini hanya bisa diterapkan jika sistem kapitalisme dicabut dan diganti syariat. “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? “ (TQS Al – Maidah: 50). Tidakkah retorika Allah ini menjadi titik puncak perjuangan kita untuk mengubah keadaan? Wallahualam bissawab. [DMS].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.