30 April 2024
11 / 100

Dimensi.id–Pedagang Tanah Abang meradang, dagangan sepi dan meminta kepada pemerintah untuk menutup TikTok. Separah itukah kesalahan aplikasi media sosial sekaligus market place asal Cina itu? Karena faktanya, tidak semua konsumen harus datang ke Tanah Abang untuk membeli kebutuhan mereka. Apalagi jika dimudahkan dengan aplikasi belanja online yang kini marak.

 

Dan benar saja, Indonesia menambah deretan negara yang menolak TikTok setelah Amerika Serikat dan India. Hal itu dilakukan oleh Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki dengan menolak TikTok, platform media sosial asal China menerapkan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia.

 

TikTok tetap diperbolehkan untuk berjualan tapi tidak bisa disatukan dengan media sosial. Hal tersebut untuk mencegah praktik monopoli yang merugikan UMKM domestik. Selain itu, Menteri Teten juga akan mengatur tentang cross border commerce agar UMKM dalam negeri sehingga dapat bersaing di pasar digital Indonesia.

 

“Ritel dari luar negeri tidak boleh lagi menjual produknya langsung ke konsumen. Mereka harus masuk lewat mekanisme impor biasa terlebih dahulu, setelah itu baru boleh menjual barangnya di pasar digital Indonesia. Kalau mereka langsung menjual produknya ke konsumen, UMKM Indonesia pasti tidak bisa bersaing karena UMKM kita harus mengurus izin edar, SNI, sertifikasi halal, dan lain sebagainya,” kata Menteri Teten Masduki.

 

Selanjutnya, pemerintah juga harus melarang aktivitas impor untuk produk yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Pemerintah juga perlu mengatur tentang harga barang yang dapat diimpor,“Pemerintah juga perlu melarang barang yang belum diproduksi di dalam negeri meski harganya berada di bawah 100 dolar AS. Tujuannya adalah agar barang-barang tersebut bisa diproduksi oleh UMKM tanah air,” ujar Menteri Teten.

 

Media Sosial Adalah Interaksi Sosial Bisakah Diatur?

 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda melihat social commerce adalah sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya. Nailul melihat perlu ada pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan e-commerce karena prinsip sama berjualan memakai internet. Misalnya dengan pengenaan pajak untuk menghindari loophole (Liputan6.com, 12/9/2023).

 

Kebijakan larangan impor maksimal USD 100 juga tidak efektif, sebab barang impor yang dijual oleh seller lokal, shippingnya dari domestik. Kebijakan itu akan efektif untuk membendung impor tapi untuk sistem yang cross border commerce. Terkait larangan jualan di TikTok Shop, Nailul menilai, hal tersebut tidak akan dilarang karena sosial commerce sudah ada dari dulu, seperti Kaskus.

 

Pakar Marketing dan Managing Partner Inventure Yuswohady mengatakan ,”Pemerintah harus memberikan pelatihan kepada pedagang di Tanah Abang supaya bisa berjualan di platform e-commerce dan social commerce dalam skala yang lebih besar,” (Katadata.co.id,16/9/2023).

 

Sedangkan Pengamat Ekonomi Digital Ignatius Untung Surapati menegaskan social commerce (s-commerce) tidak merugikan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan justru bisa bantu mendongkrak penjualan.

 

Pemerintah juga beranggapan jika sebuah platform seharusnya menjalankan fungsinya masing-masing, media sosial saja atau e-commerce saja, bukan berfungsi ganda. “Social commerce itu tidak merugikan UMKM. Banyak UMKM yang jualannya luar biasa, ya karena adanya social commerce. Social commerce itu tidak punya dampak negatif apapun terhadap UMKM,”( CNN Indonesia. 16/9/2023).

 

Apapun Kebijakannya, Jika Tetap Kapitalis Ruhnya, Tak Akan Sukses

 

Sepertinya ada kekurang tepatan pemerintah dalam mendeteksi persoalan sepinya Pasar Tanah Abang dan masih sengkarutnya problem UMKM. Sebab ketika pemerintah berencana melarang Tiktok sebagai media jual beli karena dianggap merugikan UMKM. Faktanya sebagian merasakan keuntungannya. Namun di sisi lain banyak barang impor yang masuk dengan harga yang sangat murah.

 

Maka, seharusnya negara bisa mengidentifikasi dengan tepat persoalan yang terjadi di lapangan sebelum membuat kebijakan/solusi yang tepat . Apalagi saat ini sedang digencarkan transformasi digital, termasuk rencana digitalisasi UMKM, sehingga dibutuhkan adanya pendampingan literasi digital. Faktanya UMKM dibiarkan mandiri membangun branding berikut daya saing di pasar nasional maupun internasional.

 

Negara semestinya aktif mendampingi UMKM ataupun pedagang dimana pun wilayahnya, alih-alih mengadakan pendampingan justru pemerintah hanya memposisikan dirinya sebagai regulator kebijakan. Banjirnya barang impor dengan harga yang lebih murah adalah bukti nyata kemana keberpihakan negara. Aturan dalam negeri begitu rumit, sementara investor asing banyak diberi kemudahan. Alasan perdagangan bebas selalu didengungkan.

 

Dengan modal terbatas, berikut kemampuan masih butuh pendampingan sangat mustahil bisa bersaing dengan perusahaan yang modalnya luar biasa. Terutama produk yang sudah memiliki nama besar, bersambung dengan sistem algoritma aplikasi belanja online jelas makin menenggelamkan UMKM dalam negeri ke dasar persaingan alias ditinggalkan.

 

Solusi Hakiki Ekonomi: Islam

 

Islam memberi ruang perkembangan teknologi untuk memudahkan hidup manusia, selama tidak bertentangan dengan hukum syara. Islam membiarkan perdagangan komoditas di luar kebutuhan dasar berjalan sesuai dengan mekanisme pasar sempurna. Keridaan penjual dan pembeli adalah kunci dalam jual beli.

 

Namun, yang sangat mencolok perbedaannya adalah dalam Islam negara bertindak sebagai periayah atau pengurus urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Maka, ketika perdagangan luar negeri mengharuskan adanya industrialisasi, negara akan hadir mengurusinya.

 

Kestabilan perekonomian dalam negeri menjadi fokus, sebab UMKM sejatinya bukan menjadi tulang punggung perekonomian negara. Itu adalah bentuk kezaliman. Negara akan kuat perekonomiannya jika diterapkan syariat Islam. Syariat Islam mengatur batasan kepemilikan atas kekayaan alam dan fasilitas umum yang menjadi hak bersama rakyat. Jika menjadi hak pribadi maka negara tidak akan merebut atau mengalihkan. Negara hanya mengelola kekayaan alam yang termasuk dalam kepemilikan umum dan negara.

 

Mengelolanya, dalam artian negara sendirilah yang mengatur, bukan diberikan kepada asing begitu juga tidak akan dilepaskan di perdagangan bebas, jika di dalamnya ada praktik-paktik yang berlawanan dengan syariat. Seperti riba, monopoli, penimbunan, permainan harga dan lain sebagainya. Jelas ini butuh pemimpin yang profesional dalam bidangnya, memahami fakta secara detil dan bukan asumsi serta bertakwa. Sehingga tidak sekadar mengeluarkan kebijakan tanpa penelaan terlebih dahulu. Dan itu hanya lahir dari rahim sistem Islam. Wallahualam bissawab. [DMS].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.