2 Mei 2024
Solusi Islam Anti Salfok Problem Sistem Pertanahan
59 / 100

Dimensi.id-Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah melakukan digitalisasi layanan pertanahan di Indonesia. Terobosan barunya adalah sertifikat tanah elektronik yang secara simbolis diluncurkan oleh Presiden Jokowi di seluruh tanah air pada Senin, 4 Desember 2023 yang lalu.

Pendahuluan

Presiden memaparkan pentingnya sertifikat tanah elektronik ini untuk mengurangi risiko kerusakan dan kehilangan, serta kemudahan dalam pengelolaan data. Targetnya, sebanyak 120 juta dari total 126 juta sertifikat tanah akan diluncurkan pada tahun 2024.

Namun, seharusnya pemerintah tidak salah fokus. Nyatanya permasalahan pertanahan yang urgen diselesaikan bukan dengan solusi sertifikat elektronik. Justru masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah konflik agraria. Konflik agraria, seperti data yang disampaikan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tahun 2015-2022 saja terdapat 2.710 konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.

Misalnya saja sengketa tanah antara warga Wates dan TNI AU sejak tahun 1950 hingga sekarang, yang berarti konflik itu telah berlangsung selama 73 tahun. Padahal menurut sejarahnya, Warga Wates pernah meninggalkan kampungnya dan mengungsi di tahun 1942 karena terancam keselamatannya akibat perang di zaman penjajahan Jepang. Setelah keadaan aman warga pun kembali, namun ternyata lahan mereka telah diklaim menjadi milik TNI AU.

Kemudian konflik masyarakat Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan dengan perusahaan kelapa sawit PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Warga menuntut pemenuhan janji dari perusahaan untuk memberikan lahan plasma sawit kepada mereka. Nahas, satu dekade janji itu tak dilunasi malah berujung pada penembakan dan kematian warga.

Selain itu, konflik yang terkenal di tanah Rempang. Warga pun tergusur demi proyek strategis nasional. Di Nagari Air Bangis masyarakat khawatir jika lahan itu dijadikan kawasan industri petrokimia dan masuk sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), mereka akan digusur dari lokasi yang selama ini menjadi sumber nafkah.

Banyaknya Konflik Agraria Yang Tidak Tuntas

Banyaknya konflik agraria yang menuntut penyelesaian seharusnya menjadi fokus negara. Sayangnya, pemerintah tidak tanggap. Bahkan jika yang berkonflik adalah pihak yang kuat seperti militer atau perusahaan besar, pemerintah cenderung mengabaikan nasib rakyat kecil. Nahasnya, pemerintah sendiri lah yang mengambil hak atas tanah masyarakat demi proyek  nasional.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika juga pernah mengkritisi kebijakan tambal sulam sertifikat tanah elektronik ini. Menurutnya, prioritas kerja pada sertifikat tanah ini menunjukkan orientasi pemerintah untuk kepentingan liberalisasi pasar tanah di Indonesia.

Karena  sertifikasi tanah (hak milik, HGU, HGB, HP, dan sebagainya) tanpa didahului land reform dan reforma agraria hanya akan melegitimasi monopoli tanah oleh badan usaha skala besar, dengan kata lain hanya mempermudah transaksi jual beli tanah bagi para pemilik modal.

Inilah yang dinamakan sistem kapitalisme. Sistem yang menelurkan kebijakan-kebijakan berorientasi kapital, dengan tujuan materi dan demi kepentingan kapitalis. Akhirnya, ketimpangan dan penindasan rakyat lah yang terjadi.

Pandangan Islam Tentang Agraria

Dalam pandangan Islam, seluruh hamparan tanah di bumi ini adalah milik Allah Sang Maha Pencipta sehingga manusia wajib menuruti aturan Allah dalam mengelola tanah. Termasuk cara-cara mendapatkan tanah yang haq menurut Islam. Individu pun dibolehkan memiliki tanah dengan cara jual beli, waris, hibah, menghidupkan tanah mati, membuat batas pada tanah mati (hak kepemilikan bisa hilang jika ditelantarkan 3 tahun berturut-turut), dan pemberian negara.

Sedangkan tanah yang terkandung tambang besar dan hutan yang memerlukan pengelolaan yang kompleks, maka Allah menetapkan syariat agar tanah itu dikelola oleh negara dan melarang untuk memberikan hak pengelolaan tanah itu kepada swasta. Seperti perusahaan asing atau pun lokal.

Hukum Allah ini dijalankan agar keadilan atas tanah tegak di bumi ini. Monopoli hak lahan tidak boleh ada dalam Islam. Demikian pula negara tidak boleh semena-mena merampas lahan milik rakyat atau yang sudah ditempati oleh rakyat lantas digusur atas nama kapitalisasi.

Ancaman Allah amat keras dalam hadits berikut,

Barang siapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat.” (H.R. Muslim).

Keadilan Dalam Islam

Keadilan karena penegakan syariat telah terwujud dalam pemerintahan Islam, Khilafah. Di zaman kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan, sebagai kepala negara beliau membeli sumur yang diprivatisasi oleh seorang Yahudi yang kikir, padahal saat itu kondisi masyarakat Madinah sedang kesulitan air. Sumur ini pun oleh Khalifah di jadikan milik bersama dan bisa dimanfaatkan seluruh kaum muslim dan rakyat pada umumnya.

Kisah sengketa lahan pun pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Gubernur Mesir Amr bin Ash pada saat itu hendak membangun masjid. Masalahnya, masjid itu rencananya dibangun di atas lahan rumah milik seorang Yahudi. Pria itu pun menolak untuk pindah dan menyerahkan lahannya sehingga dia mengadukan hal tersebut pada Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah dengan tegas memerintahkan agar membatalkan pembangunan masjid tersebut demi hak seorang rakyat nonmuslim

Demikian Islam memberikan solusi hakiki dalam masalah pertanahan. Konflik agararia saat ini tidak bisa diselesaikan dalam sistem kapitalisme. Hanya Islam saja yang dapat menyelesaikan problem hingga ke akarnya dan mengembalikan keadilan atas hak rakyat.

Wallahu a’lam

Penulis : Ari Sofiyanti

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.