7 Mei 2024

Keberadaan Covid-19 hingga kini masih menjadi momok menakutkan di dunia. Tak tanggung-tanggung, imbas dari virus mematikan ini bukan hanya membidik sektor perekonomian dan pendidikan, tetapi menyasar pula ibadah haji.

Dilansir oleh Merdeka.com (12/6/2021), pemerintah Arab Saudi resmi mengumumkan pembatasan jemaah haji 2021. Jumlah jemaah dibatasi sebanyak 6000 orang dan hanya untuk warga domestik. Selain itu, pemerintah Arab Saudi hanya memberikan ijin haji bagi warga yang berusia 18 sampai 65 tahun yang telah divaksinasi/diimunisasi vaksin virus Corona serta bebas dari penyakit kronis.

Alasan pembatasan jemaah haji ini terkait dengan pandemi Covid-19. Menteri Kesehatan Arab Saudi, Tawfiq al-Rabiah dalam konferensi pers  menjelaskan, keputusan ini dibuat untuk menjamin keamanan haji di tengah ketidakpastian terkait virus Corona.

Calon jemaah haji di dunia, tampaknya harus menelan pil pahit untuk yang kedua kalinya. Adanya pembatasan jemaah haji oleh pemerintah Arab Saudi, membuat keberangkatan mereka ke Tanah Suci tahun ini harus kembali dibatalkan.

Sesungguhnya, pembatalan haji dua tahun terakhir yakni 2020-2021 ini bukanlah kali pertama terjadi. Pada perkembangannya, pembatalan haji pernah berlangsung beberapa kali. The  Saudi King Abdul Aziz Foundation forResearch and Archives yang dirilis pada Maret, mencatat bahwa sebanyak 40 kali ibadah haji ditiadakan dalam sejarah peradaban manusia. Pembatalan ini ditengarai terjadi karena beberapa faktor seperti wabah penyakit, konflik, aktivitas perampok, bandit, dan lainnya. (Suara.com, 3/6/2020)

Menyaksikan fakta ini, sekilas pembatalan ibadah haji tampaknya hal yang biasa terjadi. Namun apabila kita merujuk pada era modern saat ini, dimana sains dan teknologi sudah sedemikian canggih dan berkembang pesat. Maka perlu dipertanyakan kenapa pembatalan ibadah haji kembali terjadi, bahkan  selama dua tahun berturut-turut.

Dulu, sains dan teknologi belumlah secanggih sekarang. Maka adalah hal yang wajar, ketika terjadi wabah mematikan ibadah haji  dihentikan sementara. Lain dulu lain sekarang. Adanya kecanggihan teknologi semestinya mampu mengondisikan berbagai hal yang menjadi kendala teknis administratif penyelenggaraan ibadah haji. Bukan malah sebaliknya.

Sejatinya kisruh pembatalan haji yang terjadi selama dua tahun ini, adalah buah dari kesalahan penanganan global terhadap pandemi. Sejak awal kehadiran wabah Covid-19, para penguasa di negeri-negeri muslim enggan mengambil solusi Islam dalam penanganan wabah. Mereka lebih memfokuskan diri pada solusi yang ditawarkan kapitalisme.

Padahal sejatinya, sistem kapitalismelah biang dari segala masalah yang mendera umat manusia saat ini. Lihat saja, bagaimana kebijakan-kebijakan yang lahir dari sistem ini tak ada satu pun yang mampu menuntaskan masalah pandemi. Seluruh kebijakan sistem kapitalisme lebih mengutamakan kepentingan ekonomi, mengabaikan nyawa serta keselamatan rakyat.

Meskipun riset dunia kesehatan telah berkembang sedemikian rupa, tetapi faktanya tak memberikan pengaruh signifikan di alam kapitalisme. Umat tetap harus kembali menelan kenyataan pahit karena syiar Islam dan kewajiban muslim (haji) tak bisa dilaksanakan. Mirisnya, para penguasa negeri-negeri muslim termasuk Arab Saudi, tidak bisa berbuat apa-apa akan hal ini. Padahal semestinya sebagai pihak yang menobatkan diri menjadi pelayan Tanah Suci, Kerajaan Arab Saudi mampu mengambil kendali atas masalah ini.  Agar pelaksanaan ibadah haji di masa pandemi dapat tetap terselenggara dan pemberangkatan jemaah haji dari luar Arab tidak perlu dibatalkan. Tetapi inilah yang terjadi hari ini, paradigma kapitalisme yang digunakan dalam penanganan wabah, menjadikan Arab Saudi dan negeri-negeri muslim lainnya lemah tak berdaya mengatasi masalah haji di kala pandemi.

Tidak demikian jika solusi Islam yang diambil dan diterapkan. Dalam Islam ibadah haji adalah (fardhu) bagi setiap muslim yang mampu atau istitha’ah (kemampuan secara fisik, mental dan perbekalan). Sehingga dapat melakukan perjalanan juga melaksanakan semua rukun haji dengan sempurna.

Sebagai agama sempurna, Islam benar-benar telah menetapkan dengan rinci bagaimana cara yang benar untuk mengurus pelaksanaan haji dan keperluan jemaahnya. Agar dalam segala kondisi pelaksanaan ibadah haji dapat ditunaikan dengan baik, meskipun ketika terjadi wabah pandemi.

Sejarah menunjukkan, betapa besar perhatian dan pelayanan yang diberikan para penguasa Islam (khalifah) kepada jemaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani dengan sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah, tanpa ada unsur bisnis, investasi atau mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji.

Dalam melayani para jemaah haji, maka khalifah akan menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Negara Khilafah juga akan membangun sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jemaah haji. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II. Pada Tahun 1900 Sultan Abdul Hamid II membangun jalur kereta api Hejaz untuk memudahkan para jemaah haji saat menuju Mekah. Selain itu, khalifah pun akan menghapus visa haji dan umrah. Pasalnya, di dalam negara khilafah, kaum muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini.

Ketika terjadi wabah pandemi, khilafah akan berusaha tetap menyelenggarakan haji dengan melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan. Seperti menjamin sanitasi, menjaga protokol kesehatan selama pelaksanaan haji, memberikan vaksin bagi para jamaah haji, juga menyediakan sarana kesehatan serta tenaga medis yang memadai. Hal itu dilakukan setelah upaya penyelesaian terhadap wabah yang merujuk pada tatacara syariat Islam dilaksanakan dengan sempurna.

Biaya naik haji dalam negara khilafah pun tidaklah semahal saat ini. Kalaupun negara harus menetapkan ONH (Ongkos Naik Haji), nilainya akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah. Uniknya dalam penentuan ONH ini, negara khilafah akan menerapkan paradigma ri’ayatu syu’un al-Hujjaj wa al ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah), bukan bisnis untung dan rugi seperti paradigma sistem kapitalisme.

Demikianlah keagungan pelayanan haji yang dilakukan oleh negara khilafah dan para khalifah. Seluruh kebijakan yang lahir dari sistem Islam, hanyalah demi kepentingan dan kemaslahatan umat. Itulah sebabnya, para penguasa yang berlandaskan Islam, akan mendahulukan kepentingan umatnya daripada yang lain. Sedangkan setiap kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme, semata-mata untuk mengejar materi. Karena itu, para penguasa yang bervisi kapitalisme, hanya akan melahirkan kebijakan kapitalistik yang merugikan umat.

Dari sini, maka tak dapat diragukan lagi Islamlah satu-satunya solusi atas seluruh permasalahan kehidupan. Hanya dengan menerapkan Islam, maka kasus pembatasan ataupun pembatalan ibadah haji tidak akan ada lagi. Hal ini karena hanya khilafahlah yang mampu menjadi pelayan Tanah Suci sesungguhnya.

Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari)

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Penulis: Reni Rosmawati | Ibu Rumah Tangga, Pegiat Literasi AMK

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.