3 Mei 2024

Dakwah adalah jalan para Nabi dan Rasul. Jalan ini bukanlah jalan yang mudah dan murah. Ini adalah jalan yang telah banyak menggugurkan para pejuang  yang menoleh terpana oleh dunia. Bagaimanapun dunia menawarkan beragam keindahan, kedudukan, kesenangan. Namun jika kita memahami hakikat dunia yang sebenarnya, sungguh jalan dakwah yang terjal ini adalah sebuah kenikmatan yang akan kita tukar dengan keabadian.

Lalu, apakah dunia itu? Sahabat yang mulia, Jabir bin Abdullah, mengabarkan bahwa Rasulullah pernah melewati sebuah pasar hingga kemudian banyak orang yang mengelilinginya.

Sesaat kemudian beliau melihat bangkai anak kambing yang cacat telinganya. Beliau mengambil dan memegang telinga kambing itu seraya bersabda, ‘‘Siapa di antara kalian yang mau memiliki anak kambing ini dengan harga satu dirham.” Para sahabat menjawab, ‘‘Kami tidak mau anak kambing itu menjadi milik kami walau dengan harga murah, lagi pula apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?

Kemudian Rasulullah berkata lagi, ‘‘Apakah kalian suka anak kambing ini menjadi milik kalian?” Mereka menjawab, ‘‘Demi Allah, seandainya anak kambing ini hidup, maka ia cacat telinganya. Apalagi dalam keadaan mati.”

Mendengar pernyataan mereka, Nabi bersabda, ‘‘Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini untuk kalian.” (HR Muslim).

Itulah dunia yang penuh pesona ternyata hanya seonggok bangkai. Tidak ada kemuliaan yang benar-benar mulia, tidak ada kesenangan yang tak berkesudahan. Tak ada indah berkekalan, semua sementara, semua fana.

Dalam hadits yang lain Rasulullah menggambarkan bagaimana cara kita menyikapi dunia yang fana ini. Pada suatu waktu, Rasulullah memegang pundak Abdullah bin Umar Beliau berpesan, ‘‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sekadar melewati jalan (musafir).‘’

‘Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya, bila engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menanti datangnya sore. Ambillah (manfaatkanlah) waktu sehatmu sebelum engkau terbaring sakit, dan gunakanlah masa hidupmu untuk beramal sebelum datangnya kematianmu.” (HR Bukhari).

Dunia ternyata terminal saja kawan, betapapun terminal itu mewah, metropolis namun dia tetap saja tempat persinggahan menuju kampung akhirat yang abadi. Namun, bukan berarti terminal itu tak melenakan mata dan hati kita. Ada begitu banyak tawaran disana, jalan manakah yang akan  menjaga keistiqamahan kita menempuh perjalanan ini?

Dakwah, inilah jalan keselamatan itu. Bersama dakwah kita akan berada digerbong yang dipenuhi oleh para pemburu syurga. Penegak amar makruf nahi mungkar, orang-orang yang tidak akan rela apabila kita terseret sedikit saja dalam kesia-siaan. Dijalan ini kita saling menguatkan, saling mendoakan dan saling menitip pesan untuk sampai kesana, ke kampung keabadian.

Tapi jalan ini tak mudah kawan, apakah kita bahagia menitinya? Bahagiakah kita dalam dakwah ini? Terkadang kita diuji dengan pujian yang melenakan, menangis luka karna cemoohan, menahan pandangan karena takut jatuh dalam kehinaan, sungguh tidak murah. Bahagiakah kita menjalaninya? Padahal sekujur tubuh dan bahkan batin kita sendiri mungkin membawa luka, baik luka di masa lalu maupun luka-luka karena perjalanan yang sulit.

Namun, dakwah ini harus dilanjutkan oleh mereka yang bahagia dan bebas dari beban luka. Jiwa yang sakit tidak bisa diharapkan untuk menyembuhkan jiwa-jiwa lainnya yang meradang terinfeksi oleh berbagai luka. Maka bebaskan dan sembuhkan luka batin kita, agar kita bahagia. Ikhlaskan siapapun dan apapun yang pernah memahat pedih disudut manapun, agar kita dapat melangkah untuk meraih mereka  yang membutuhkan uluran tangan kita, menggandengnya meniti jalan yang sama, jalan dakwah yang penuh berkah ini.

Berserahdirilah untuk semua kebaikan yang akan Allah berikan, positiflah, berbaik sangka pada Allah. Karena Allah telah menjamin segalanya. “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik,” (QS. An-Nahl:97).

Dakwah ini tidak akan menjadikan kita miskin meski semua perbendaharaan kita habiskan dijalan-Nya karena  Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surah Hud ayat 16; “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).

Namun kawan bahagia tak segampang mulut mengucap, jika tak menatanya dengan cerdas  maka belum tentu setiap moment dakwah itu membahagiakan. Oleh karenanya milikilah tiga kunci pembuka pintu kebahagiaan itu;

Pertama, milikilah kemampuan mengontrol emosi. Untuk mengampu kemampuan ini maka pahamilah level masalah, apakah ini ranah individu ataukah yang melibatkan jama`i. Skala besar atau kecil, skala remah renggginang atau malah intan berlian. Tempatkan adab dalam mengendalikan emosi, jangan menghabiskan energi pada wilayah yang seharusnya cukup disikapi dengan senyuman saja. Hematlah daya karena jalan ini masih sangat panjang kawan. Pahami masalah dan wilayah-wilayahnya.

Kedua, terampil aulawiyat. Pintar-pintarlah melihat skala prioritas. Ketika sebuah urusan selesai bersegeralah menuju urusan yang lain, waktu kita singkat kawan, jangan lupa ini tempat persinggahan saja.

Dari Abu Hurairah ‘Abdurrahman bin Shakr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa saja yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, tegarlah menghadapi masalah. Karena masalah adalah teman perjalanan, bumbu dan hidangan yang akan menemani  pertualangan ini. Kuncinya tawakal saja. Berserah diri, akui kelemahan kita, yakin Allah memberi ujian sesuai kemampuan kita. Setiap kesulitan ada kemudahan maka optimalisasi amal shalih (ingat tujuan kita adalah ridha Allah). Terakhir berhenti berkata: “saya tidak bisa”

Maka berdakwahlah dengan bahagia, dan bahagialah dalam dakwah.

Penulis: Aisyah Karim | Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.