7 Mei 2024

Dimensi.id-Baru saja kisruh soal impor gula, kini kembali kran impor dibuka, garam. Habis manis sepah dibuang, rasanya harus diganti dengan habis manis, asin garam impor bertandang. Impor garam kapan berakhir? Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa pemerintah telah memutuskan untuk mengimpor garam sebanyak 3 juta ton. Keputusan ini telah diambil dalam rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian beberapa waktu lalu (merdeka.com,21/3/2021).

Keputusan impor pun menurut Sakti sudah diatur dalam UU Cipta Kerja. Bahkan sudah sesuai data BPS.Meskipun Oktober tahun lalu, Presiden Jokowi sempat marah dan menyebut bahwa masalah garam rakyat belum terselesaikan hingga saat ini. Bahkan, tidak ada pihak yang ingin mencari jalan keluarnya. “Masih rendahnya kualitas garam rakyat sehingga tidak memenuhi standar untuk kebutuhan industri. ini harus dicarikan jalan keluarnya. Kita tahu masalahnya tapi nggak pernah dicarikan jalan keluarnya,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat ( merdeka.com,5/10/2020).

Kemarahan itu menguap, sebab masih direzim yang sama, garam itu kembali diimpor. Apa alasan pemerintah kali ini? Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi menjelaskan alasan pemerintah memutuskan membuka keran impor tahun ini adalah untuk memenuhi kebutuhan garam industri. Sebab kualitas garam industri yang diproduksi dalam negeri belum menyamai kualitas garam impor. “Apa yang bisa dilakukan supaya swasembada? Bukan jumlahnya saja, tapi kualitasnya. Ini yang mustinya industri nasional bisa lihat opportunity untuk memperbaiki industri nasional,” ujarnya.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang juga menambahkan bahwa kebutuhan garam sektor industri masih perlu dipenuhi dari impor. Namun, pelaksanaan impor garam tetap melewati proses yang ketat, termasuk audit untuk verifikasi kebutuhan garam oleh para pelaku industri. “Penentuan angka impor garam sendiri telah melewati proses audit langsung ke industri penggunanya dan angkanya sudah sesuai dengan data BPS,” ujar Agus.

Jadi, jika digali lebih dalam ada beberapa kendala yang menyulitkan keinginan negara untuk swasembada yaitu:
1. Kualitas dan pasokan garam impor lebih baik daripada garam lokal, lebih sesuai dengan kebutuhan industri. Bagaimanapun produksi suatu barang, terutama yang menyangkut kebutuhan pokok memang butuh tenaga ahli di bidangnya, baik secara keilmuan maupun teknis , pendidikan kuncinya, namun sayang, dunia pendidikan hari ini tak mengampu itu, selain hanya menciptakan manusia siap kerja. Bukan mereka yang memiliki daya inovasi dan kreatifitas tinggi, sekaligus polymath.

  1. Negara belum mampu menciptakan teknologi terbaik untuk produksi garam yang lebih banyak sekaligus yang berkualitas. Sebab selama ini petani garam hanya mengandalkan sistem produksi tradisional , pengeringan dengan matahari. Di Nusa Tenggara menurut Dekan Fakultas Perikanan Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang, Umbu Paru Lowu Dawa, sebenarnya sudah dikenal sistem geomembran dan sistem portugis untuk produksi garam. Cara produksi itu memang membutuhkan waktu lebih lama. Akan tetapi, kualitas garamnya lebih baik. Demikian juga dengan teknologi rumah kaca di Pamekasan, Madura dan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang bekerja sama dengan PT Garam (Persero) juga sudah meresmikan Komisioning Pilot Project Garam Industri Terintegrasi Kapasitas 40.000Ton/tahun di Manyar, Gresik, Jawa Timur.

Namun karena kurang edukasi, kampanye dan sosialisasi maka belum menunjukkan hasil yang signifikan pada kualitas garam lokal. Fokus negara justru langkah praktis, dengan menambah jumlah impor setiap kali krisis. Padahal kebijakan ini malah semakin membuat semangat petani menyusut, demikian pula produktivitas, jika sudah demikian,maka negara luar akan mudah sekali mendikte termasuk eksploitasi tanpa batas terhadap masa depan petani garam.

  1. Adanya penetapan harga ecer terendah (HET) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 2018. Yang merusak harga garam petani lokal. Menurut Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Pamekasan Nurul Widiastutik, meski harga garam rakyat saat ini masih berada di kisaran Rp 2.000 hingga Rp 2.500 per kilogram. Harga tersebut masih terdampak kebijakan pemerintah yang melakukan impor garam. “Seandainya tidak ada kebijakan impor garam yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, maka kemungkinan besar harga garam rakyat masih berada diatas Rp 3000/kg petani garam lokal yang akan diuntungkan,” ungkapnya.

  2. Mudahnya kebijakan impor tanpa mengoptimalkan kualitas dan kuantitas produksi dalam negeri juga sangat keji, sebab diambil di saat stok garam di petani melimpah. Demikian pula dengan penunjukkan tunggal yang diberikan kepada PT Garam sebagai importir, juga dipertanyakaan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Menurut Wakil Sekretarus Jenderal KNTI Niko Amrullah, Pemerintah harusnya bisa mengingat kisah beberapa saat lalu, saat Direktur Utama PT Garam Achmad Boediono ditetapkan sebagai tersangka kasus penyelewengan impor garam. “Bukan menambah kesejahteraan petambak garam rakyat, namun justru semakin meminggirkan mereka terhadap mekanisme pasar,” ucap dia.

Empat poin di atas menunjukkan betapa penguasa tak berupaya maksimal keluar dari persoalan dan segera menegakkan solusi. Semestinya ada kesungguhan kebijakan negara untuk mengatasi masalah berulang. Persoalan kuantitas dan kualitas bisa diatasi dengan kemauan politik untuk swasembada.

Rakyat tidak butuh retorika (Jokowi marah soal impor garam) tapi butuh action nyata mengatasi agar negara tak hanya memfasilitasi pemburu rente dari impor produk vital. Rasulullah bersabda,” “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Jelas maksudnya adalah seluruh kebutuhan dasar rakyat, negara atau pemimpinlah yang menjamin. Ketakwaan seorang pemimpin sangat dibutuhkan, demikian pula lembut hati dan peka terhadap penderitaan rakyatnya.

Kebijakan impor garam, bisa jadi memudahkan pelaku industri yang bahan bakunya adalah garam, sebab ia mendapatkan harga murah dan berkualitas, namun di sisi lain justru menciptakan neraka bagi petani. Mana boleh seorang pemimpin bersikap tidak adil, hanya meringankan beban yang satu dan menimpakan beban berat kepada yang lain. Rasulullah pun pernah berdoa,” Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia”. (HR. Muslim No 1828).

Kekuasaan bukanlah prestisius semata, namun ia pedang bermata dua, di sisi lain memberikan kemuliaan di sisi yang lain menempatkan kakinya di ujung jurang neraka. Ini yang tidak disadari rakyat, mereka hanya memilih pemimpin baru setiap kali yang lama sudah tak layak, padahal sistem aturannya lah yang semestinya diganti. Kapitalisme yang berlandaskan sekuler hari ini samasekali tak memunculkan pemimpin yang adil, bertakwa dan benar-benar ada untuk rakyat. Lingkaran gurita korupsi salah satu buktinya, jika bukan untuk memperkaya diri ya memperkaya partai atau orang yang sudah memodali ya untuk maju menjadi pemimpin . Wallahu a’ lam bish showab. [Dms]

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.