4 Mei 2024

Dimensi.id-Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi, meminta agar negara lain menghapus Indonesia dari daftar merah perjalanannya (redlist), mengingat kasus Covid-19 di negara ini yang disebut sudah melandai. Diketahui sejumlah negara telah mengklasifikasikan Indonesia ke dalam daftar merah perjalanannya atau larangan masuk bagi para warga negara Indonesia (redlist). Redlist memungkinkan untuk dicabut karena terdapat sejumlah fakta pendukung. Demikian yang penulis kutip dari laman cnnindonesia pada 25/9/2021.

Diantara fakta tersebut terdapat data yang menunjukkan bahwa kasus Covid-19 di Indonesia mengalamai penurunan. Positivity rate di Indonesia saat ini di bawah 2 persen. Padahal negara ini pernah mencapai titik rata-rata positif hingga 31 persen. Positivity rate di Indonesia sekarang di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang sebesar 5 persen.

Retno juga memamerkan data penurunan kasus Covid di Indonesia saat bertemu dengan perwakilan Inggris dan Arab Saudi. Hal tersebut diharapkan mampu membuat pemerintah Inggris melakukan peninjauan terhadap ketentuan red green list mereka atau aturan bagi warga asing yang ingin mengunjungi negara tersebut. Sementara dengan Arab Saudi, berharap data itu bisa dijadikan dasar untuk pemerintah Saudi meninjau kebijakan mengenai vaksin, termasuk umrah.

Jika ditilik lebih mendalam pariwisata adalah sektor yang paling terdampak oleh penetapan redlist terhadap Indonesia. Indonesia dipandang berbahaya untuk dikunjungi sehingga beberapa negara memberlakukan redlist. Oleh karena itu pencabutan redlist ini sejatinya adalah langkah untuk menyelamatkan dunia pariwisata yang terguncang.

Hal ini semakin menarik tatkala kita melihat lebih dalam siapa saja pelaku wisata yang terancam usahanya karena penetapan redlist. Laman databoks.katadata.co.id pada 31/8/2021 merilis data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat, terdapat sejumlah 2.945 perusahaan objek wisata di Indonesia pada 2019. Dari jumlah tersebut, mayoritas atau 2.201 perusahaan objek wisata dikelola oleh swasta.

Bali misalnya sebagai primadona wisata Indonesia, memiliki investasi pariwisata yang didominasi pemodal asing. Kepala Dinas Pariwisata Bali, Putu Astawa menilai hampir 80 persen investasi di sektor pariwisata Pulau Dewata dilakukan oleh pemodal asing.

Berdasarkan data Kantor Perwakilan Bank Indonesia Bali, penanaman modal dalam negeri (PMDN) di Pulau Dewata selama 2020 mencapai Rp 5.432,7 miliar dan 2.513 proyek dan penanaman modal asing (PMA) pada periode sama senilai US$ 293,3 juta untuk 3.967 proyek. Porsi PMA ke sektor hotel dan restoran mencapai 52 persen, dengan nilai US$ 152,516 juta atau Rp 2, 19 triliun (bali.bisnis.com 22/3/2021)

Sedangkan porsi PMDN ke sektor hotel dan restoran adalah sebesar 45 persen atau senilai Rp 2.444,7 miliar. Artinya, dari segi nilai, investasi sektor hotel dan restoran pada 2020 memang didominasi oleh penanaman modal asing. Kepentingan para pemodal inilah yang diperjuangkan penguasa dengan permintaan dicabutnya redlist.

Padahal pembukaan pariwisata justru berisiko pada penularan varian baru, karena negara asal wisatawan mancanegara juga belum bebas sepenuhnya dari pandemi. Selain itu mutasi virus SARS-CoV-2 yang terus berkembang dan memiliki karakteristik baru turut menjadi faktor sebaran kasus masif dan agresif, hingga sebagian disebut mampu memperburuk gejala klinis, dan bahkan mampu menghindari antibodi dari vaksin covid-19.

Namun penguasa menutup mata atas ancaman ini demi mengembalikan kembali denyut kehidupan wisata, mengisi kembali pundi-pundi para pemodal asing yang usahanya tersebar di seluruh Indonesia terutama di Bali.

Potensi Lonjakan Covid-19 RI di Maret 2022

Memang penambahan kasus di Indonesia mengalami penurunan sepanjang September ini. Kendati demikian, ancaman lonjakan kasus covid-19 yang disebut gelombang ketiga berpotensi terjadi di Indonesia lantaran mendekati momen libur Natal dan Tahun baru 2022, dan bahkan bisa terjadi pada Maret 2022 (cnnindonesia.com 25/9/2021).

Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko mewanti-wanti risiko penyebaran Covid-19 di Indonesia semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya mobilitas masyarakat.

Siapa Untung Siapa Buntung

Laman travel.okezone.com pada 25/8/2021 mengulas soal rencana penguasa untuk mengeluarkan visa lima tahun bagi turis asing yang bepergian ke Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan.

Menurutnya visa dan paspor 5 tahun sedang di proses dan tak perlu lama-lama lagi untuk memperoleh izin. Meski rencana ini belum terealisasi, tampak bahwa program ini sejalan dengan program work from Bali yang pernah dipopulerkan beberapa bulan silam.

Rencana ini pun telah lama diwacanakan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno. Menurutnya long term visa tersebut akan menjadi satu prasyarat utama agar lebih banyak masyarakat dunia digital menerapkan prinsip nomad (seseorang yang bekerja tanpa terikat oleh waktu dan tempat) dengan mempertimbangkan Bali sebagai second home (rumah kedua).

Para pakar telah menyarankan agar rencana tersebut ditinjau ulang karena terdapat sejumlah kelemahan yang harus menjadi pertimbangan pemerintah. Hal tersebut diutarakan oleh pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, yang menyebut kelemahan pemberian visa bebas kunjungan kepada 169 negara.

Pemberlakuan bebas visa non-reciprocality ke 169 negara inilah salah satu yang merugikan Indonesia. Agus menilai penguasa masih terkesan hanya membuang-buang anggaran untuk mempromosikan sektor wisata.

Kesejahteraan adalah kata sakti yang sering di sodorkan kepada rakyat dalam iklan-iklan pembangunan wisata. Tersedianya lapangan kerja dan pembangunan menjadi sihir bagi masyarakat agar melepas kebun-kebun mereka dan tempat tinggalnya demi investasi. Sejumlah fakta telah membuktikan bahwa para pengembang dan pemodal mengabaikan kepentingan warga, munculnya permasalahan sosial, meningkatnya kriminalitas termasuk berdampak buruk pada lingkungan.

Apa yang menjadi kekhawatiran para profesional memang patut dicatat. Pasalnya selama ini Investasi wisata yang masuk di Indonesia tidak terlalu dirasakan secara nyata oleh masyarakat, khususnya kalangan masyarakat kurang mampu. Manfaat itu hanya dirasakan oleh pemilik modal asing sehingga keuntungan yang didapat pun dibawa ke luar Indonesia.

Indonesia seharusnya berkaca dan belajar pada negara-negara maju. Tidak satu pun dari negara maju bergantung pada sektor pariwisata, meski pariwisata menjadi salah satu aspek yang diperhatikan. Negara-negara tersebut justru berkutat pada sektor pangan, energy, teknologi dan industri, sehingga mampu menyuplai kebutuhan negara-negara lain, selanjutnya memanen keuntungan berlimpah dari perdagangan tersebut.

Seharusnya negeri ini belajar dari tragedi jejaring turis Tiongkok di Bali. Bagaimana serbuan wisata murah China itu kemudian memiskinkan para pelaku wisata lokal di Bali secara sistemik. Hal tersebut dikarenakan pariwisata bukanlah kepentingan ekonomi mayoritas rakyat namun hanya menguntungkan segelintir pemodal.

Penguasa seharusnya belajar bahwa pariwisata adalah sektor yang sangat rapuh untuk menunjang kelangsungan kehidupan bangsa, sebagaimana Bali yang luluh lantak karena pandemi. Penghapusan redlist mungkin menggerakkan roda ekonomi disatu sisi, menghidupkan denyut bisnis pariwisata namun perlahan membunuhnya di sisi yang lain.

Wallahu`alam bissawab. (AK)

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.