17 Mei 2024

Balada Impor Garam di Negeri Maritim

Oleh Reni Rosmawati
Ibu Rumah Tangga, Pegiat Literasi AMK

Jargon ‘cinta produk Indonesia, benci produk luar negeri’ yang beberapa waktu lalu digaungkan Presiden Jokowi tampaknya hanyalah isapan jempol belaka. Pasalnya, kini pemerintah Indonesia kembali memutuskan untuk melakukan impor garam. Dilansir oleh Kompas.com (21/9/2021), pada tahun ini, pemerintah akan mengimpor garam sebanyak 3,07 juta ton, dengan alasan kebutuhan 4.7 juta ton garam yang tidak tercukupi dari garam lokal. Selain itu, garam impor pun dianggap memenuhi kuantitas dan kualitas kebutuhan industri. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi.

Sebelumnya, Ketua Umum Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU), Witjaksono menolak tindakan impor garam tersebut. Witjaksono mendesak pemerintah supaya berhenti melakukan impor garam selama 2 tahun ke depan. Tersebab stok garam dalam negeri sedang melimpah. Menurutnya, daripada mengandalkan impor, pemerintah sebaiknya berpihak pada petani garam dengan melakukan pendampingan peningkatan produksi pembukaan lahan tambak garam baru. (Merdeka.com, 24/3/2021)

Sebagai negeri maritim (negeri yang memiliki area laut lebih luas daripada daratan), sudah dapat dipastikan Indonesia memiliki jumlah garam yang melimpah asalkan dikelola dengan baik. Berdasarkan data yang dirangkum kkp.co.id, Indonesia memiliki lahan garam nasional sebesar 27.047,65 ha, yang menghasilkan produksi garam melimpah setiap tahunnya. Selain itu, Indonesia pun mempunyai banyak pegunungan yang berpotensi menghasilkan garam. Seperti salah satunya gunung garam yang terletak di Kalimantan Timur. Jika merujuk pada fakta ini, maka merupakan sebuah ironi, jika Indonesia mengalami krisis garam.

Sejatinya, keputusan impor garam yang dilakukan pemerintah, akan berdampak buruk bagi negeri ini dan juga penambak garam lokal. Alih-alih membuat kebijakan sistematis dan memenuhi kebutuhan garam dalam negeri, impor garam yang dilakukan pemerintah justru akan membatalkan target swasembada garam dan mengabaikan nasib petani garam lokal. Harga garam lokal akan semakin rendah bahkan tidak laku seiring meningkatnya pasokan garam impor. Selain itu, ketergantungan Indonesia pada impor garam pun akan membuat Indonesia kehilangan kedaulatan pangan.

Apabila diteliti, dalih impor garam untuk memenuhi kebutuhan industri yang selama ini didengungkan pemerintah nyatanya hanya alasan semu. Pada faktanya, adanya kebijakan impor garam adalah jalan pemerintah untuk melepaskan diri dari tanggung jawab mengurusi petani garam. Kebijakan impor garam yang rutin setiap tahun dilakukan oleh pemerintah menjadi penanda ketidakseriusan pemerintah memperbaiki tata kelola garam secara nasional.

Jika benar stok garam tidak mencukupi dan memenuhi kualitas bagi industri, alangkah eloknya apabila pemerintah lebih bersungguh-sungguh mengeluarkan kebijakan negara agar masalah ini tidak terulang. Seperti melakukan swasembada garam dengan membuat perluasan tambak garam baru yang didukung sarana dan prasarana industri memadai. Tetapi sayang, hal itu tidak menjadi pilihan aksi oleh pemerintah. Pemerintah lebih senang mengandalkan impor, ketimbang membangun kedaulatan pangan. Inilah potret buruk rezim kapitalisme-neoliberal.

Sungguh, akar mendasar kisruhnya pergaraman di tanah air adalah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalis-neoliberal. Sistem ini, telah menjadikan peran penguasa bergeser dari fungsi yang semestinya yakni mengurusi kepentingan rakyat. Hal ini karena keuntungan materi yang menjadi landasan sistem kapitalisme-neoliberal menjadikan negara dan penguasa hanya berfungsi sebagai regulator yang memuluskan kepentingan para kapital.

Tingginya ongkos politik dalam sistem ini, menjadikan rezim kapitalis gagal mengurus kebutuhan rakyatnya, karena berorientasi mengembalikan modal politik selama proses politik berlangsung. Itulah sebabnya, tak heran jika kerap kita dapati berbagai kebijakan yang dikeluarkan rezim terkesan plin-plan bahkan condong menguntungkan sejumlah elit tertentu (pemilik modal) yang menjadi donatur kekuasaan. Meskipun taruhannya dengan mengorbankan rakyat.

Tidak demikian dengan Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), negara Islam (khilafah) dan penguasa Islam (khalifah) akan melaksanakan tanggung jawabnya meriayah (mengurus), melindungi dan memastikan kemaslahatan rakyat sebaik mungkin. Yang demikian karena Islam benar-benar memosisikan negara beserta penguasa sebagai pengatur urusan umat.

Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (khalifah) itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al-Bukhari dan Imam Ahmad)

Sebagai agama sempurna, Islam memiliki sistem politik yang kokoh. Negara Islam tidak akan mudah tunduk pada tekanan internasional yang dibuat melalui perjanjian-perjanjian yang hakikatnya adalah alat penjajahan.

Khalifah akan bertindak sebagai penanggung jawab yang akan memastikan kedaulatan dan kemandirian negara terjaga dalam semua bidang. Tak terkecuali bidang pangan. Dalam sistem khilafah kebijakan impor bukanlah solusi bagi masalah pangan. Untuk mewujudkan kemandirian pangan, negara khilafah akan menggenjot produksi pangan sesuai kebutuhan melalui usaha meningkatkan kualitas dan memperluas lahan pertanian dalam negeri. Saat panen raya, khilafah akan membeli semua barang-barang tersebut. Untuk kemudian akan didistribusikan secara menyeluruh kepada masyarakat ketika cadangan pangan berkurang atau terjadi paceklik.

Khilafah juga akan menciptakan mekanisme pasar yang sehat. Khilafah akan memberlakukan larangan tas’ir (taksir) yaitu larangan bagi pemerintah untuk mematok harga. Yang demikian dimaksudkan agar tidak terjadi kezaliman antara penjual dan pembeli.

Selain itu, khilafah pun akan selalu melakukan operasi pasar. Khalifah akan menyelesaikan hingga ke akar segala hal yang menghambat terjaminnya kebutuhan pangan. Seperti proses distribusi pangan ataupun munculnya penurunan harga yang memberatkan. Dengan begitu, maka pihak-pihak yang hendak mencari keuntungan dari masyarakat pun akan tertutup rapat.

Itulah langkah-langkah yang dilakukan negara khilafah dalam menjaga ketahanan pangan. Dari sini, tampak jelas betapa hanya Islamlah satu-satunya sistem yang mampu menjaga dan menjamin kemaslahatan rakyatnya. Karena itu, menerapkan Islam kafah dalam institusi Daulah Khilafah dan mencampakkan sistem kapitalisme biang kesengsaraan, merupakan kewajiban bagi kita semua saat ini.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.