28 April 2024
Serangan Hamas Adalah Simbol Perjuangan Muslim Palestina!
69 / 100

Dimensi.id-Keberhasilan Hamas dalam operasi “Badai Al-Aqsha” (7/10) lalu, seringkali dikaitkan dengan serangan gabungan Mesir-Suriah 50 tahun silam (1973) untuk merebut kembali Gurun Sinai dan Dataran Tinggi Golan dari Israel. Meski demikian, kedua serangan ini tidak bisa -sama sekali- dipandang sama sepenuhnya dari sisi motif perlawanannya.

Mesir dan Suriah kala itu terlibat konflik dengan Israel karena ingin menguasai wilayah yang dianeksasi Israel demi kepentingan nasional mereka, sedangkan Hamas menjalankan aksi serangannya semata-mata untuk kepentingan kaum muslim Palestina dan umat Islam secara keseluruhan.

Juru bicara Hamas Khaled Qadomi menyebut Badai Al-Aqsa sebagai respons Palestina terhadap kekejaman yang dilakukan rezim Israel selama beberapa dekade. “Kami ingin masyarakat internasional menghentikan kekejaman di Gaza, terhadap rakyat Palestina, tempat suci kami seperti Al-Aqsa. Semua hal inilah yang menjadi alasan dibalik dimulainya pertempuran ini,” ungkapnya. (https://dunia.rmol.id/read/2023/10/08/592234/kronologi-operasi-badai-al-aqsa-serangan-kilat-hamas-yang-tak-terduga).

Sejak lahirnya negara Israel di tanah Palestina (1948) hingga hari ini, perjuangan rakyat Palestina untuk merebut kembali wilayah yang diklaim Israel sebagai “holy land” tak pernah padam. Apa sesungguhnya pangkal dari konflik ini?

Apabila kita menilik sejarah ke belakang sebelum tahun 1897, wilayah Palestina merupakan wilayah damai bagian dari Kekhilafahan Utsmani. Wilayah tersebut dihuni warga muslim dan nasrani yang hidup berdampingan dengan penuh keharmonisan.

Bahkan jauh sebelum itu, sejak diserahkannya kunci gerbang Yerusalem oleh uskup Yerusalem dan ditandatanganinya perjanjian Umariyah di masa Kholifah Umar bin Khaththab (637 M), umat Islam terikat perjanjian melindungi warga nasrani atas harta, jiwa dan ibadah mereka. Warga nasrani juga meminta kepada Kholifah Umar untuk melarang satu pun Yahudi melewati dan bermalam di Yerusalem. Terkait hal tersebut, Kholifah Umar pun menepatinya.

Namun, keharmonisan yang berselang selama 1260 tahun tersebut mulai diusik dengan ambisi Theodore Hertzl -seorang zionis yahudi- mendirikan negara Israel sebagai tempat mukim mereka guna mengakhiri  antisemitisme yang berkembang di Eropa Timur.

Tahu persis bahwa Palestina bukan wilayah tak  bertuan, -pasca kongres zionis internasional pertama di Basel- Theodore Hertzl menemui Kholifah Abdul Hamid II sebagai pemimpin kekhilafahan Utsmani waktu itu. Dengan tegas kholifah menjawab: “Tanah itu bukan milikku, tetapi milik ummatku” (Khalifah Abdul Hamid II, 1897)

Gagal pada upaya pertama, Theodore Hertzl kembali menemui kholifah dengan membawa 150 juta poundsterling (ada yang memperkirakan setara dengan lebih dari 300 triliyun rupiah), dengan tanpa keraguan sekali lagi Kholifah Abdul Hamid II menegaskan dan menasehati Hertzl supaya jangan meneruskan rencananya. Kholifah menyatakan: “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam.

Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silahkan menyimpan harta mereka. Jika Daulah Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya.

Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Daulah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup” (Khalifah Abdul Hamid II, 1902).

Oleh karenanya, upaya keras kaum zionis selanjutnya adalah memberikan prioritas perhatian pada kehancuran Khilafah Utsmani sebagai penjaga tanah Palestina dengan meminta bantuan Inggris. Pada 1917, Kabinet Perang Inggris mengizinkan Balfour yang saat itu sebagai menteri luar negeri dan keturunan yahudi, memberikan surat simpati kepada tujuan zionisme. Surat yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour ini menyebutkan, “Pemerintahan yang mulia bersimpati bagi berdirinya sebuah national home di Palestina bagi bangsa Yahudi ….”.

Tak berselang lama pasca perang dunia I (1918), Khilafah Utsmani yang direncanakan kekalahannya pun dipecah-pecah wilayahnya berdasar perjanjian Sykes-Picot antara kerajaan Britania Raya dan Prancis. Dibawah protektorat Inggris,  wilayah Palestina dibuka bagi pengungsi yahudi. Tahun 1920 mulai terjadi pendaratan kapal pertama di Haifa, Palestina yang membawa orang-orang yahudi diantaranya Golda Meir dan Moshe Dayan. Pada tahun 1948, PBB mengesahkan berdirinya negara zionis Israel di tanah Palestina yang kemudian membesar wilayahnya dari 6% menjadi menguasai 85% wilayah Palestina.

Inilah pangkal gejolak yang terjadi di tanah Palestina. Perampokan, penjajahan, pembantaian, pengusiran dan pemblokadean zionis Israel atas warga muslim Palestina. Maka, fix Israel adalah penjajah dan sah bagi kaum Muslim Palestina melakukan perlawanan untuk melindungi dan mengambil kembali hak-hak mereka yang telah dirampas zionis Israel.

Apabila aksi perlawanan Hamas yang mewakili muslim Palestina atas penjajahan dianggap sebagai terorisme, maka setiap pahlawan pejuang kemerdekaan Indonesia maupun negara lainnya juga dapat terkategori teroris. Mana bisa demikian cara berfikirnya?

Sebagai kaum milenial yang memiliki identitas Islam, sudah selayaknya kita paham akar sejarah konflik ini dan memilih jalan perjuangan yang tepat. Israel dari awal lahirnya hingga hati ini tak mengenal bahasa perdamaian, diplomasi dan perjanjian.

Terbukti dari sekian banyak perjanjian damai yang diadakan mulai dari Camp David, Oslo, Madrid, dll semuanya gagal. Bahkan lebih dari 30 resolusi yang ditetapkan PBB -lembaga tertinggi dunia- juga diabaikan oleh mereka. 75 tahun Israel menguasai Palestina dengan berbagai tindak tanduk yang keji, menunjukkan pada kita bahwa mereka tidak mengenal bahasa lain kecuali bahasa perang, jihad fi sabilillah, mengusir mereka secara fisik dari bumi yang diberkahi Allah; Palestina.

Untuk itu, saatnya umat Islam hari ini bersatu memperjuangkan kembalinya Palestina ke pangkuan Islam. Yang tidak lain hanya bisa terwujud kecuali dengan tegaknya Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Sebab, berharap pada pemimpin umat Islam hari ini sangat jauh panggang dari api. Sebaliknya dengan khilafah, pasukan muslim akan dimobilisir merebut kembali Palestina. Dengan Khilafah, bumi Palestina akan terjaga dari aneksasi musuh-musuh Islam dan sejahtera.  Wallu a’lam bish-showab.

Penulis : Yuyun Pamungkas

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.