2 Mei 2024

Dimensi.Id-Bagaimana mengukur sebuah peradaban? Tentu kriterianya banyak. Bisa diukur lewat capaian kemajuan ekonomi dan pembangunan, sejauh mana peradaban tersebut memberi kesejahteraan, keamanan dan kebahagiaan. Ini adalah jawaban jamak manusia.

Namun jarang sekali kita mendengar, standar kebahagiaan yang diukur dengan kriteria sejauh mana peradaban itu memanusiakan manusia. Artinya menempatkan manusia pada tempatnya yang mulia, sebagai hamba Tuhannya, sebagai pemimpin di dunia, sebagai pelanjut estafet kehidupan yang bermatabat.

Peradaban kapitalisme yang hari ini menaungi kehidupan, mengembalikan manusia ke titik terendahnya setelah ilmu pengetahuan dan teknologi menghantarkannya ke tempat kedudukan yang tinggi. Sistem kapitalisme menuntut pemenuhan kesenangan jasadiah, kehausan yang tak pernah terpuaskan dan pencarian yang tak pernah menemukan tujuan. Mengapa? Karena mencampakkan Tuhan.

Akhirnya banyak hal nyeleneh, tidak logis bahkan irrational dilakukan demi menemukan makna kehidupan dan kebahagiaan atau merumuskan tujuan-tujuan. Manusia-manusia itu hidup kering jiwa raganya dalam peradaban yang merusak apapun yang bersinggungan dengannya.

Fenomena ini tampak jelas dari waktu ke waktu, banyak fakta yang membuat kita tak habis pikir, mengapa para pemuja peradaban ini rela menukar kewarasannya, kemuliaan dan ketinggian martabatnya dengan aksi-aksi irrational sebagaimana yang terjadi di Israel beberapa waktu silam.

Setidaknya terdapat sekitar 300 sukarelawan, sebagaian media lain menyebut sejumlah 200 orang pria serta wanita telanjang dan mengecat tubuh dengan warna putih untuk menyuarakan isu Laut Mati yang terus menyusut dalam beberapa dekade terakhir. Ratusan orang itu berpose di depan lensa kamera fotografer gaek AS Spencer Tunick (54) yang telah melakukan instalasi serupa di Prancis, Swiss, dan Afrika Selatan.

Pemotretan ini dilakukan untuk menyoroti fenomena perubahan iklim (climate change) yang terjadi di dunia. Tunick menggarap proyek untuk menggambarkan Laut Mati yang terus menyusut melalui subjek telanjang. Dengan proyek ini, dia mengunjungi Israel sebagai tamu kementerian pariwisata. Sebelumnya, ia pernah menggelar instalasi di Laut Mati pada 2011.

Ide ini muncul setelah tepi Laut Mati surut sekitar satu meter setahun terakhir. Bahkan lokasi pemotretannya di dekat Laut Mati lima tahun lalu menjadi surut dan hanya meninggalkan pasir berkerak, sehingga memperlihatkan lubang pembuangan yang menganga.

Logika saya menduga, apakah mereka sudah gila? Masalahnya adalah dimana relevansinya antara telanjang, karya seni dan kerusakan ekosistem laut mati? Tidak ada.

Namun bagi orang seperti Spencer Tunick dan para sukarelawan seni telanjang itu, karya ini adalah karya yang fenomenal, keren dan menginspirasi. Mengapa? Karena cara pandang mereka memang demikian.

Cara pandang ini diilhami oleh gaya hidup. Kapitalisme diisi oleh para pemuja HAM, yang didalamnya ditopang oleh pilar-pilar imajiner seperti kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan juga kebebasan beragama atau tidak beragama sekalipun alias Atheis.

Selain itu Kapitalisme mengamputasi ruang akidah, mengakui keberadaan Tuhan namun tidak memberi ruang untuk mengotak-atik kehidupannya dengan berbagai aturan hidup. Akhirnya dapat dipastikan mereka tak memiliki standar perbuatan, baik-buruk, terpuji-tercela, semua dikembalikan ke individu masing-masing.

Jargon hidupnya kebebasan. Namun kebebasan ini, karena hanya slogan kosong akhirnya menyebabkan kehidupan mereka kering, hampa, sulit bahagia. Sudah jamak dipahami bahwa ideologi menentukan corak yang khas dalam peradaban (hadharah). Oleh karenanya madaniah (macam-macam produk/materi) pasti selaras dengan hadharah (peradaban). Hadharah batil produksi tsaqafahnya juga batil, kampanye gaya hidupnya pasti batil.

Aktivitas seni porno yang bertujuan menggalang kesadaran masyarakat adalah pilihan yang kerap kali diambil. Karena tujuannya dianggap mulia, maka meski tidak semua komunitas sejalan dengan kampanye tersebut-namun mereka tetap menerimanya. Tak jarang para pesohor ambil bagian agar kampanyenya semakin seru dan menyasar cakupan yang lebih luas.

Organisasi pecinta binatang PETA (People for the Ethical Treatment of Animals) misalnya, paham benar bagaimana agar kampanye mereka bisa mendapat perhatian publik. Dalam banyak kampanyenya PETA menggunakan selebriti sebagai model. Dan para selebriti itu diminta berpose tanpa busana.

Nah lalu apakah dengan telanjangnya mereka lingkungan menjadi baik? Atau kesadaran manusia meningkat? Tentu saja tidak. Bahkan dalam banyak kasus, yang semakin tenar justru artisnya karena keterlanjangannya memikat kaum Adam. Atau popularitas si seniman semakin dikenal karena seni murahannya yang kontroversial.

Sejatinya semua bentuk kerja-kerja seni seperti ini adalah gerakan menipu diri. Si seniman atau artis bukannya tak tahu hukum sebab akibat dari kerusakan lingkungan. Misal Spencer Tunik, bukannya dia tidak tahu bahwa emisi karbon, yang menjadi salah satu alasan terjadinya perubahan iklim. Namun Spencer lebih memilih kampanye telanjang daripada menuding para kapitalis serakah yang berebut energi dan merusak bumi. Dia tidak berani bersuara secara langsung, akhirnya menciptakan karya nyeleneh yang tidak ada relevansinya sama sekali dengan realitas.

Padahal seni telanjang ini tidak akan menahan laju CO2 (karbon dioksida) di atmosfer, setidaknya dalam tiga juta tahun, telah membuat kemungkinan suhu permukaan laut menjadi kurang bersahabat dengan spesies yang hidup di sana.
Hal ini karena keserakahan para kapitalis demi menimbun kekayaan mereka telah menyebabkan Laut menjadi lebih panas, lebih asam, dan memiliki lebih sedikit mineral yang dibutuhkan bagi kehidupan laut untuk berkembang, menjadikannya tidak layak huni bagi makhluk laut.

Peneliti Katie Lotterhos dari Pusat Ilmu Kelautan Universitas Northeastern, menyampaikan bahwa perubahan komposisi lautan diakibatkan polusi karbon kemungkinan akan mempengaruhi semua spesies permukaan. Nah lho, siapa dalangnya? Kapitalis.

Bahkan tak jarang lembaga-lembaga pencinta lingkungan itu justru didanai oleh para kapitalis, baik sebagai bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) maupun untuk menutupi keserakahan mereka.

Nah bagaimana solusinya, bukan sembarang solusi namun solusi yang hakiki. Sulit pastinya, kecuali jika mafia lingkungan, para kreator seni telanjang yang menipu dirinya sendiri digulung sekalian dengan sistem kehidupannya yang bathil.

Oleh karena itu harus tersedia sistem alternatif sebagai penggantinya. Sistem itu harus bersumber dari wahyu, yang memuliakan manusia sebagai manusia dan menerapkan standar kehidupan yang jelas halal haramnya, terpuji tercelanya, baik dan buruk. Tidak bias dan samar seperti seperti yang disajikan peradaban kepitalisme saat ini.

Peradaban itu haruslah peradaban yang mampu mengembalikan kecemerlangan berpikir manusia, mengembalikan ketundukan mereka pada Rabb-nya, mengarahkan mereka agar menjadi pemimpin di dunia yang mampu mewujudkan rahmatan lil `alamiin.

Wallahu`alam bisshawab.(AK)

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.