1 Mei 2024

Dimensi.id-Dalam mitologi Yunani, ‘Pandora’ digambarkan sebagai seorang perempuan yang memiliki peran membuka kotak yang menyimpan semua keburukan manusia. Masa tua, rasa sakit, kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, cemburu, kelaparan dan berbagai malapetaka lainnya. Semua keburukan itu menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti umat manusia. Di era modern, mitologi Yunani ini dikenal dengan ‘Kotak Pandora’ yang memiliki makna sumber masalah besar yang tak diinginkan.

Skandal pajak dalam Pandora Papers yang tengah menghebohkan dunia seolah sedang mencerminkan mitos Yunani tadi. Pandora Papers disebut-sebut sebagai skandal pajak terbesar dalam sejarah peradaban manusia, karena mengungkap kesepakatan rahasia dan aset tersembunyi orang-orang kaya di lebih dari 200 negara.  Ini tentu merugikan banyak pihak, termasuk negara yang kehilangan sumber pendapatannya berupa pajak.

Dilansir dari halaman akurat.co, data Pandora Papers yang dirilis International Consortium of Investigative Journalis (ICIJ) mengungkap skema penghindaran pajak yang dilakukan orang kaya global dan diduga merugikan negara-negara asal. Lebih dari 330 politisi dari 90 negara dan wilayah tercatat di Pandora Papers, termasuk 35 pemimpin negara dan beberapa nama mantan pemimpin negara. Di antaranya Presiden Rusia Vladimir Putin, Raja Yordania, hingga Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan. Tercantum pula 130 miliarder yang termuat dalam daftar Forbes. Kemudian terdapat selebriti, penipu, pengedar narkoba, anggota keluarga kerajaan, hingga pemimpin kelompok agama dari seluruh dunia. Indonesia sendiri, terdapat nama dua Menteri yakni Luhut B. Pandjaitan dan Airlangga Hartaro dalam dokumen tersebut. Meski keduanya telah menyanggah, tetapi hingga kini media masih mem-blow up hal itu.

Skandal Pajak Terbesar

Kebocoran data Pandora Papers ini diklaim yang terbesar dalam sejarah investigasi ICIJ, yakni mencapai 2,94 terabyte. Kebocoran data ini lebih besar daripada hasil proyek investigasi serupa sebelumnya, Panama Papers. Pandora Papers mengungkap bagaimana cara orang-orang kaya tersebut menyembunyikan asset dan kekayaan mereka untuk menghindar dari pembayaran pajak. Banyak dari mereka menggunakan perusahaan cangkang untuk menyembunyikan hartanya.

Perusahaan cangkang adalah perusahaan tanpa operasi bisnis aktif atau aset yang signifikan. Jenis korporasi ini tidak semuanya ilegal, tetapi terkadang digunakan secara tidak sah, seperti untuk menyamarkan kepemilikan bisnis dari penegak hukum atau public. Perusahaan ini mencakup hal-hal seperti startup yang menggunakan entitas bisnis sebagai sarana untuk menggalang dana, mendanai, melakukan pengambilalihan yang tidak bersahabat atau untuk go public. Sayangnya, sering kali perusahaan cangkang bertindak sebagai kendaraan penghindaran pajak untuk bisnis yang sah. Tak sedikit pula perusahaan besar memutuskan untuk memindahkan pekerjaan dan keuntungan ke luar negeri, dengan memanfaatkan kode pajak yang lebih longgar yang disebut ‘’offshoring’’ dan ‘’outsourcing’’.

Cara yang dilakukan orang-orang kaya untuk menyembunyikan harta ini tentu saja membuat negara kehilangan banyak penerimaan pajak.  Indonesia misalnya, berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) rasio pajak negara ini hanya 9,8 persen di 2020 dam 10,2 persem di 2019, rasio pajak imi tercatat lebih rendah disbanding dengan negara Kawasan Asia Pasifik yang mencapai 21 persen.

Menambah Beban Derita Rakyat

Menjalankan roda pemerintahan dengan mengandalkan pajak sebagaimana yang terjadi dalam sistem demokrasi tentu sangat ‘merugi’ sebab banyaknya harta yang lari. Karenanya, pajak yang seharusnya dibebankan pada orang-orang kaya, kini beralih pada masyarakat biasa. Belum lagi perusahaan-perusahaan besar yang sering kali mendapat pengampunan pajak, menjadikan beban pajak lagi-lagi teralih pada masyarakat. Jelaslah adanya penggelapan pajak dari ‘’the have’’ ini pun berimbas pada rakyat kecil.

Namun demikian, mengandalkan pajak dari masyarakat kecil tentu tak akan mampu menopang seluruh kebutuhan. Dalam kondisi kemiskinan yang merajalela, jangankan membayar pajak, memenuhi kebutuhan pangannya saja masyarakat sudah sulit. Akhirnya, pemerintah menambalnya dengan utang luar negeri agar roda pemerintahannya dapat terus berjalan.

Hal demikian menyebabkan kuatnya intervensi asing begitu setiap kebijakan yang ada. Penguasa tak memiliki pilihan selain mengakomodir seluruh kepentingan para pemilik modal. Sementara, kepentingan korporasi adalah profit yang melimpah, tak peduli akan nasib rakyat kebanyakan. Ketimpangan antara si kaya dan miskin akan makin lebar karena hanya segelintir yang makin menguasai aset-aset publik seperti SDA. Sisanya yang memadati bumi harus rela memunguti sisa-sisa makan mereka.

Begitu pula, sistem politik demokrasi membuka celah sebesar-besarnya bagi para pejabat untuk menyalahgunakan wewenangnya. Korupsi pun makin tak terbendung. Oligarki makin kuat mencengkeram pemerintahan. Harta para pejabat yang melimpah akan kuat terlindungi dan terbebas dari pajak. Inilah penyakit bawaan demokrasi kapitalisme, menyebabkan harta berputar pada segolongan elite kekuasaan saja.

Rakyat yang tak bisa mencukupi kebutuhan pokoknya terpaksa membayar pajak untuk menopang roda pemerintahan. Walhasil, permasalahan multidimensi terus terjadi lantaran pemerintah—yang seharusnya menjadi institusi pelindung dan pengurus umat—nyatanya sibuk mengurusi korporasi dan oligarki.

Kembali Pada Islam

Berdasarkan itu semua, dunia butuh satu kepemimpinan yang dapat menyelesaikan problem utama manusia. Demokrasi kapitalisme telah membawa manusia pada kemudaratan yang nyata. Berbeda sama sekali dengan Islam. Jika kapitalisme memosisikan negara sebagai regulator, institusi negara dalam Islam memiliki peran sentral dalam menyelesaikan seluruh permasalahan.

Sistem ekonomi Islam, misalnya, tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama APBN. Dari sini saja sudah menegasikan potensi lahirnya skandal penggelapan pajak. Begitu pun aset publik seperti SDA yang merupakan kepemilikan umum, haram untuk teralihkan ke swasta apalagi asing.

Negara sebagai pengelola bisa menjadikannya sumber pemasukan APBN dan menggunakannya untuk kemaslahatan umat. Kas negara dalam Baitulmal juga akan kuat dan stabil.

Inilah kunci pembangunan yang bebas utang luar negeri dan menjadi jaminan kebijakan negara yang independen tanpa setiran pihak swasta. Selain itu, sistem politik Islam yang menerapkan syariat Islam kafah, serta-merta akan menghilangkan penyalahgunaan wewenang.

Pemilihan pejabat negaranya tidak akan memberi celah keterlibatan asing. Pembinaan mentalitas individu untuk senantiasa profesional dan taat syariat pun mendapat topangan sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, agar Kotak Pandora tak terbuka lagi dan skandal pajak tak terulang, dunia butuh sistem baru yang terbukti kuat memimpin dunia.

Dalam rentang kedigdayaan Islam selama 13 abad, tak pernah ada kasus skandal pajak seperti Pandora Papers ini. Selama itu pula, masyarakat di bawah kepemimpinan Islam hidup dalam kesejahteraan. Pandora Papers adalah bukti kesekian kalinya akan kebobrokan dan kezaliman kapitalisme. [Dms]

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.