26 April 2024
Omnibus law kesehatan

Omnibus law kesehatan

66 / 100

Dimensi.id-Berawal dari permasalahan kesehatan di negerii ini, seperti sulitnya akses pelayanan kesehatan, tidak meratanya distribusi tenaga kesehatan termasuk juga minimnya dokter spesialis.  Sehingga DPR dan Pemerintah merasa perlu melakukan transformasi kesehatan nasional dengan membuat UU kesehatan baru dengan metode Omnibuslaw. Dengan metode ‘sapu jagad’ ini, pemerintah melalui menteri Kesehatan,  Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa akan mencabut setidaknya 10 UU yang ada dan mengubah paling sedikit empat UU.

Ke-10 undang-undang tersebut adalah, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 terkait Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Lalu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Kemudian, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013

Tentang Pendidikan Kedokteran.  Adapun UU yang bakal diubah antara lain: UU No 40 Tahun 2004tentang Sistem Jaminan Sosial Nasionsl, UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS,  UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Pertanyaannya, apakah dengan RUU kesehatan Omnibuslaw ini masalah kesehatan akan terselesaikan? Sementara banyak pakar juga dari lembaga profesi, melihat draf RUU Kesehatan sendiri bermasalah. Sebagaimana yang disampaikan pakar hukum Dr. Oce Madril, yang juga menjabat Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) menyatakan, dalam Pasal 19 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU 13/2022, bahwa tujuan, sasaran, jangkauan dan arah pengaturan suatu RUU harus selaras dengan Naskah Akademik,” kata Oce.

Oce mengkritisi muatan materi RUU Kesehatan tidak konsisten dengan Naskah Akademik, di antaranya tidak terdapat pembahasan mengenai BPJS Ketenagakerjaan atau Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

“Persoalannya, muatan materi RUU Kesehatan tidak konsisten dengan Naskah Akademik. Dalam Naskah Akademik dijelaskan hasil kajian dan analisis mengenai kondisi dan masalah sektor kesehatan. Tidak ada pembahasan mengenai BPJS Ketenagakerjaan atau Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan,” katanya menjelaskan.

Sementara menurut ketua umum Pengurus Besar IDI, Adib Khumaidi, Salah satu yang disorot dari RUU ini yaitu perkara hak imunitas dokter.

Seorang dokter yang melakukan sebuah pelayanan kesehatan menyelamatkan nyawa pasien, kata dia, haruslah memiliki hak imunitas yang dilindungi oleh Undang-Undang. Organisasi profesi seperti IDI, kata dia, berperan sebagai penjaga profesi untuk memberikan sebuah perlindungan hukum.  *Namun peranan organisasi profesi dihilangkan,” ujarnya

Pandangan ini berseberangan dengan Sekretaris Jendral Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia, dr Erfen Gustiawan Suwangto bahwa Ruu Kesehatan Omnibuslaw ini justru menjadi solusi dari salahsatu permasalahan yang dihadapi tenaga keshatan. ” RUU Kesehatan diharapkan bisa menjadi jawaban akan kesulitan yang dihadapi tenaga kesehatan” kata Erfen dalam forum group discusionl, di RS Umum pusat Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah(24/3/2023).

Lalu pasal-pasal mana saja dalam RUU kesehatan ini yang perlu dikritisi ?  sehingga bisa membaca arah kebijakannya?.

ARAH KEBIJAKAN DAN PASAL-PASAL RUU KESEHATAN. YANG DI SOROT

Pasal-pasal Kontroversial di RUU Kesehatan antara lain:

Melansir situs resmi IDI, terkait praktik kedokteran, ada dua isu krusial dalam draf RUU Kesehatan, yakni terkait marginalisasi organisasi profesi dan peran menteri yang akan jadi penentu kebijakan kesehatan dari hulu ke hilir.

Pasal 314 ayat (2)

Isu pertama terkait marginalisasi organisasi profesi dianggap akan mengamputasi peran organisasi profesi. Dalam Pasal 314 ayat (2) disebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.

“Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi.”

Namun dalam Pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok. Dengan demikian, total kelompok tenaga kesehatan ada 48.

Pihak yang menolak RUU tersebut dibuat bingung pilihan apa yang akan diambil pembuat kebijakan. Apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi untuk menaungi setiap jenis tenaga kesehatan.

Itu karena dokter dan dokter gigi, atau dokter umum dan dokter spesialis masing-masing punya peran yang berbeda dan visi misinya pun berbeda. Bila digabungkan semua, maka organisasi profesi akan sangat gemuk dan rancu.

RUU Kesehatan dinilai juga akan mencabut peran organisasi profesi lantaran untuk praktik, bila RUU Kesehatan disahkan, maka nakes hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi. Tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi organisasi profesi.

Padahal rekomendasi organisasi profesi akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik itu sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.

Sementara fraksi PKS mekriitisi beberapa pasal antara lain:

Pasal 183 tentang RS pendidikan yang berpeluang besar untuk menghasilkan tenaga medis dan tenaga kesehatan sendiri, pada akhirnya memperkuat industrislisasi dalam bidang kesehatan. Hal itu dimungkinkan terjadi produksi tenaga medis/ kesehatan untuk mendukung ekspansi dan investasi mereka.

Pasal 236 tenaga medis dan kesehatan ,warga negara asing bisa melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kezehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi. Hal ini rawan tersingkirnya tenaga medis dalam negeri dengan dalih investasi lengkap dengan membawa tenaga medis sendiri.

Pasal 2, 3 dari bab 2:

  • Hilangnya pengaturan terkait tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk  menjamin pembiayaan rumah sakit bagi fakir miskin atau orang tidak mampu. Berpotensi negara berlepas dari tanggungjawabnya mengurusi kebutuhan  rakyat.

  • Hilangnya pengaturan tentang penetapan tarif klas III. Berpotensi penetapan tarif sesuai ke-ekonomian yang sangat mungkin tidak terjangkau oleh rakyat yang tidak mampu.

Masih banyak pasal- pasal yang kontroversi yang disorot banyak pihak seperti masuknya pasal BPJS, tembakau dan jaminan untuk tenaga medis dan sebagainya.

Dari beberapa pasal yang di sorot tadi, nampak bahwa arah kebijakan ini menuju pada kapitalisasi, liberalisasi hingga industrialisasi kesehatan.

Mengapa ini bisa terjadi? Ada 3 hal mendasar menjadi penyebabnya yaitu :

  1. Omnibuslaw menjadi semangat lahirnya RUU Kezehatan.Tentu ini bermasalah karena lahir berdasarkan dasar aturan investasi MEA, Asean Comprehensive Investment Agreement (ACIA), seluruh negara ASEAN harus memperlakukan investor domestik dan negara ASEAN lainnya setara dan tanpa ada diskriminasi baik dari sisi perizinan, pendirian, produksi hingga penjualan. Investor asing juga tidak boleh dipaksa untuk memenuhi capaian tertentu yang ditetapkan Pemerintah seperti harus mengekspor dalam jumlah tertentu.

    Manajer senior dari perusahaan juga tidak boleh dibatasi berdasarkan kewarganegaraan. Konsekuensi MEA akan makin mempercepat liberalisasi yang telah berlangsung secara cepat. Hampir semua sektor telah terbuka untuk investor asing. Termasuk sektor pendidikan dan kdsehatan. Bisa dikatakatan jika dalam UU Omnibuslaw Kesehatan ada kemudahan regulasi dan sebagainya, bisa dipastikan smua itu bukan untuk Nakes maupun rakyat.

  1. Konsekwensi dari penerapan sistem kehidupan negri ini yaitu sistem kapitalisme sekuleris.Muncul kedzoliman dalam membuat hukum, yaitu menempatkan manusia sebagai hakim yang berkaiatan dengan urusan rakyat. Padahal manusia tempat salah dan alpa juga penuh kepentingan.
  2. Lemahnya peran negara dalam meriayah (mengurusi urusan rakyatnya) terutama kebutuhan mendasar mereka. Sistem buatan manusia ini juga mencabut idealisme Nakes sebagai pelaku kesehatan.

Maka untuk keluar dari problem kesehatan dalam berbagai aspek seperti Nakes, akses pelayanan. Obat dan sebagainya,  bukan dengan membuat UU Omnibulaw yang justru smakin menjadikn dunia kesehatan dan masyarakat sekarat, tapi dengan perbaikan sistem yang mendasar.

Baca Juga : Antara Konser Coldplay dan Kesenangan Semu

KONSEP ISLAM DAN UPAYA MEMENANGKAN OPINI

Islam memiliki sistem politik kesehatan yang shohih. Berasal dari zat yang Maha Sempurna, Allah Swt. Dalam islam kesehatan merupakan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Karenanya islam menjadikan negara sebagai pihak yang berkewajiban menjamin terpenuhinya kesehatan rakyat. Dalam Hadis Rosululloh bersabda:

” penguasa adalah penggembala dan penanggungjawab urusan rakyatnya” (HR Bukhori ).

Sementara rakyat memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan mudah, murah dan berkualitas. Berbagai sarana yang dibutuhkan seperti Rumah sakit, laboratorium,  termasuk tenaga medis baitul mal.  Negara akan mengelola kebutuhan publik tersebut dengan pendanaan dari baitulmall., yang bisa diperoleh negara  mengelola sumber daya alam sesuai dengan syari’at islam.

Dari sisi nakes itu sendiri, islam memberikan pendidikan terbaik dan berlandaskan aqidah islam. Sehingga lahirlah tenaga medis yang ahli dibidangnya dan memiliki rasa tanggungjawab di dalam tugasnya. Karena semua insan akan mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan Allah Swt. Konsep ini yang harus kita sebarkan, pahamkam, yakinkan dan terapkan dalam kehidupan ini.

Namun konsep shohih ini hanya compatible (serasi) dengan sistem politik islam, yaitu khilafah islamiyah. Lalu bagaimana kemudian konsep ini bisa  menjadi opini yang dominan dan menang di masyarakat?

Jika melihat data (akun twiter Ismail Fahmi) yang diperoleh dari media online dan medsos ( twiter) antara tanggal 30 maret sampai 28 April respon publik antara yang pro dan kontra ,dalam perbincangan RUU Kesehatan, kita menemukan sebagai berikut:

Dari media online, media maenstrem bahwa yang mendukung /pro RUU kesehatan sebanyak 51%, dan yang kontra ,menolak RUU 9%. Netral sebanyak 40% . Sementara dari Medsos tweeter yang pro sebanyak 21%, yang kontra/menolak mencapai 75%, netral 4%.

Artinya dari data ini :

1.  Media sosial lebih memberikan ruang untuk masyarakat menyampaikan  pandangannya.  Tampak dengan minimnya prosentase yang netral. Karena medsos bisa di kendalikan oleh perindividu. Berbeda dengan  media maenstrem yang sudah dikuasai barat khususnya para kapital.

2 Tampak publik yang kontra dengan RUU cukup tinggi(75%),  menunjukkan kekritsan berfikir mereka terhadap RUU ini.

Dari sini ada peluang besar,  khususnya untuk  para pejuang syariat islam dalam memahamkan konsep kezehatan yang shohih. Karena masyarakat sudah bisa melihat, merasakan sulitnya mengakses pelayanan kesehatan maupun beratnya menjadi nakes terutama dokter dari mulai pendidikannya hingga bertugas. Peluang terbuka lebar,  tinggal kesungguhan dan keikhlasan yang akan menjadikan konsep islam bisa menang. Wallahua’lam Bisshowab.

Penulis : Ummu Aisyah

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.