13 Mei 2024

Dimensi.id-Pasca WHO mengumumkan status darurat dunia atas wabah corona yang sudah membunuh 212 orang di China pada 31 januari 2020, sejumlah negara segera mengambil tindakan. Ada yang mnghimbau warganya untuk memikirkan lagi bepergian ke negara china. Bahkan ada yang langsung memutus hubungan dengan negara china. Sebagai bentuk kewaspadaan supaya virus corona tidak menyebar ke negaranya. Lain halnya dengan sejumlah negara misalnya negara dengan kode +62 menganggap santai wabah corona.

Sebagian pejabatnya sesumbar bahwa virus corona tak akan masuk ke Indonesia. Tetap membuka jalur penerbangan ke luar negeri ( tak terkecuali ke negara China) dan ke dalam negeri. Bahkan pemerintah Provinsi Sumatera Barat malah menerima 174 turis asal Kunming, China di bandara internasional Minangkabau di padang (detik.com). Dan tidak mengmbil tindakan apapun untuk mengantisipasi corona sebelum mewabah di Indonesia. Memang rentang waktu dari bulan januari dan februari pemerintah belum menetapkan ada yang positif corona. Padahal penelitian dari harvard menyebutkan semestinya virus corona sudah masuk ke Indonesia.

Kalaupun belum ditemukan kasus virus corona di Indonesia karena Indonesia belum mampu mendeteksi virus corona. Tapi hasil riset tersebut tidak digubris oleh rezim ini. Bahkan menteri kesehatan Terawan Agus Putranto menantang universitas hardvard untuk membuktikan langsung hasil risetnya (CNNIndonesia.com).

Akhirnya pada tanggal 2 maret 2020  presidenpun mengumumkan 2 orang positif cocona di Indoneisa. Kalau kita lihat dari sejak diumumkan WHO bahwa wabah corona sabagai status darurat dunia pada januari dan ditemukan positif corona di indonesia pada maret, itu artinya sebenarnya indonesia punya waktu 2 bulan untuk mengeluarkan daya dan upayanya sehingga corona tidak mewabah di indonesia. Tapi apa daya sudah terlanjur terjadi, corona akhirnya mewabah di indonesia maret ini. Korbannya dari hari ke hari terus bertambah. Dan sudah ada yang meninggal.

Pemerintah terkesan lambat dan kurang waspada dalam menangani wabah corona ini. Pemerintah juga terkesan abai dalam melakukan tindakan pencegahan ini. Sekali terkena wabah, pemerintah kelabakan.

Dalam menghadapi wabah corona ini, pemerintah bisa mencontoh penguasa pada masa daulah Islam. Dalam sejarahnya setidaknya ada tiga wabah yang terjadi di Dunia Islam. Pertama: Wabah di Amwas wilayah Syam (kini Suriah) di tahun 639 M yang telah menimbulkan syahidnya dua sahabat Nabi saw., yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah dan Muadz bin Jabal. Kedua: Wabah ‘Black Death’ yang mengepung Granada, benteng terakhir umat Islam Andalusia pada abad ke 14. Ketiga: Wabah smallpox pada Abad 19 yang melanda Khilafah Uthmani.

  1. Tidak meninggalkan dan tidak memasuki wilayah wabah.

Saat wabah Amwas di Syam  (639 M) dan wabah ‘Black Death’ Granada Andalusia (abad ke 14) kaum Muslim dihadapkan pada pertanyaan, “Apakah menghindar dari wabah berarti lari dari takdir Allah?”

Saat itu Abu Ubaidah bin Jarrah ra., sebagai komandan pasukan jihad di Syam, bertemu dengan Khalifah Umar bin Khaththab ra. di Sargh. Khalifah berniat untuk membawa kembali Abu Ubaidah ke Madinah. Abu Ubaidah menolak dan mengingatkan apakah Sang Khalifah ‘lari dari takdir Allah’?

Dijawab oleh Khalifah Umar bahwa ‘kita lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain’. Beliau lalu menjelaskan pilihan seorang penggembala yang membawa kambingnya ke lembah yang hijau ketimbang ke lembah yang tandus. Pilihan Khalifah Umar ra. dan pilihan Abu Ubaidah ternyata mendapatkan legitimasi dari Hadis Nabi saw. Abdurrahman bin Auf bertutur: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِه بِأرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ  بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

Jika kalian mendengar suatu negeri dilanda wabah, jangan kalian memasukinya. Jika wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada di dalamnya, janganlah kalian keluar darinya (Muttafaq ‘alayh).

Dari sisi ilmu dan kebijakan kesehatan masyarakat modern, apa yang Rasulullah saw. sampaikan adalah upaya preventif untuk mengisolasi penularan wabah penyakit agar tidak meluas.

Hikmah dari keputusan Abu Ubaidah bin Jarrah ra. dan Muadz bin Jabal ra. yang memilih untuk tetap tinggal di wilayah yang sedang mengalami wabah terlihat dari fatwa Ulama Granada (Abad 14), Abu Said Ibn Lubb, saat terjadi wabah di Granada terhadap pertanyaan, “Jika kita meninggalkan area yang terkena wabah, siapa yang mengurus Muslim yang sakit dan meninggal?” (Hopley R, 2010).

Pertanyaan ini penting. Pasalnya, kewajiban Muslim untuk saling tolong-menolong, merawat yang sakit dan mengurus jenazah. Karena itu pilihan Abu Ubaidah dan Muadz bin Jabal—keduanya adalah pejabat Negara Khilafah—untuk tidak meninggalkan wilayah Syam merupakan cerminan rasa tanggung jawab mereka untuk mengurus warganya dan bersabar bersama mereka.

Kalaupun mereka akhirnya meninggal dunia dalam pengurusan tersebut, mereka layak mendapatkan pahala syahid sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللهِ

Orang yang mati syahid ada lima, yakni: orang yang mati karena tha’un (wabah); orang yang mati karena menderita sakit perut; orang yang mati tenggelam; orang yang mati karena tertimpa reruntuhan; dan orang yang mati syahid di jalan Allah (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pada tahun 1428 terjadi wabah di Kota Bursa, salah satu kota penting Khilafah Utsmani. Anggota keluarga Khilafah Utsmani, yaitu tiga saudara laki-laki  dan sepupu Sultan Murad II, juga ada yang meninggal. Ini juga menunjukkan bahwa mereka bertahan dan tidak meninggalkan kota.

Sultan Muhammad al-Fatih dalam kampanye militer pada tahun 1464 paska pembebasan Konstantinpel juga menghindari wilayah Balkan yang sedang mengalami wabah. Perilaku para bangsawan Khilafah Utsmani ini selaras dengan sabda Nabi saw., yaitu tidak lari ketika wabah terjadi, dan menghindar dari wilayah yang sedang terkena wabah (Marien G, 2009).

Keputusan untuk tetap tinggal atau tidak memasuki wilayah wabah juga tidak diartikan ‘tinggal berdiam diri menunggu ajal’ atau ‘menghindar dan membiarkan’. Namun, tetap harus dipikirkan upaya untuk meminimalisasi jumlah korban yang jatuh dari populasi yang terjebak wabah.

  • Mencari tahu mekanisme penyakit.

Setiap ciptaan Allah SWT memiliki khasiat (spesifikasi) yang tetap. Air akan mendidih pada suhu 100C di permukaan air laut, dan mendidih di suhu yang lebih rendah beberapa derajat ketika berada di puncak Gunung Ceremai. Demikian pula spesifisitas virus yang beragam dan menimbulkan penyakit yang juga beragam dampak mortalitas (kematian) serta morbiditasnya (kesakitan); juga bisa diobservasi khasiat atau qadar yang Allah telah tetapkan padanya (Tentang qadar, lihat: QS al-Furqan [25] : 3).

Memahami qadar atau khasiat yang ditetapkan Allah SWT pada mekanisme terjadinya penyakit berhasil diobservasi oleh ilmuwan Andalusia saat itu, yaitu Lisanuddin ibn al Khatib, dalam bukunya, Muqni’at as-Sâ’il ‘an al-Maradh al-Hâ’il (Tanggapan Meyakinkan Atas Pertanyaan Tentang Penyakit yang Menakutkan).

Dinyatakan, antara lain: Adanya penyakit menular dibuktikan berdasarkan pengalaman dan laporan yang bisa dipercaya. Baju, tempat minum, anting-anting penderita adalah media penularan penyakit di rumah-rumah; juga datangnya penumpang kapal dari wilayah yang telah terpapar wabah menularkan penyakit kepada warga kota pelabuhan yang awalnya sehat, dan tetap sehatnya warga yang terisolasi dari paparan penyakit.” (Hopley R, 2010).

Ibn al-Khatib juga melaporkan bahwa manusia yang tidak pernah bertemu dengan penderita ternyata tidak pernah terkena penyakit. Tidak ada juga penyakit di penjara manakala para tawanan terisolasi dari dunia luar yang sedang mengalami wabah.

Dengan demikian observasi mekanisme penyakit menular (melalui Sains) tidak bertentangan dengan wahyu. Pasalnya, mekanisme tersebut masih mematuhi khasiat atau qadar yang Allah SWT telah tetapkan. Ibn Rushd, yang juga merupakan ilmuwan Muslim Andalusia, dua abad sebelum wabah terjadi menyatakan bahwa dalam konteks teknis atau observasi alam, ketika ada kesan bertentangan dengan teks hadis, maka penafsiran teks hadis perlu disesuaikan karena keduanya tidak mungkin bertentangan.

Muhammad ibn al-Lakhm ash-Shaquri adalah murid dari Ibn Khatib. Ia memberikan nasihat praktis bagi warga yang harus tinggal di wilayah wabah seperti penggunaan alat makan yang terpisah dan pembersihan dengan cuka pada alat tersebut sebelum dan sesudah penggunaannya. Cara mereka berpikir menunjukkan adanya pengakuan terhadap Allah sebagai Zat Yang telah menetapkan khasiat pada makhluk-Nya. Secara bersamaan mereka juga proaktif (bukan pasrah) melakukan observasi yang bisa menghasilkan rekomendasi kesehatan secara praktis (Hopley R, 2010).

Pengetahuan ini ternyata membantu populasi di Granada untuk bisa kembali bangkit dari wabah Black Plague Abad 14. Mereka pun berhasil menyelesaikan proyek pembangunan Istana Alhambra. Pada periode waktu yang sama, di Kota Siena, Italia, yang sedang merenovasi Katedral Siena, terhenti proyeknya akibat wabah yang sama. Merela tidak pernah bisa menyelesaikan renovasi tersebut seusai wabah berakhir hingga kini (Ober & Aloush, 1982).

  • Antisipasi pencegahan penyakit berbasis bukti.

Ada catatan menarik dari wabah coronavirus Wuhan 2019 ini. Susunan genetik coronavirus Wuhan ini hampir identik dengan virus yang ditemukan di kelelawar. Tim peneliti Cina sendiri sudah memprediksi akan timbulnya wabah coronavirus setahun sebelumnya. Mereka melihat bahwa tradisi kuliner Cina yang mengkonsumsi binatang liar segar, seperti kelelawar, memberikan efek kesehatan.

Islam secara spesifik mengharamkan membunuh kelelawar, apalagi untuk mengkonsumsinya. Namun, apakah transmisi coronavirus Wuhan terjadi akibat konsumsi kelelawar? Studi dari pusat wabah menunjukkan bahwa gelombang pertama korban yang dirawat di rumah sakit mayoritas beraktivitas di Pasar Huanan yang menjual binatang liar. Akan tetapi, saat wabah pecah, pasar tersebut tidak menjual kelelawar.

Pasalnya, saat itu Cina masih mengalami musim dingin sehingga kelelawar berhibernasi di gua. Artinya, transmisi bisa melalui aktivitas jual-beli hewan liar (yang belum diketahui identitasnya hingga kini) yang meliputi pemburunya, pedagangnya dan pembelinya, sebelum berakhir ke meja makan (Lu R, 2020). Rantai yang panjang ini rentan terjadinya lompatan coronavirus yang rentan terjadi rekombinasi genetik untuk mampu menginfeksi sel organ pernafasan manusia.

Dari sini kita bisa melihat bahwa adanya komunitas ilmuwan Cina yang memiliki rekam jejak panjang dalam meneliti kelelawar. Kemampuan identifikasi genom coronavirus kurang dari 2 minggu dengan teknologi NextGeneration Sequencing (NGS) menunjukkan pentingnya peran Negara untuk mengembangkan pusat penelitian dan pengembangan sehingga relatif mampu mengantisipasi dan mengendalikan terjadinya penyakit. Tanpa Negara yang menfasilitasi infrastruktur keilmuan, maka ilmu tidak tumbuh dan tidak mampu menawarkan solusi.

Karena itu tidak aneh jika pada masa keemasan Islam, ilmuwan mendapatkan dana penelitian yang besar dari Baitul Mal (Rahman, 2015) dan didukung langsung oleh para Khalifah. Dengan begitu mereka bisa fokus dengan penelitian dan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Vaksinasi: Pencegahan Penyakit secara Spesifik

Wabah smallpox yang melanda Khilafah Uthmani pada Abad  19 membangkitkan kesadaran di kalangan penguasa tentang pentingnya vaksinasi smallpox (cacar). Sultan memerintahkan pada tahun 1846 penyediaan fasilitas kesehatan untuk vaksinasi terhadap seluruh anak-anak warga Muslim dan non-Muslim.

Namun, wabah smallpox kembali terjadi pada tahun 1850 akibat banyaknya orangtua yang tidak menginokulasi anak-anak mereka. Sultan menyatakan bahwa tindakan para orangtua yang lalai mengantar anak-anak mereka ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksinasi telah melanggar syariah dan hak anak. Padahal Sultan telah menyiapkan banyak sekali faskes serta dokter dan profesional kesehatan lainnya (Demirci T, 2008).

Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa Negara berperan penting untuk melindungi kesehatan warganya dari penyakit, tanpa memandang status sosial dan keyakinannya. (sumber al-waie.id)

Dari contoh diatas, dalam menghadapi wabah diperlukan penguasa yang bisa berpikir cepat,bertindak tepat, bersikap tegas dan memiliki ketaqwaan yang tinggi. Selain itu seorang penguasa juga tidak boleh meremehkan urusan apapun serta menjadi Raa’i (pengurus umat). Indonesia juga butuh sistem yang benar. Yakni sistem politik yang menempatkan syariat Islam kafah sebagai solusi atas semua masalah, termasuk corona.

Juga sistem ekonomi yang benar yakni yang mendayagunakan semua potensi ekonomi (baik berupa fai’ dan kharajdharibah, infak rakyat dan utang syar’i ke warga negara yang kaya) untuk mengatasi corona.

Negara menggratiskan semua layanan kesehatan, mulai dari deteksi, perawatan, hingga obat-obatan. Negara juga mendakwahkan pola hidup bersih dan sehat melalui sistem pendidikan dan infokom. Penerapan syariat kafah ini hanya bisa dilakukan oleh khilafah. Bukan yang lain.[ia]

Penulis : ummu mustanir (Tenaga Pendidik dan Aktivis Dakwah)

Editor : Fadli

631fbb54-b718-4ebb-b540-eb6a882b7179.jfif

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.