17 Mei 2024

Dilematis, inilah yang dialami publik. Kebijakan larangan mudik selalu menjadi polemik dan tidak pula mampu menghentikan laju naiknya angka penularan virus Covid-19.

Tahun lalu, meskipun mudik dilarang, masyarakat tetap pulang ke kampung halaman, dengan anggapan yang dilarang “mudik”, bukan “pulang kampung”.

Tahun ini, pemerintah kembali melarang mudik lebaran dengan alasan yang sama seperti tahun sebelumnya, yaitu mencegah naiknya angka positif Covid-19.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan keputusan larangan mudik lebaran 2021 dihasilkan dari rapat tiga menteri. Larangan mudik berlaku mulai 6—17 Mei 2021. (liputan6.com, 28/3/2021)

Tapi tampaknya, dampaknya tidak akan jauh berbeda dari keputusan pelarangan mudik tahun sebelumnya. Larangan mudik terkesan sebagai kebijakan basa-basi dengan dalih menurunkan angka pandemi.Karena keputusan tersebut tidak diputuskan dengan cermat dan penuh antisipasi.

Bagaimana dengan dampak besar yang akan terjadi pada ekonomi dan sosial rakyat? Apalagi mengakibatkan penurunan pendapatan bagi keberlangsungan usaha di bisnis transportasi umum darat. Apakah hal itu tidak diperhitungkan pemerintah?

Mestinya, sejak awal pemerintah mengantisipasi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi jelang lebaran selama pandemi. Seharusnya pemerintah memiliki catatan penting atas kebijakan pelarangan mudik tahun lalu.

Setelah melakukan evaluasi, pemerintah memperhatikan hal apa saja yang harus diperbaiki dan mekanisme apa yang harus ditempuh agar angka penularan menurun dan tidak mengganggu ekonomi rakyat. Sehingga, tidak ada pihak mana pun yang menderita kerugian atas kebijakan yang diputuskan.

Jika kebijakan yang diputuskan asal jadi tanpa antisipasi, lalu tak memberikan rakyat bansos atau subsidi karena pelarangan mudik selama pandemi, yang terjadi justru rakyat akan kelaparan dan terkapar mati.

Mudah sekali para petinggi negeri memutuskan suatu perkara tanpa melihat dengan jeli dampak buruk yang bisa terjadi. Ini menandakan mereka tidak benar-benar sepenuh hati memikirkan kehidupan rakyat selama pandemi.

Alhasil, khawatir dengan kebijakan pelarangan mudik berujung pada kesengsaraan hidup. Tak ada jaminan setiap keputusan yang dikeluarkan dalam sistem kapitalis berakhir indah. Oleh sebab itu,butuh kebijakan yang utuh, bukan basa-basi menuntaskan pandemi.

Kebijakan Utuh Tuntaskan Pandemi Hanya dalam Sistem Islam

Sungguh berat mengampu amanah sebagai pemimpin atau kepala negara, karena bukan perkara mudah memutuskan suatu perkara menyangkut hajat hidup masyarakat.

Pemimpin harus bertanggung jawab melayani rakyat agar bisa hidup layak sebagai manusia bermartabat. Ia juga menjamin rakyat mendapatkan hak-haknya yaitu dengan terpenuhinya sandang, pangan, dan papan dengan murah; terpenuhinya pendidikan, kesehatan, juga keamanan yang gratis serta berkualitas; serta mengharuskannya memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

Baca juga: Bulan rajab momentum bersatunya umat

Khalifah Umar ra. pernah mengatakan, “Sayyidul qaumi khadimuhun,” (pemimpin kaum di antaranya diukur dari mutu pelayanannya). Bukan “khadi’uhum” (pandai menipu mereka).

Pada masa kepemimpinannya beliau mengangkat Amr Bin Ash sebagai gubernur untuk menuntaskan masalah wabah tha’un. Kala itu, Amr menyerukan kepada seluruh penduduk untuk mengisolasi dirinya masing-masing.

Amr berkhotbah di depan rakyatnya dan memerintahkan agar pergi jauh hingga rakyatnya memencar ke berbagai penjuru. Di antara mereka ada yang pergi ke gunung, bukit, dan ke daerah-daerah terpencil.

Amr bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dari kebijakan yang diberlakukannya. Ketakwaan dan keimanan pemimpin berpengaruh pada cepat atau lambatnya pertolongan Allah Swt.. Rakyat mudah memahami tujuan kebijakan yang diputuskan Amr, hingga wabah berakhir tanpa membutuhkan waktu yang lama.

Penting Memilih Pemimpin Berbobot dan Berkualitas

Penting bagi kaum muslimin memahami bahwa kualitas kepemimpinan seseorang tidak ditentukan banyaknya berpidato, melainkan banyak melayani dan mendengar.

Jika kita menelusuri sejarah Islam, kita dapati sosok Umar bin Khaththab yang memiliki bobot keputusan yang bagus untuk diteladani.

Umar memilih orang-orang terbaik untuk membangun suatu daerah yang dipimpinnya agar tidak rusak. Itu dilakukan untuk mempertahankan eksistensi suatu negara.

Suatu kebijakan yang diberlakukan ditentukan dari kualitas dan bobot pemimpin yang mengeluarkan kebijakan tersebut.

Selama masih dipimpin oleh pemimpin yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler, masih mementingkan urusan perut para kapitalis daripada urusan perut rakyatnya, masih bekerja sama dengan asing atau aseng mengelola kekayaan SDA, mustahil rakyat mendapatkan kebijakan yang sepenuh hati bisa menuntaskan pandemi.

Sehingga, sebagai muslim, kita dituntun Islam untuk berhukum dengan aturan-Nya secara kafah. Satu-satunya cara agar bisa menjalankan Islam kafah hanya dengan tegaknya Khilafah.

Wallahualambishshawab

Penulsi: Kusmiyati

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.