2 Mei 2024

Pelaksanaan survei yang dilakukan di awal tahun 2021 dengan metode random sampling hasilnya sugguh mengejutkan. Pasalnya lembaga Indikator Politik Indonesia melaporkan masih banyak anak muda yang tidak toleran dalam masalah politik. Direktur eksekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi menyebutkan jika isu politik jauh intoleran dari pada isu sosial keagamaan. Survei ini dilakukan pada Maret

Dari hasil penelitian sebanyak 36 persen pemuda merasa keberatan jika nonmuslim menjadi presiden, lalu sebanyak 27 persen menyatakan tidak keberatan dan tergantung (28 persen). Sementara itu, 36 persen merasa tidak keberatan jika nonmuslim menjadi gubernur, jadi bupati/wali kota (35 persen), ada 29 persen yang keberatan, 30 persen dan 32 persen tergantung.

Namun, 62 persen anak muda justru tidak keberatan jika nonmuslim membangun tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya. Ada 16 persen yang keberatan dan 18 persen menyatakan tergantung (republika.co.id, 21/3/21). Survei yang dilakukan juga memperlihatkan bahwa 64, 7 persen anak muda menilai partai politik atau politikus tak mewakili rakyat. Ketidakpercayaan ini bisa saja tumbuh karena sepak terjang para politikus akhir-akhir ini.

Bahkan sudah menjadi rahasia umum jika politik hanya dijadikan ajang untuk meraih kekuasaan demi kepentingan. Terbukti dengan maraknya kasus korupsi dan suap yang menjerat para politikus. Lebih menyedihkan lagi, sebanyak 49,4 persen pemuda mendesak penyelesaian radikalisme. Hanya 24,1 persen yang menyatakan pemerintah tidak adil terhadap umat Islam karena isu ini hanya ditujukan kepada umat Islam saja.

Ternyata, masih banyak pemuda yang menutup mata tentang isu radikalisme. Bisa jadi mereka terpengaruh berita yang disampaikan media. Padahal sejatinya para pemuda adalah generasi harapan bangsa. Rakyat menggantungkan nasib negeri ini padanya.

Oleh karena itu, mereka tak semestinya masa bodo dengan permasalahan politik yang ada. Mereka perlu mengetahui apa sebenarnya politik, termasuk mengetahui di mana kerusakan itu terjadi.

Selama ini, jikalau ada pemuda yang melek politik, mereka hanya memahami bahwa politik identik dengan kekuasaan semata. Kalaupun ada masalah, itu lahir dari kesalahan individu semata. Jika ingin menyelesaikan, tinggal memperbaiki individunya saja.

Mereka beranggapan tidak ada yang salah dengan demokrasi karena demokrasi adalah sistem pemerintahan yang merakyat. Sistem yang dipersembahkan dari, oleh, dan untuk rakyat. Pertanyaannya, rakyat siapa? Rakyat yang mana?

Seandainya mereka tahu, demokrasi tak sebaik topengnya. Sistem pemerintahan ala Yunani kuno ini nyata-nyata sistem yang tidak manusiawi dan sangat bertentangan dengan Islam. Bagi sistem ini, kebenaran mutlak berada di tangan manusia. Sedangkan Islam hanya meletakkan kebenaran pada Sang Pembuat kehidupan.

Perbedaan keduanya juga mengakibatkan beda pandangan tentang politik. Demokrasi memandang politik adalah kekuasaan, sementara Islam dengan sistem pemerintahannya (Khilafah) memandang makna politik adalah mengurusi urusan umat.

Namun sayangnya, belum banyak pemuda yang tahu tentang ini. Mereka tak menyadari masalah utama dari tidak amanahnya para politikus atau partai politik. Akhirnya mereka bingung dalam memahami mana yang harus diperbaiki, mana tempat yang harus dipijak. Mereka galau antara memperbaiki sistem politik yang ada ataukah sekadar ganti orangnya.

Sehingga, para pemuda harus sadar, melek politik yang benar adalah melek secara Islam. Dengan memakai kacamata Islam. Memandang politik tidak hanya berbau kekuasaan, tapi mengurusi urusan umat. Mereka pun akan tahu ranah mana yang boleh ditempati nonmuslim dan mana yang tidak.

Oleh karena itu, pemuda tak perlu takut berpolitik. Mereka juga tak boleh masa bodo dalam politik. Jiwa mereka masih bersih. Kalau mereka mau berjuang untuk rakyat dengan memakai politik Islam, pemuda seperti Mus’ab bin Umair atau Ali bin Abi Thalib bisa saja lahir kembali.

Penulis: Fatmala | Aktivis Muslimah

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.