25 April 2024

Penulis : dr.Toreni Yurista

Dimensi.id-Di saat kurva harian korban corona masih melaju naik, tampak pusat-pusat perbelanjaan dipenuhi oleh lautan manusia. Apakah masyarakat Indonesia merasa kebal corona sehingga tumpul rasa takutnya?

Hasil survei Radio Republik Indonesia (RRI) bersama lembaga survei Indo Barometer justru menunjukkan sebaliknya. Tingkat kekhawatiran masyarakat terhadap wabah virus corona sangat tinggi, yakni mencapai 68 persen (kompas.co.id, 20/03 2020).

Masyarakat sangat cemas tetapi rela berjubel di keramaian. Tidakkah ini kontradiktif? Pasti ada suatu alasan, yang benar-benar kuat, yang menyebabkan mereka nekat bertaruh nyawa dengan mengabaikan anjuran #DiRumahAja.

Alasan apakah itu? Menurut Cornel Gea dari LBH Semarang saat ini ketakutan masyarakat sudah berpindah dari takut terpapar Covid-19 menjadi takut akan kelaparan (jateng.tribunnews.com, 16/05 2020). Terlebih, Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani menyebutkan bahwa sudah ada 6 juta orang yang dirumahkan maupun kena PHK sepanjang 2020 ini (detik.com, 16/05 2020).

Bagi rakyat Indonesia, ancaman kelaparan dianggap suatu keniscayaan. Namun, benarkah jika masyarakat diam di rumah, Indonesia benar-benar akan ditimpa kelaparan?

Pentingnya #DiRumahAja

Konsep utama dari seruan #DiRumahAja adalah menurunkan Ro (R nought) atau disebut juga rasio reproduksi dasar. Ro adalah jumlah kasus yang dihasilkan oleh satu kasus selama periode penularannya. Mudahnya, nilai Ro menunjukkan tingkat penyebaran infeksi.

Secara umum, semakin besar nilai Ro, semakin sulit untuk mengendalikan epidemi karena tingkat penyebaran infeksi sangat tinggi. Apabila Ro > 1, maka infeksi akan menyebar dalam suatu populasi. Tetapi jika Ro < 1, maka infeksi akan mati dalam jangka panjang.

Salah satu komponen yang berpengaruh besar terhadap nilai Ro adalah mobilitas manusia. Apabila semakin banyak, dan semakin sering, maka semakin besar nilai Ro. Sebaliknya, semakin sedikit mobilitas manusia, semakin kecil pula nilai Ro.

Saat ini nilai Ro virus corona di Indonesia diperkirakan mencapai 4-7. Artinya, satu orang bisa menularkan infeksi pada 4-7 orang. Berhentinya mobilitas manusia akan menyebabkan virus kesulitan menemukan inang.

Dengan demikian, virus akan mati dengan sendirinya sebelum sempat menemukan inang baru. Itulah mengapa masyarakat dianjurkan di rumah saja, yakni supaya nilai Ro menjadi kurang dari 1.

Memang idealnya yang wajib ‘mendekam’ di rumah adalah yang sakit saja sementara yang sehat tetap boleh beraktivitas. Namun dalam kondisi di mana siapa yang sakit sangat sulit diidentifikasi akibat sifat alami virus yang notabene tidak menimbulkan gejala, maka ‘isolasi yang sakit saja’ menjadi sulit pula dilakukan.

Oleh karena itu, untuk mengatasi pandemi covid-19, pembatasan mobilitas mutlak diperlukan. Tetapi akan muncul pertanyaan, jika di rumah saja bagaimana nasib perut rakyat? Siapa yang akan menjamin ‘makan’ mereka?

Tugas Negara

Menjamin pangan rakyat di kala wabah adalah tugas negara. Sebanyak apapun masyarakat berdonasi, sebesar apapun sumbangan dikumpulkan, tidak akan sama efektifnya jika bukan pemerintah langsung yang menanganinya.

Siapa yang punya data sensus penduduk? Tentu saja pemerintah. Siapa yang mempunyai kewenangan mengeluarkan beras dari gudang bulog? Lagi-lagi pemerintah. Siapa yang bisa mere-alokasi anggaran APBN untuk menjamin rakyat? Siapa lagi kalau bukan pemerintah.

Hanya pemerintahlah yang mampu memberikan bantuan pangan secara tepat, efektif, dan efisien. Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah program yang paling dibutuhkan rakyat di kala pandemi. Mampukah negara memberikan BLT? Jelas mampu.

Penduduk yang saat ini berada di usia produktif (15-65 tahun) sejumlah 183,36 juta jiwa (mediaindonesia.com, 04/03 2020). Anggaplah penduduk usia produktif itu semuanya bekerja dan tidak ada yang menganggur. Maka, andaikan mau memberikan BLT sejumlah 3 juta per orang, pemerintah hanya butuh dana sebesar 550,08 triliun rupiah. Jumlah yang masih masuk akal mengingat saat ini pendapatan negara dari pajak saja mencapai 1.332,1 triliun rupiah (liputan6.com, 07/01 2020).

Sayangnya, kita dapat melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pemerintah hari ini sangat enggan memberikan BLT. Alih-alih menjamin pangan rakyat, pemerintah justru mengajak rakyat membuka kembali aktivitas ekonomi.

Ingat, kurva pertambahan kasus corona sama sekali belum melandai. Ro masih di angka 4-7. Dengan mengajak kembali melakukan mobilitas, apakah pemerintah berniat melakukan euthanasia terhadap rakyatnya sendiri?

Sungguh, pemimpin amanahlah yang saat ini dibutuhkan rakyat. Pemimpin yang memiliki empati dan bersedia ikut merasakan penderitaan rakyat. Pemimpin seperti itu hanya akan terwujud ketika syariah Islam diterapkan dalam bingkai Khilafah Islamiyah. [S]

Editor : azkabaik

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.