25 April 2024

photo is taken with dslr camera

59 / 100

Oleh : Nazli M. Agustina Nst, S.PdI (Akitvis Muslimah)

Dimensi.id – Berdasarkan laporan dari Kepolisian Resor Penajam Paser Utara (PPU) Kalimantan Timur, ada kasus pembunuhan oleh seorang remaja berinisial J (16 tahun) terhadap satu keluarga berjumlah lima orang. Motif pembunuhan yang terjadi di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu diduga karena persoalan asmara dan dendam pelaku terhadap korban. Antara pelaku dengan korban saling bertetangga.

Kasus pembunuhan yang sama juga pernah terjadi di kota Medan, Sumatera Utara beberapa waktu lalu. Seorang remaja berinisial D (16 tahun) menjadi korban pembunuhan oleh DAS (16 tahun) warga Kecamatan Medan Timur hanya karena persoalan sepele. Diduga pelaku tidak senang dilempar helm oleh korban. Padahal lemparan helm tersebut tidak mengenai diri pelaku.

Atau dibelahan wilayah lain di negeri kita ini, tentu masih segar dalam ingatan kita dengan kasus viral remaja 15 tahun yang melakukan pembunuhan pada bocah 5 tahun. Dalam pengakuan pelaku di akun media sosialnya, ia membunuh bocah perempuan dengan menenggelamkannya, mencekik lehernya dan menyimpan mayatnya di lemari bajunya. Lalu setelahnya ia menyerahkan diri ke polisi tanpa rasa penyesalan, bahkan merasa puas karena hasratnya tersalurkan. Peristiwa sadis ini terjadi pada 2020, remaja tersebut mengaku mendapat inspirasi setelah menonton film horror Chucky.

Darurat Kesehatan Mental

Berdasarkan hasil penelitian The Conversation, University Queensland dan John Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat, bahwa remaja adalah kelompok masyarakat yang paling rentan mengalami mental illness, terutama usia kritis remaja atau dewasa muda, yakni kelompok usia 10-17 tahun.

Hasil riset tersebut menunjukkan setidaknya 1 dari 20 remaja atau sekitar 5,5% remaja di Indonesia terdiagnosa memiliki gangguan kesehatan mental. Artinya ada sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia masuk dalam kelompok Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Gangguan kecemasan (anxiety disorder) menjadi gangguan mental yang paling umum dialami para remaja dengan tentang usia 10 sampai 17 tahun di Indonesia atau sekitar 3,7%. Disusul dengan pengidap gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stress pascatrauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) yang masing-masing diderita oleh 0,5 % populasi usia tersebut.

Di antara kondisi yang menjadi pemicu para remaja rentan mengalami gangguan mental hingga berujung pada aksi pembunuhan adalah masalah keluarga, persoalan teman sebaya, dan stress personal.

Karenanya, dunia remaja sedang tidak baik-baik saja. Berbagai kasus kriminal yang terjadi dalam kehidupan para remaja, seperti perundungan, kekerasan, tawuran, pemerkosaan, sex bebas, aborsi, pembunuhan, pencurian, perzinaan, dan bunuh diri, sudah tak tahu mereka lakukan.

Setiap hari berita penuh dengan fakta pilu kondisi remaja hari ini. Tentu kita merasa cemas dan ngeri. Dalam perbuatan kriminal, remaja kita berubah menjadi generasi sadis, nir empati, minus akhlak dan adab. Begitu pula ketika melakukan perbuatan maksiat, mereka tidak lagi memiliki rasa malu, senang mencela, menjadi budak cinta, agresif, gampang putus asa, depresi, galau, insecure, posesif bahkan cenderung melakukan self-diagnose terkait mental illness agar diakui, dihargai dan mendapat simpati. Apa sebenarnya yang terjadi pada remaja kita hari ini?

Pangkal Masalah

Fakta-fakta di atas sebenarnya terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme-demokrasi yang merusak dan menghancurkan ketahanan keluarga dan sosial masyarakat negeri ini. Dalam hal ini ada tiga aspek yang memicu buruknya potret generasi kita saat ini, antara lain :

Pertama, aspek keluarga, ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini telah menggerus peran ayah dan ibu sebagai tempat pertama remaja tumbuh dan mengembangkan jati diri. Ketika seorang ayah kesulitan dalam mencari nafkah disebabkan tidak adanya peluang berkompetisi secara ekonomi, maka ibu pun turut andil dalam membantu mencari nafkah keluarga yang pada akhirnya melupakan peran pentingnya dalam mendidik anak dengan akidah Islam. Disamping itu, waktu yang terforsir untuk mencari nafkah membuat mereka kehilangan waktu memperdalam ilmu Islam sebagai bekal dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya serta membina keluarga. Akibatnya, anak-anak tidak lagi mendapati rumah sebagai tempat yang aman dan nyaman. Kondisi ini menjadikan keluarga mengalami disfungsi dan disharmoni.

Kedua, aspek lingkungan, kehidupan masyarakat yang individualis dan sekuler membuat remaja bebas mengekspresikan dirinya tanpa dibantengi dengan pemahaman agama. Akibatnya, kehidupan bebas dan hedon menghiasi kehidupan remaja. Ditambah tontonan rusak yang menjadi tuntunan remaja dalam berperilaku. Mereka tumbuh menjadi generasi yang kering iman dan krisis identitas. Jadilah mereka generasi muda yang lemah dan rapuh Ketika dihadapkan pada berbagai tekanan dan persoalan yang tidak diimbangi dengan kematangan psikologis.

Ketiga, aspek negara, merebaknya mental illness pada remaja tidak terlepas dari fungsi dan kontrol negara sebagai pengayom dan pelayan rakyat. Dalam hal ini, negara harus menghilangkan faktor-faktor yang memicu gangguan mental pada remaja. Semua ini dimulai dari kebijakan negara dalam mempermudah orang tua memenuhi kebutuhan keluarga serta menciptakan suasana yang aman dan nyaman, termasuk negara harus melarang tayangan-tayangan yang merusak karakter generasi.

Islam Solusi Hakiki Generasi

Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan generasi kita saat ini, kecuali dengan membina dan mendidik generasi kita dengan Islam, yakni pembinaan yang akan membentuk pola pikir dan pola sikap sesuai arahan Islam.

Generasi harus dibekali dengan pemahaman bahwa Islam memiliki Solusi dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Dengan begitu, mereka akan memandang kehidupan ini sesuai paradigma Islam, yakni tempat untuk beramal soleh dan setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Mereka paham bahwa masa mudanya harus diisi dengan berbagai hal yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga dan Masyarakat.

Tidak kalah penting ialah merevitalisasi fungsi keluarga sebagai madrasah pertama bagi anak, yakni orang tua wajib mendidik anak-anak mereka dengan menanamkan akidah Islam. Dengan demikian, akan terbentuk dalam diri mereka keimanan dan ketaatan menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan.

Negara juga wajib menciptakan sistem sosial sesuai aturan Islam. Peran Masyarakat adalah melakukan amar makruf nahi munkar. Dengan begitu, fungsi Masyarakat sebagai kontrol sosial benar-benar berjalan dengan baik.

Semua itu hanya akan terealisasi secara terpadu dengan mewujudkan sistem Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah.

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.