1 Mei 2024

Penulis : Ita Mumtaz

Dimensi.id-Kucuran dana POP Kemendikbud ke korporat nasional banyak menuai kritik. Program yang digagas Kemendikbud ini konon bertujuan memberikan pelatihan dan pendampingan bagi guru penggerak demi meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik. Sesuai namanya, Program Organisasi Penggerak, sejumlah organisasi masyarakat dan individu yang memiliki kapasitas bakal dilibatkan. Masing-masing diminta mengajukan proposal untuk meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan. Dari proposal yang masuk akan diseleksi mana yang diterima untuk kemudian diselenggarakan oleh Kemendikbud. 

Alokasi anggaran Rp 595 miliar per tahun pun siap digelontorkan buat organisasi terpilih untuk mendukung jalannya program tersebut. Dari sinilah sengkarut itu bermula. Ada dua nama korporat raksasa yang muncul di antara sekian organisasi, Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation. Dua lembaga itu pun masuk kategori ‘gajah’ yang mendapatkan hibah hingga Rp20 miliar per tahun. Di sisi lain, rakyat menjerit tak mampu membeli kuota buat belajar daring.

Inilah alasan mengapa tiga organisasi besar yang telah banyak makan asam garam di dunia pendidikan akhirnya mundur teratur. Yanki NU, Muhammadiyah dan PGRI.  Semua karena kriteria seleksi tidak jelas. (kompas.com, 24/7/2020)

Ditambah lagi, terungkap fakta kedua lembaga tersebut berstatus Corporate Social Responsibility alias lembaga sosial perusahaan dengan sumber dananya mutlak dari internal perusahaan. Maka keputusan meloloskan dua lembaga CSR jelas sebuah kesalahan besar. Bahwa negara telah memberi bantuan kepada yang tidak berhak. Seharusnya, yang memilki hak untuk diberi uluran tangan dari negara adalah rakyat. Apalagi terkait masalah pendidikan yang merupakan hak setiap warga negara.

Sebenarnya apa gunanya ada negara jika tidak untuk melayani kepentingan rakyat? Justru keberadaan negara malah menambah beban rakyat. Keberpihakan negarq pada korporat swasta sungguh nyata, tanpa sungkan-sungkan kepada rakyat.

Demikianlah watak kapitalisme. Selama kapitalisme masih berkuasa, maka rakyat akan selalu didera kesengsaraan. Sebab keberadaan negara dalam sistem bukan sebagai pengayom rakyat. Namun sebagai pihak yang memang khusus melayani kepentingan para pemilik modal.

Beda dengan konsep kepemimpinan dalam negara Islam, yakni Khilafah. Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah perisai bagi rakyat. Negara di sini berfungsi sebagai pelindung juga pelayan rakyat. Amanah negara yakni menjadikan kepentingan rakyat sebagai urusan yang utama.

Khilafah sebagai sistem pemerintahan  warisan Rasulullah terbukti mampu menyejahterakan rakyat di sepanjang sejarah peradabannya. Penegakan Khilafah, dengan izin Allah pasti akan menuai keberkahan.

Sumber daya alam akan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, bukan lagi dijadikan bancakan oleh segelintir individu. Karena hukumnya haram menyerahkan sumber daya alam dengan segala kekayaannya kepada individu, terlebih asing.

Bisa dibayangkan betapa sejahtera rakyat ketika kekayaan alamnya dikelola sesuai syariat Islam. Maka tak akan ada permasalahan pelik dalam dunia pendidikan. Dana untuk pendidikan pasti akan dikucurkan kepada rakyat, karena memang merupakan hak mutlak rakyat. Dalam Islam, negara hanya sebagai pelaksana atas amanah kekayaan milik rakyat.

Maka dari itu, tidaklah heran, jika pemimpin dalam Islam adalah orang-orang yang amat takutnya kepada Allah atas amanah yang berat sekaligus mulia ini.

Saatnya kita kembali kepada syariat Islam agar menuai keberkahan hidup serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Karena syariat memang diturunkan kepada manusia di muka bumi dalam rangka memberikan solusi atas permasalahan yang menimpa manusia.

Sebagaimana digambarkan dalam surat Al-Anbiya 107.

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.