1 Mei 2024

Penulis : Aisyah Karim (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Dimensi.id-Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan menyatakan, bahwa rencana pembangunan pusat pangan atau food estate di bekas lahan cetak sawah sejuta hektare di Kalteng akan berpotensi gagal. Hal ini karena food estate dinilai telah terjadi perbedaan mendasar antar lembaga kementerian baik dari sisi konsep maupun persepsi. Lebih lanjut food estate berpotensi menimbulkan konflik sosial ekonomi dan kerusakan ekosistem. Selain itu mega proyek ini dapat mendorong konflik sosial dan akan mengancam spesies beserta habitat satwa langka (pikiran-rakyat.com 11/8/2020).

Food estate sendiri adalah program strategis ketahanan pangan nasional 2020-2024 yang berada di Kabupaten Kapuas dan Pulau Pisau Kalimantan Tengah. Kaprodi S3 Ilmu Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM Sigit Supatmo Arif menjelaskan, secara harfiah food estate berarti perusahaan perkebunan/pertanian pangan, biasanya padi. Melansir dari Indonesia.go.id, food estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan bahkan peternakan di suatu kawasan.

Dalam kondisi pandemi Covid-19, peluncuran program ini dianggap sejalan dengan peringatan yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) tentang kemungkinan terjadinya krisis pangan dunia. Negara -negara produsen pangan tidak akan menjual persediaan pangannya sehingga negara  pengimpor pangan seperti Indonesia berpotensi mengalami krisis pangan. Nah, melalui food estate ini cadangan pangan negara akan tersedia dengan cukup.

Program ini kemudian menjadi pro kontra karena terdapat sejumlah kondisi yang jauh dari ideal. Masalah lahan misalnya. Telah disediakan lahan seluas 165.000 hektar yang merupakan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta Hektar. PLG Sejuta hektar ini adalah program sejenis food estate masa Soeharto untuk mewujudkan swasembada pangan. PLG ini kemudian menjadi proyek gagal dan menyisakan kerugian negara. Proyek ambisius itu terpaksa dihentikan pada 1999. Hal ini, karena terjadi berbagai kerusakan lingkungan akibat pembangunan kanal. Pada akhirnya, proyek tersebut menyebabkan kekeringan dan kebakaran.

Berdasarkan data Walhi, wilayah yang akan digunakan sebagai eks PLG menyumbang hampir 39 persen dari total kebakaran seluas 1.180 hektar di Kalteng selama periode tahun 2015-2019. Lokasi yang digunakan juga menjadi hot spot atau titik panas kebakaran hutan. Dan itu jadi pekerjaan rumah (PR). Ekosistem lahan gambut tidak bisa diperlakukan seperti tanah mineral.

Selain itu penetapan mega proyek ini ditenggarai tanpa melalui kajian yang mendalam minimal adanya analisis dampak lingkungan dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Malah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan percepatan KLHS. Prosedur ini disebut dilakukan tanpa melibatkan konsultasi publik. Yang dilakukan malah hanya sosialisasi  saja namun bukan uji publik. Dengan adanya sosialisasi, maka penguasa sudah memutuskan kelangsungan proyek ini. Bahkan prosedur ini dianggap tidak transparan karena tak melibatkan peran serta masyarakat.

Lahan eks PLG yang dulunya rawa dan lahan gambut sangat rapuh dan heterogen. Lahan ini termasuk lahan sub-optimal yang telah mengalami degradasi selama 25 tahun sejak dibuka pertama kali yang membuat kesuburan tanah menurun dan tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal. Tadinya telah dilakukan fungsi pemulihan lahan gambut, direhabilitasi melalui Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1999 Tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Kemudian melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.

Sebanyak 3,9 triliun dana digelontorkan negara untuk pemulihan lahan, namun sebagian bidang masih mangkrak dan sebagian besar lahan lainnya telah disulap menjadi perkebunan sawit yang dikelola oleh korporasi. Inilah mengapa terdapat pemahaman di masyarakat bahwa program PLG sejuta lahan sejatinya adalah karpet merah yang digelar untuk  korporat.

Pro kontra food estate juga timbul dari penunjukan Kementerian Pertahanan sebagai  leading sector program ini meski tupoksi tersebut bukan kewenangan Kementerian Pertahanan. Untuk itu keputusan ini berpotensi melanggar UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Program cetak sawah memang bukan hal baru, telah banyak program sejenis dilaksanakan yang terjadi malah mangkrak dan gagal total. Di era Soeharto, yang kerap muncul di televisi saat menghadiri panen lengkap dengan caping dan seikat padi, terobsesi dengan program swasembada pangan. Pada 1984, target itu tercapai. Namun, ketahanan pangan tersebut begitu rapuh dan akhirnya tak bertahan lama. Enam tahun kemudian, Indonesia kembali mengimpor beras.

Pasca Soeharto, pada satu dekade kepemimpinan SBY, selain kebijakan membuka 2,5 juta hektare sawah di Papua, pemerintah pun menuai malu karena kasus padi Super Toy HL2 (Heru Lelono 2). Harapan manis dan puja-puji yang membubung atas Super Toy HL2, seketika mati. Petani di Kecamatan Grabag yang menanam padi Super Toy menggelar aksi protes. Mereka merasa dibohongi karena ternyata padi tersebut kopong.

Rakyat meradang, pemerintah cuci tangan. Andi Mallarangeng, yang saat itu juru bicara presiden, mengelak jika pemerintah terlibat dalam kegagalan tersebut. Begitu juga Heru Lelono, ia menyebut SBY tidak membiayai dan tidak punya saham dalam perusahaan yang mengembangkan padi Super Toy HL 2.

Dalam pelbagai kunjungan kerja ke sejumlah daerah, Jokowi, kerap mendatangi para petani yang tengah menggarap sawah. Selama kepemimpinannya pula, sejumlah kebijakan tentang ketahanan pangan sempat mengalami perdebatan. Sebelumnya, melanjutkan proyek SBY dengan membuka ribuan hektare sawah di Papua yang secara kultural tidak dekat dengan budaya sawah.

SBY pada 2006 menamakan program tersebut MIRE (Merauke Integrated Rice Estate). Lalu pada 2008 namanya berubah menjadi MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Mula-mula proyek tersebut menargetkan 2,5 juta hektare lahan, tapi Jokowi mengubahnya menjadi 1,2 juta hektare lahan. Dan kenyataannya terus berkurang.

Dalam pelaksanaannya, proyek ini kerap berhadapan dengan sejumlah masalah. Di antaranya lahan yang dibuka berkaitan dengan tanah adat yang sakral dan tempat-tempat untuk tanaman sagu, bahan makanan pokok warga setempat.

Bagaimana Food Estate di Jalankan?

Presiden Jokowi menginstruksikan Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo mengembangkan konsep pertanian dari hulu ke hilir, kluster berbasis korporasi petani, diversifikasi pangan, hortikultura dan ternak. Selain itu juga lumbung pangan nasional berupa pertanian modern melalui mekanisasi dan pertanian 4.0 serta menjual produk olahan bukan mentah.

Ya food estate, korporasi petani atau mekanisasi dan pertanian 4.0 adalah sandi bagi para pemain kakap dalam industri pertanian nantinya, pada akhirnya menjadi jelas dugaan sejumlah kalangan bahwa proyek ini akan bernasib sama dengan proyek-proyek sebelumnya, yaitu menjadi karpet merah korporasi untuk menguasai pangan negeri ini.

Hal ini karena alih-alih menguasai teknologi pertanian, realitasnya sedikit sekali petani Indonesia yang mampu mengakses lahan, pupuk, benih dan subsidi dari penguasa. Justru semua menjadi begitu mudah bagi para pemodal. Dalam konteks global, pangan kini juga terkonsentrasi di segelintir perusahaan transnasional, mereka hanya fokus pada sedikit species, dan mereka membentuk rantai pangan yang menghubungkan dari sejak gen, bibit, input agrokimia, produksi, trading dan pengolahan, manufaktur hingga rak-rak di supermarket. Konsekuensinya amat serius: harga pangan di pasar dunia tidak stabil.

Benarkah Indonesia Krisis Pangan?

Jika mengacu pada data Global Food Security Index (GFSCI), ketahanan pangan Indonesia berada di peringkat 62. Indonesia masih kalah dengan Singapura yang berada di peringkat 1, Malaysia di peringkat 28, Thailand di peringkat 52 dan Vietnam di peringkat 54. Skor total ketahanan pangan Tanah Air berada di angka 62,6. Jika dilihat dari aspek keterjangkauan Indonesia mendapatkan skor 70,2. Indonesia masih lemah dalam hal akses pembiayaan untuk petani yang berada di bawah rata-rata indeks global tahun lalu.

Kendatipun dengan kondisi yang demikian nyatanya ketersediaan pangan Indonesia sejatinya melimpah. Pada Desember 2019 Bulog melakukan pemusnahan beras busuk sebanyak 20 ribu ton. Mirisnya 126 ribu telur ayam juga ikut dimusnahkan pada waktu bersamaan demi menjaga kestabilan harga. Belum lagi aksi petani membakar dan membuang produk panen karena kecewa dengan rendahnya harga komoditas pangan di berbagai tempat.

Hal ini merupakan akibat langsung dari kebijakan penguasa yang melakukan aksi impor bahan pangan secara ugal-ugalan justru di tengah panen raya. Termasuk amburadulnya penanganan masalah pertanian oleh negara. Ditambah dengan buruknya distribusi pangan. Menjamurnya aksi penimbunan, mafia kartel dan monopoli pasar.

Petani akhirnya putus asa dan banting setir menjual lahan kemudian lebih memilih menjadi pedagang, bahkan terkadang menjadi buruh dari korporasi. Sebagian yang lainnya tetap bertahan dalam nestapa. Pemerintah menutup mata dan memekakkan telinga terhadap jeritan petani dan resiko rapuhnya ketahanan pangan nasional. Tentu saja ini adalah kedzaliman yang luar biasa, penguasa lebih mengutamakan keuntungan pemburu rente atau mafia impor pangan daripada nasib petani dan masyarakat.

Terkadang impor ini tidak sepenuhnya diinginkan oleh negera, namun jebakan organisasi global seperti WTO misalnya mengharuskan negara ini melakukan impor meski ditengah panen raya. Pandemi seharusnya membuka mata penguasa untuk menata kembali kebijaksanaan yang benar-benar menyelamatkan ketahanan pangan dan mewujudkan kemandirian pangan. Salah satunya adalah dengan melepaskan dirinya dari jerat WTO.

Indonesia harus menghentikan ekspor pangan, yang dalam situasi pandemi dan prediksi krisis pangan justru masih saja melakukan ekspor pangan. Aneh jika saat ini Indonesia melakukan ekspor perdana bawang putih sebanyak 15 ton dari target 1.000 ton ke Taiwan. Sementara harga bawang putih dalam negeri masih tinggi dan sediaannya pun masih sulit (kompas.com 13/8/2020).

Para pemimpin dari negara dengan populasi Muslim terbesar dunia ini tidak akan serepot ini mengurus ancaman krisis pangan dan pandemi sekaligus jika saja dari awal mengambil solusi Islam. Ketika kasus pertama diketahui, seharusnya penguasa mengunci wilayah tersebut dan menanggung kebutuhan pangan dan kesehatan warga disekitarnya sesuai arahan Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan. Sementara wilayah lain yang bebas dari pandemi dapat melangsungkan aktivitasnya seperti biasa.

Wilayah yang aman akan menopang wilayah wabah maupun wilayah rentan. Namun karena negeri ini tidak bersandar pada sistem Allah akhirnya kerusakan demi kerusakan terjadi. Masalah sistemik harus diselesaikan dengan solusi sistemik pula. Mau tak mau, suka tak suka jika memang serius menginginkan solusi, ganti sistem adalah jalan keluarnya.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.