18 Mei 2024

Penulis : Reni Rosmawati, Ibu Rumah Tangga, Pegiat Literasi AMK

Dimensi.id-“Kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah.” Demikian filsuf era Renaisans, Nicollo Machiavelli, berujar dalam salah satu adikaryanya, Il Principe (Sang Pangeran). (Kompas.com, 22 Juli 2020)

Pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), terus menuai beragam reaksi dari sejumlah pihak. Sebagaimana dilansir oleh laman Kompas.com, (18/7/2020), banyak pro dan kontra serta nyinyiran dari berbagai kalangan atas terpilihnya Gibran Rakabuming untuk maju ke pilkada.  Hal tersebut dikarenakan Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa saat ini sudah mendapatkan dukungan resmi dari PDI-P, parpol tempat Jokowi bernaung. Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution juga tengah berupaya mendapatkan dukungan parpol untuk maju di pemilihan Wali Kota Medan 2020.

Menyaksikan hal ini, Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menilai pencalonan Gibran Rakabuming di Pilkada Solo sebagai gejala langgengnya dinasti politik dan menguatnya oligarki.

“Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi wali kota.” Ujar Ujang.

Menurut Ujang, PDIP semestinya memunculkan kader-kader internal terbaik untuk menjadi kepala daerah. Bukan mencomot orang dari luar, yang tidak pernah berkeringat dan berdarah-darah untuk partai. Kasus Gibran ini menandakan bahwa partai politik belum siap untuk melahirkan kader-kader calon pemimpin daerah dan bangsa. Ujang menilai pertimbangan PDIP mengusung Gibran hanya dari sisi politis semata. Sementara dari sisi kapabilitas, Gibran belum memiliki pengalaman.

Ujang juga menilai pencalonan keluarga Presiden di pilkada akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Sebab, Presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan Gibran mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah juga menyampaikan pendapat serupa. Pencalonan Gibran, kata Dedi, justru memperburuk citra PDI-P karena akan dianggap sebagai Parpol yang melanggengkan dinasti politik. Dedi juga menyayangkan dukungan Presiden Jokowi terhadap pencalonan Gibran. Menurut dia, keputusan itu tak elok dan bisa menjadi upaya melanggengkan dinasti politik. (Tempo.co, Jum’at, 17/7/2020)

Gurita Politik Dinasti di Alam Demokrasi

Sungguh menyedihkan, di tengah hiruk pikuk wabah Covid-19 yang tak berkesudahan serta ekonomi masyarakat yang kian terpuruk di segala sisi, fenomena oligarki dan dinasti politik di negeri ini kembali menguat. Tak hanya di level nasional, dinasti politik ini juga terjadi pada politik di tingkat daerah.

Jika kita menilik secara mendalam, fenomena dinasti politik yang hadir di Indonesia sebenarnya adalah cerita lama. Politik dinasti di negeri ini seolah telah menggurita dan menjadi hal yang tak bisa dihindari.  Praktik ini telah ada sejak era Soeharto, Megawati, SBY, hingga sekarang era pemerintahan presiden Jokowi. Tampilnya putra dan menantu presiden di kancah politik tampaknya semakin menambah daftar panjang sederet nama terkait adanya politik dinasti.

Sudah menjadi rahasia umum, tujuan politik dinasti tiada lain adalah untuk mempertahankan kekuasaan agar tidak keluar dari link mereka. Itulah sebabnya, politik dinasti acapkali terjadi dan terus bergulir bagaikan bola salju di bumi Nusantara ini.

Merebaknya praktik politik dinasti sejatinya tidak dapat dilepaskan dari sistem demokrasi-kapitalisme. Sistem  yang menjadikan kursi kekuasaan adalah segalanya, bukan untuk melayani kepentingan rakyat namun demi melanggengkan kekuasaan semata. Sistem yang mendukung seorang penguasa mengusung anggota keluarganya dengan uang dan jabatan yang dimilikinya. Tidak jarang berbagai cara dan upaya pun dilakukan demi meraih tampuk kekuasaan, hingga  penyalahgunaan wewenang pun ditempuh juga. Yang demikian terjadi karena sistem ini tegak di atas landasan sekularisme yang menafikan peran Tuhan (yakni Allah Subhanahu wata’ala) dalam kehidupan. Sehingga melahirkan aturan-aturan liberal yang membawa berbagai kerusakan karena tak mengenal halal-haram.

Tingginya ongkos politik dalam sistem demokrasi-kapitalis  menjadikan para pemimpin yang terpilih kerap terpeleset melakukan penyelewengan kekuasaan. Tak jarang praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dalam sistem pemerintahan baik pusat maupun daerah pun terjadi. Pasalnya, mereka harus berjuang keras mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama proses politik berlangsung.

Suatu keniscayaan dalam demokrasi, publik akan menjumpai politik oligarki yang dibangun partai politik berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu penguasa. Demokrasi juga memastikan pemenang mendapat suara terbanyak. Bisa diraih dengan dana besar, ketenaran, ataupun pengaruh jabatan. Karenanya, politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak sistem demokrasi.

Akhirnya, proses pemilihan kandidat yang memiliki kapabilitas pun menjadi terganggu dan terhambat karena kalah saing dengan para pemilik dana besar, pemegang ketenaran dan pemangku jabatan. Hingga akhirnya berdampak pada kualitas dalam melayani publik dan mengurusi urusan rakyat. Dan akhirnya, rakyatlah yang kembali menjadi korban.

Islam solusi Tuntas Politik Dinasti

Kondisi politik dinasti ini akan terus bergulir dan menggurita tak terkendali selama sistem demokrasi-kapitalis bercokol di negeri ini. Karenanya menolak politik dinasti hanya bisa terjadi bila demokrasi disingkirkan dan diganti dengan sistem paripurna yang berasal dari wahyu Allah yakni Islam.

Sebagai agama sempurna, Islam mempunyai sistem yang sangat jauh berbeda dengan sistem demokrasi-kapitalis. Islam menggariskan pemimpin diraih dengan syarat yang ditentukan syariat dan mendapat dukungan nyata umat karena dikenal ketakwaan dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh perintah syara.

Dalam memilih pemimpin, Islam memberikan tuntunan jelas agar orang yang terpilih kelak benar-benar berkomitmen untuk menyejahterakan rakyat.  Itulah sebabnya, Islam senantiasa memperhatikan beberapa perkara pokok sebelum memilih pemimpin seperti;

Pertama: orang yang dipilih sebagai pemimpin adalah orang yang berilmu dan menguasai bidangnya dengan baik, diikuti dengan akhlak yang juga baik juga. Hal ini karena kepemimpinan/jabatan adalah amanah besar yang tidak boleh diserahkan kepada orang yang tidak layak. Rasulullah saw. bersabda :

“Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran.” Orang Arab Baduwi itu berkata :”Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda: “Apabila urusan diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancuran.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Hadits ini merupakan peringatan keras kepada manusia agar tidak sekali-kali mengingkari janji dan amanah. Itulah sebabnya yang akan menjadi pemimpin dalam Islam haruslah orang yang benar-benar takut kepada Allah Swt. karena pemimpin yang takut pada Allah Swt. akan menjadikannya sosok pemimpin yang demikian amanah. Ia pun akan  senantiasa takut melanggar hukum Syara’ serta amanah yang dibebankan kepada dirinya (kepemimpinan). Sebab pemimpin adalah jabatan yang bisa menghantarkan kepada syurga jika dijalankan dengan penuh amanah. Juga menjadi jembatan menuju neraka apabila abai terhadap tanggung jawabnya.

Kedua: orang yang dipilih sebagai pemimpin memiliki rasa belas kasihan dan kasih sayang terhadap rakyat. Sikap ini tentu bukan sekedar pencitraan hanya ketika saat seseorang dicalonkan, namun tercermin dalam rekam jejak kesehariannya. Dimana hal ini akan muncul dalam kebijakan-kebijakan yang kelak mereka dikeluarkan.

Ketiga: orang yang dipilih sebagai pemimpin diupayakan bukan dari keluarga atau kerabat orang yang memiliki jabatan di pemerintahan. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab karya Dr. Muhammad ash-Shalabi dijelaskan bahwa Khalifah Umar selalu berusaha untuk tidak mengangkat pegawai dari kerabatnya sendiri terlebih dahulu. Walaupun dia memiliki kemampuan dan masuk Islam lebih dulu. Hal ini semata untuk menghindarkan diri dari KKN yang ujungnya membuka pintu penyalahgunaan wewenang kekuasaan.

Keempat: setiap pemimpinbaik wali (gubernur) atau ‘amil (penguasa setingkat kabupaten/kota) diangkat dan dipilih  langsung oleh khalifah, tidak dipilih oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung. Meski demikian, rakyatlah yang menentukan keberlanjutan jabatan wali dan ‘amil  itu. Jika rakyat, baik secara langsung ataupun melalui wakilnya menunjukkan ketidak sukaan terhadap wali dan ‘amil serta meminta diganti, maka khalifah akan segera menggantinya. Dengan mekanisme ini, maka tidak perlu biaya mahal dalam pilkada.

Melalui keempat perkara pokok ini, maka tentu celah untuk melakukan politik dinasti akan tertutup rapat, meskipun wali dan ‘amil itu kerabat atau orang yang dekat dengan khalifah namun mereka tidak akan menyalahgunakan wewenang demi tampuk kekuasaan. Yang ada hanyalah para penguasa amanah yang mempunyai kepekaan, kepedulian, kapabilitas, dan sayang kepada rakyatnya.

Demikianlah betapa sempurnanya Islam memberikan tuntunan dalam memilih pemimpin. Dari sini, maka jelaslah hanya Islamlah satu-satunya sistem yang akan mampu melahirkan para pemimpin yang mumpuni dan sesuai kebutuhan rakyat.

Dengan sistem Islam, politik dinasti yang kian menggurita akan bisa dihalangi dan diatasi secara tuntas. Jikapun ada kekerabatan dan kedekatan di antara para pejabat dan aparatur negara, maka tetap akan membawa kebaikan bagi umat. Namun semua itu hanya bisa dirasakan oleh umat jika sistem Islam yakni Syariah Khilafah Ar-Rasyidah diterapkan secara rill di muka bumi ini. Karenanya, menerapkan Islam secara kaffah adalah PR besar kita bersama saat ini.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.