18 Mei 2024

Penulis : Yuniasri Lyanafitri

Dimensi.id-Di tengah pandemi yang kian memprihatinkan, pemerintah malah tampak antusias menggelar pesta demokrasi pemilihan kepala daerah tahun 2020. Begitu pula beberapa partai politik yang telah siap dengan mengusung para calonnya. Seperti tidak menggubris bahaya pandemi yang memburu nyawa rakyatnya setiap hari.

Ditambah lagi, pilkada tahun ini ada anomali demokrasi yang dirasakan oleh para pengamat politik. Betapa tidak, anak, istri, menantu, orang tua atau kerabat lainnya dari para pejabat ikut turut serta menjadi bakal calon kepala daerah. Seperti, anak dari Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang telah mendapat dukungan dari partai PDI-P untuk melenggang bersama pasangannya menjadi bakal calon walikota Solo. Hal ini juga dilakukan oleh Partai Nasdem yang mengusung anak perempuan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah dalam Pilkada Walikota Tangerang Selatan. Selain Gibran dan Siti, ternyata menantu Jokowi, Bobby Nasution juga tengah berupaya mendapatkan dukungan dari partai politik untuk memilihnya menjadi bakal calon dalam pemilihan walikota Medan. (kompas.com 18/7/2020)

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin berpendapat bahwa Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik. Hal itu terlihat dari langkah putra sulungnya yang maju dalam pemilihan walikota Solo tahun 2020. “Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi walikota, “ ujarnya. (kompas.com 18/7/2020)

Ujang juga menilai pencalonan keluarga presiden dalam pilkada dapat berpotensi menimbulkan konflik. Karena sebagai seorang presiden, Jokowi memiliki ruang pengaruh dan kekuasaan yang besar dan luas. Sehingga penyalahgunaan wewenang akan sangat mungkin terjadi. Namun, hal itu sudah pasti akan disiasati. (kompas.com 18/7/2020)

Bahkan, menurut akademisi Universitas Gajah Mada, Kuskrido Ambardi dalam diskusi akhir tahun lalu, bahwa politik dinasti di Indonesia merupakan satu hal yang memang direncanakan untuk terjadi. Karena dengan adanya dinasti politik, oligarki politik akan dengan mudah bergerak dan berkembang dalam mencapai tujuannya. Seperti yang dijelaskan oleh Kuskrido. “Munculnya politik dinasti itu bisa memudahkan oligarki politik bergerak. Setidaknya dengan dinasti, langkah oligarki politik lebih mudah tercapai.” (rmolbanten.com 18/12/2019)

Sebagaimana diketahui, dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan oleh sekelompok keluarga untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Sedangkan oligarki politik adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat. Perbedaannya adalah dinasti politik dilakukan oleh individu penguasa. Sementara oligarki politik dilakukan oleh partai politik yang berkuasa.

Sebenarnya keberadaan dinasti politik dan oligarki politik adalah suatu kepastian yang ditimbulkan dari penerapan sistem demokrasi. Karena dalam sistem demokrasi berlaku pemungutan suara. Suara terbanyak akan menjadikan seseorang atau sekelompok orang menjadi pemenangnya. Hanya dengan dukungan suara terbanyak, siapapun bisa menduduki suatu jabatan atau pemimpin daerah. Tentu, dalam sistem kapitalis demokrasi ini, suara juga bisa dimanipulasi dengan berbagai cara. Misalnya, dengan adanya dana besar yang mendukung dalam masa kampanye, ketenaran, atau pengaruh jabatan yang sedang dimiliki. Oleh karena itu, dinasti politik bisa dianggap sebagai buah dari adanya sistem demokrasi.

Pada dasarnya, kedaulatan sistem demokrasi berada pada kedaulatan rakyat, yang berarti rakyat mempunyai wewenang penuh untuk memilih wakilnya pada pemerintahan. Namun faktanya, rakyat hanya bisa memilih orang yang telah disiapkan oleh partai politik. Bukan seseorang yang memang diinginkan rakyat secara murni. Padahal calon-calon yang telah disiapkan partai politik ini adalah orang-orang pilihan yang digunakan untuk mempertahankan kekuasan untuk golongan tertentu. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa kriteria seorang pemimpin yang dipilih oleh partai politik tidak akan amanah dengan urusan rakyat. Apalagi memiliki kriteria yang pantas sebagai seorang pemimpin.

Malah orang-orang yang akan terplih hanya akan menjadi boneka partai yang dikendalikan untuk meraih kekuasaan. Bukan sebagai wakil rakyat yang dipilih rakyat untuk mengurusi urusan rakyat. Maka semboyan demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah isapan jempol belaka. Atau mungkin ada arti lain dari kata rakyat yang dimaksud dalam semboyan tersebut, yaitu rakyat dalam golongannya sendiri. Maka pantaslah jika dinasti politik dan oligarki politik sudah dapat diprediksi kemunculannya dalam sistem demokrasi. Karena keduanya bukan hanya sekadar anomali biasa, melainkan hasil mutlak dari sistem demokrasi.

Sehingga wajar jika ada fenomena wakil rakyat yang terpilih akan bersikap seolah-olah lupa dengan segala janji yang mereka umbar saat kampanye. Ketika mereka mendapatkan kritikan, mereka akan dengan cepat dan sigap membungkam orang yang melayangkan kritikan tersebut. Atau bersikap seolah-olah tidak mendengarnya. Karena mereka memahami bahwa kekuasaan adalah hal istimewa  yang tidak bisa didapatkan oleh sembarang orang. Sehingga mereka tidak akan dengan mudah untuk menyerahkan kekuasaan yang menggiurkan kepada serangga sekalipun.

Melihat fakta yang ada, dinasti politik dan oligarki politik akan terus berlangsung dan berkembang jika sistem yang diterapkan masih menggunakan sistem demokrasi. Karena kedua hal tersebut tidak akan terpisahkan walau dilakukan usaha pencegahan dan penyelesaian apapun. Sistem demokrasi hanya akan menjadi penyubur anomali-anomali tersebut. Bahkan, menjadi pemicu munculnya berbagai masalah baru lainnya.

Solusi yang diperlukan hanyalah dengan mengganti sistem yang diterapkan menjadi sistem Islam yaitu khilafah Islamiyah. Karena hanya dengan penerapan khilafah, semua aspek kehidupan akan adil dan teratur. Karena aturan Islam datang dari Dzat Yang Maha Adil.

Dalam Islam, kedaluatan bukan berada di tangan rakyat. Melainkan kedaulatan berada di tangan syara’. Jadi, kekuasaan tertinggi ada di hukum syara’. Bahkan seorang pemimpin negara tidak mempunyai kekebalan hukum dihadapan syara’.

Seorang pemimpin negara atau khalifah akan dipilih oleh rakyat dengan cara dibaiat. Sebelum dibaiat, khalifah terlebih dahulu harus memenuhi tujuh syarat in’iqat yaitu, laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, dan memiliki kemampuan. Hal ini berarti, seorang yang fasik tidak sah menjadi seorang khalifah. Apalagi jika khalifah tidak memiliki kemerdekaan atas dirinya. Karena seorang hamba sahaya yang dimiliki tuannya tidak mempunyai wewenang untuk mengatur hidupnya. Bagaimana mungkin, seseorang yang tidak memiliki wewenang dalam dirinya mempunyai wewenang atas orang lain, bahkan mampu mengatur urusan manusia.

Seorang khalifah juga harus berlaku adil. Karena khalifahlah yang nantinya akan memutuskan secara adil masalah yang ada di tengah-tengah umat. Bahkan adilnya seorang khalifah melebihi adilnya seorang saksi. Selain itu, khalifah juga harus mempunyai pemahaman tentang Al Qur’an dan As Sunnah. Sehingga khalifah mampu untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah dan konsisten.

Penolakan dan penerimaan para calon secara syarat in’iqat ditetapkan oleh Mahkamah Mazhalim. Setelah itu, pembatasan jumlah calon dilakukan oleh Majelis Umat dengan musyawarah. Pertama, calon dipilih menjadi enam orang. Kemudian dipilih dua orang dari enam orang tadi untuk diumumkan kepada umat.

Umat akan memilih secara langsung calon yang dilihat mampu untuk mengurusi urusan umat berdasarkan kitabullah dan sunah rasul-Nya. Kemudian umat membaiat calon yang terpilih. Setelah proses baiat selesai, khalifah yang terpilih akan diumumkan ke seluruh negeri dengan penyebutan nama dan penggambaran pribadinya yang telah memenuhi sifat-sifat yang menjadikannya berhak untuk menjabat sebagai khalifah.

Sedangkan untuk wali dan amir sebagai pemimpin di daerah, ditunjuk dan dipilih langsung oleh khalifah. Mereka diberikan wewenang untuk menerapkan hukum syara’ dan hukum yang telah ditabani khalifah dalam mengurus urusan umat. Penunjukkan yang dilakukan khalifah, juga berdasarkan pribadinya yang kuat dan taat dengan hukum syara’. Karena hukum syara’ juga akan berlaku untuk para pejabat pemerintah. Tidak akan pandang bulu dan dilakukan seadil-adilnya.

Umat juga bisa menyatakan kritik dan saran kepada khalifah jika khalifah dipandang keliru dalam menetapkan suatu kebijakan. Dan khalifah akan menanggapinya dengan penuh suka cita serta tidak akan bersifat arogan dalam menghadapinya. Hal ini disebabkan oleh keterikan setiap individu oleh hukum syara’. Mereka bertanggung jawab langsung kepada Allah swt. atas amanah yang dibebankan pada pundaknya. Sehingga para pejabat akan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh sebagai pemimpin dan wakil umat.

Seperti yang telah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab ketika akan menetapkan besaran mahar. Keputusannya itu langsung mendapat kritik dari rakyatnya yang hanya seorang wanita biasa. Khalifah Umar menyambut kritik tersebut dengan tegas menyatakan bahwa yang benar adalah wanita tersebut. Dan segera membatalkan keputusannya.

Begitulah Islam yang mulia dan sempurna memberikan aturan yang sempurna pula untuk keselamatan umatnya di dunia hingga akhirat. Oleh karena itu, sebagai hal yang sangat penting untuk segera menerapkan Islam secara kaffah sebagai solusi kehidupan yang paripurna.

Wallahu’alam bish showwab

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.