18 Mei 2024

Penulis : A. Qurratu Aini (Blue Ranger), pelajar17 tahun

Dimensi.id-“Demokrasi bisa dibajak oleh kekuatan oligarki dan dinasti politik.” Pendapat Ujang komaruddin pengamat politik dari Universitas Al Azhar kepada Kompas.com, Sabtu (18/7/2020)

Apakah politik dinasti akan berbahaya bagi proses demokratisasi?, apakah benar perandaian demokrasi akan dibajak oleh kekuatan oligarki? Renungkan.. Bukannya yang mempersilahkan politik dinasti, kekuatan oligarki oleh parpol berkuasa, dana besar, pengaruh jabatan, serta ketenaran, oleh demokrasi diniscayakan sebagai pemenang.

Sistem demokrasi negeri kita saat ini telah melegalkan ketentuan pencalonan kepala daerah oleh Mahkama Konstitusi (MK) yang berasal dari keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah. Aturan tersebut tertuang dalam pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Kepala Daerah (AKURAT.CO). Alhasil, banyak politikus melahirkan Politik Dinasti melalui keluarga hingga kerabat.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membawa putra sulungnya Gibran Rakabuming berhasil maju ke pilkada serentak 2020 sebagai Calon Wali Kota Solo diusung oleh PDI-Perjuangan parpol tempat Jokowi bernaung. Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution juga tengah berupaya mendapat dukungan Parpol untuk maju di pemilihan wali kota Medan 2020. Tidak ketinggalan wakilnya Ma’aruf amin , oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kota Tangerang Selatan mendukung putrinya,  Siti Nur Azizah untuk maju ke pemilihan kepala daerah Tangsel 2020. Juga keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo maju seabgai calon wali kota Tangerang Selatan, digadang-gadang akan diusung oleh partai PDI-P dan Partai Gerindra. Dan masih banyak hubungan dinasti lainnya (AKURAT.CO)

“Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi walikota,” kata Ujang Komaruddin pada kompas.com. Ujang menilai pencalonan keluarga Presiden di Pilkada akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Sebab, Presiden memiliki semua Sumber Daya untuk bisa menang, mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain. “kemungkinan penyalahgunaan wewenang bisa terjadi dan memang akan ada, Cuma memang biasanya akan disiasati” kata Direktur Eksekutif Indonesian Political Review ini.(KOMPAS.com)

Politik dinasti di Indonesia merupakan satu hal yang memang “direncanakan” untuk terjadi. Disampaikan Akademisi Universitas Gajah Mada, Kuskrido Ambardi dalam diskusi akhir tahun FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (18/12)  “Politik dinasti itu tidak tiba-tiba muncul.” Katanya.

Semua dinasti yang terjadi telah direncanakan, hal ini menjadi rahasia umum dan tidak ditanggapi atau dihukumi. Dapat disimpulkan sistem demokrasi memang mendukung hal-hal seperti ini. Lantas bagaimana kita masih mensucikan demokrasi, yang digadang-gadang akan mensejahterakan?. Dari studi Boediono ini, menjelaskan dengan gamblang bahwa “Demokrasi tidak mengantarkan pada kesejahteraan. Sebaliknya, kesejahteraan justru untuk demokrasi” (Pada Buku Cinta Indonesia Rindu Khilafah, Muhammad Choirul Anam Bab15 Indonesia dan Demokrasi). Yang sejahtera dan mapan akan memenangkan Demokrasi.

Demokrasi yang seolah-olah dibuat tak bersalah bahkan telah menjadi pupuk busuk yang menumbuh suburkan kejanggalan, yang disiasati seakan natural terjadi. Akhirnya dengan anomalinya itu kemudian memperkeruh makna politik itu sendiri. Fenomena Oligarki dan Dinasti Politik di sistem ini terus menguat. Nasional hingga Daerah.

Bukan sekedar anomaly dari praktik demokrasi. Mengatasi masalah ini memang tidaklah mudah, menolak dan mengatasi oligarki dan dinasti hanya dapat terjadi bila demokrasi yang menjadi wadahnya juga ikut disingkirkan. Apakah itu berarti mengganti pemerintahan? Ya.. sebab demokrasi adalah sistem. Lantas sistem apa yang kita gunakan nantinya, jika demokrasi tidak adil menganggap kesalahan adalah kewajaran? jawabannya kita Harus mengkaji sistem  dan ideology apa saja yang ada didunia (pada kitab Nizhamul Hukmi fil Islam, Taqiyuddin an-nabhani), setelah mengkajinya kita dapat mengetahui sistem apa yang pantas untuk negri ini.

Sistem apapun didunia saat ini, sebenarnya tetap melegalkan dinasti dinastian dalam lingkaran politiknya, kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran dapat menghantarkan orang-orang ke kursi kepemimpinan tanpa lagi melihat bobot, sepak terjang, dan prestasi. Alhasil pemimpin yang terpilih tidak mampu mengatasi masalah, ditambah sistem dan hukum yang ia pilih adalah hasil buatan manusia, seperti demokrasi.

Tapi seharusnya kita ingat pepatah kuno “disetiap masalah pasti ada solusi”. Ya.. ada satu lagi. Yang banyak orang beranggapan bahwa negara Islam tidak mengatur sistem pemerintahan tertentu? Benarkah bahwa Islam juga tidak menentukan mekanisme pemilihan dan pengangkatan seorang pemimpin? Lantas mengapa menjadi solusi akhir? (lebih dalam pada buku Cinta Indonesia Rindu Khilafah, Muhammad Choirul Anam bab 34 Indonesia dan Khilafah).

Dalam islam memang benar bahwa teknik pemilihan pemimpin itu sangat variatif, tidak baku, tidak kaku, tidak monoton hanya dengan satu cara. Teknik itu sangat dinamis, karena Islam menggariskan pemimpin diraih dengan syarat yang ditentukan syariat dan mendapat dukungan nyata umat yang menggambarkan keridhoan masyarakat, pemimpin diangkat dengan satu metode, yang dinamakan BAI’AT. Lalu menjalankan sistem pemerintah yang unik yang bernama khilafah atau imamah, dengan hukum beserta filosofi yang berbeda dan unik dengan semua sistem pemerintahan yang ada didunia seperti kerajaan, Republik, atau yang lain. Ketahui lebih dalam  dengan mengkaji kitab Nidzamul Hukmi fil islam karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani atau kitab Ajhizatu Daulatil Khilafah fil Hukmi wal Idarah karya Syeikh Atho’ bin Khalil.

Wallahu a’lam

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.