1 Mei 2024

Penulis : Putri Kurnia Wardani

           

Dimensi.id-Berbicara tentang biaya pendidikan di Indonesia terutama perguruan tinggi tak akan terlepas dari berbicara sistem yang berlaku diperguruan tinggi tersebut. Pembiayaan kuliah yang dipakai sesuai dengan Permendikbud No.55 Tahun 2013 pasal 1 Ayat 3, yakni Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung mahasiswa berdasarkann kemampuan ekonominya. Setiap mahasiswa menanggung biaya kuliah persemester dan biaya tersebut sudah disubsidi oleh pemerintah pemberian subsidi didasarkan pada kondisi ekonomi dan sosial orang tua mahasiswa.

           

Beberapa waktu lalu mahasiswa turun aksi secara virtual dengan sejumlah tagar yang menjadi tranding topik di berbagai media sosial Twitter #MendikbudDicariMahasiswa dan #NadiemManaMahasiswaMerana yang sukses menjadi alat protes mahasiswa terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan Mendikbud Nadiem Makarim.

           

Saat itu, mahasiswa seluruh Indonesia mengeluhkan pembayaran UKT yang tetap harus dibayar mereka menilai UKT terbilang masih meninggi ditengah pandemi. Meski mereka belajar #DiRumahAja. Mahasiswa menuntut pengurangan UKT sebab selama kebijakkan kuliah daring mereka tidak menggunakan fasilitas kampus. Belum lagi biaya kuliah daring yang membuat dompet kering.

           

Banyak upaya yang dilakukan mahasiswa untuk memenuhi hak-haknya mulai dari aksi virtual, mengirim petisi, audensi, hingga aksi turun kejalan meski ditengah pandemi. Dan akhirnya, setelah perjuangan dan penantian panjang mahasiswa, Kemendikbud mengeluarkan regulasi baru. Terkait dengan  keringanan pembayaran UKT bagi mahasiswa PTN dan PTS. Sebagaimana yang tertuang dalam Peremendikbud Nomor 25 Tahun 2020 (wartakota.tribunnews.com, 19/6/20).

           

Bentuk keringanan bagi mahasiswa yang terkendala finansial ini, kata Nadiem Makarim dalam konferensi videonya pertama, keringanan UKT. Mahasiswa dapat mengajukan cicilan UKT bebas bunga atau 0 persen. Kedua, penundaan UKT, Mendikbud menyatakan mahasiswa dapat mengajukan penundaan pembayaran UKT dengan tanggal sesuai dengan kemampuannya. Ketiga, penurunan UKT, keringanan ini bisa diajukan mahasiswa dengan jumlah ekonomi sesuai dengan kemampuannya (cnnIndonesia.com, 19/6/20). Keempat, mengajukan diri untuk beasiswa Kartu Pintar  Indonesia Kuliah (KIP Kuliah) atau skema beasiswa lain yang ditawarkan oleh perguruan tinggi. Kelima, bantuan infrastruktur yaitu bantuan untuk mengajukan bantuan dana untuk jaringan internet dan pulsa.

           

Kemendikbud menganggarkan dana sebesar 1 truliun untuk bantuan dana UKT, sebanyak 410.000 mahasiswa yang di utamakan PTS yang akan menerima dana bantuan. Diluar 467.000 mahasiswa yang menerima biaya pendidikan miskin berprestasi dan KIP Kuliah. Seperti biasa ada kriteria syarat yang harus dipenuhi yakni, orang tua memiliki kendala fianansial sehingga tidak dapat membayar UKT. Sedangkan menurut data Menristekdikti pada tahun 2018 terdapat 7,5 juta mahasiswa baik PTN maupun PTS. Tentu saja jutaan mahasiswa harus siap-siap gigit jari dari dana  bantuan UKT yang hanya 1 triliun diperuntukkan untuk 410.000 mahasiswa.

           

Tak adil rasanya yang terkena dampak covid seluruh kalangan orang tua mahasiswa. Namun yang mendapat bantuan hanya segelintir orang saja. Jika kita tinjau kembali lima keringanan yang ditawarkan Nadiem pada dasarnya tetap sama yaitu mahasiswa tetap membayar UKT dengan kata lain pemerintah tidak ingin rugi. Harus ada pemasukka UKT bagaimana pun kondisi orang tua mahasiswa.

           

Kebijakan ini juga kembali menuai protes dari mahasiswa. Mahasiswa menilai kebijakan ini setengah hati, bahkan minim solusi. Kebijakan yang ada cenderung prosedural dan ribet dibirokrasi padahal cukup dengan penurunan biaya UKT untuk semua mahasiswa tanpa terkecuali, karena semua mahasiswa pasti terdampak oleh pandemi.

           

Permasalahan biaya mahal memang bukan masalah baru di dunia pendidikan. Namun, problem ini semakin terasa saat pandemi corona tiba. Aspirasi mahasiswa tak dianggap berarti, suara mereka dianggap angin lalu saja. Seolah negeri ini sedang menegaskan bahwa pendidikan adalah komoditi yang diliberalisasi dan dikomersilisasi. Dan memang tidak bisa dipungkuri sejak Indonesia meratifikasi GAST (General Agreement on Trede in Service) yang mencakup liberalisasi 12 sektor jasa pada Desember 2005, Indonesia kehilangan kedaulatan akan 12  sektor jasa, salah satunya adalah jasa pendidikan.

           

Dan penerapan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi salah satu kebijakan yang melegitimasi adanya komersialisasi pendidikan tinggi. Pelepasan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan berdampak pada semangkin rendahnya akses pendidikan tinggi yang mampu dinikmati oleh rakyat Indonesia (kompasiana.com).

           

Sungguh miris, di negeri yang katanya sumber daya melimpah, aman, tentram, makmur tanahnya sangat subur tetapi pendidikan sulit diakses karena biaya yang terus melambung tinggi oleh liberalisasi. Tentunya kondisi seperti ini tak akan pernah terjadi jika pendidikan diletakkan sebagai hak setiap warga dijamin oleh negara. Dan kondisi ini bukan hanya mimpi, karena jaminan pendidikan ini sudah pernah diterapkan jauh sebelum kapitalis mencengkram yakni, di masa kejayaan Islam.

           

Sejarah Islam telah mencatat kebijakan para Khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Seluruh pembiayaan pendidikan ditanggung oleh negara. Baik menyangkut gaji segala pihak yang terkait pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan dll. Termasuk juga infrastruktur sarana dan prasarana seperti bagunan sekolah, asrama, perpustakaan, maupun buku-buku dll. Mengapa demikian? Sebab Islam adalah negara yang berkewajiban menjamin 3 kebutuhan pokok masyarakat yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan yang diberikan negara secara langsung. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu yang mencakup sandang, pangan, dan papan dimana negara memberi jaminan tak langsung. Tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara.

           

Sungguh luar biasa, sudah tak diragukan lagi ketika Islam diterapkan tentu akan melahirkan kemaslahatan karena Islam turun sebagai rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu mahasiswa jangan terjebak dengan solusi-solusi pragmatis yang ada. Misalnya penurunan UKT karena memang permasalahan negeri ini tidak terkait pada hal teknis tapi, pragmatis dan sistematis sudah waktunya mahasiswa melakukan perjuangan ideologis yang akan mengganti sistem kapitalis-demokrasi dengan sistem Islam akan menerapkan sistem pendidikan tinggi yang gratis dan juga berkualitas.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.