17 Mei 2024

Pemerintah Indonesia memutuskan untuk membatalkan keberangkatan jamaah haji tahun 2021. Keputusan ini disampaikan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas pada Kamis (3/6/2021). Alasan pembatalan haji tersebut dikarenakan beberapa hal, diantaranya pandemi Covid-19 yang belum juga selesai.

Selain itu, belum adanya undangan dari Arab Saudi untuk membahas dan menandatangani nota kesepahaman tentang penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021 dan belum dibukanya akses layanan penyelenggaraan ibadah haji, menjadi alasan lain. Dikarenakan pemerintah perlu waktu yang tidak sedikit untuk mempersiapkan berbagai kebutuhan jamaah haji, pembuatan visa dan lainnya.

Endang Jumali, Konsul Haji dan Umroh Konsulat Jenderal RI di Jeddah, Arab Saudi, menyampaikan bahwa belum ada pengumuman resmi dari pemerintah Arab Saudi terkait penyelenggaraan haji 2021. Pemerintah Arab Saudi sendiri belum mengirimkan undangan haji kepada negara manapun (Kompas.com).

Hal ini dipertegas Dubes Arab Saudi untuk Indonesia Essam bin Abed Abid Al Thaqafi dalam suratnya kepada Puan Maharani, bahwa otoritas Kerajaan Arab Saudi belum mengeluarkan intruksi apapun berkaitan ibadah haji tahun ini bagi jamaah haji dari seluruh negara di dunia.

Membandingkan sikap pemerintah Malaysia yang tetap bersiap-siap jika sewaktu-waktu Arab Saudi memberikan kuota haji tahun ini. Pemerintah Indonesia justru membatalkan ibadah haji secara sepihak.

Menurut Menag, pemerintah sebenarnya sudah melakukan persiapan dini dengan membentuk tim manajemen krisis penyelenggaraan ibadah haji yang tugasnya melakukan persiapan dan mitigasi penyelenggaraan haji (haji.kemenag.go.id). Lalu mengapa tidak diupayakan untuk tetap mengantisipasi, bersiap jika Arab Saudi memberikan kuota haji?

Sebagai negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya menjadi yang terdepan dalam hal persiapan ibadah haji. Karena pemberangkatan haji sudah menjadi hajat tahunan kaum muslim Indonesia.

Bila kita lihat pada masa kekhilafahan, kaum muslimin bersatu dalam satu wilayah daulah yang luas. Umat muslim tidak perlu kesulitan mengurus visa dan adminitrasi lainnya.

Khalifah pun mempersiapkan rute terbaik untuk perjalanan haji. Meningkatkan infrastruktur untuk memudahkan jamaah haji. Seperti pada masa Khalifah Abdul Hamid II yang membuat jalur kereta api Hijaz untuk memangkas waktu tempuh menuju Madinah. Semua upaya terbaik dilakukan untuk mempermudah dan memaksimalkan pelayanan ibadah haji.

Upaya untuk memberikan kenyamanan para jamaah haji terus ditingkatkan oleh para penguasa Islam. Harun ar-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah adalah patron terbesar bagi para ulama, termasuk di Masjid al-Haram. Istrinya, Zubaydah binti Ja’far, membangun infrastruktur untuk para jamaah haji.

Di antaranya, ia membangun jalan sepanjang 900 mil dari Kufah hingga Makkah yang disebut Darb Zubaydah (Jalan Zubaydah). Jalan yang dibangun pada 780 M ini merupakan salah satu rute paling awal yang dibuat khusus untuk para peziarah. Terdorong oleh kepeduliannya yang besar terhadap para jamaah miskin yang menempuh perjalanan haji dengan berjalan kaki, ia menambahkan sembilan tempat pemberhentian pada jarak-jarak tertentu. Totalnya, ada 54 tempat pemberhentian untuk beristirahat. Semua tempat itu meliputi kolam (sumber air), tempat berteduh, dan kadang-kadang sebuah masjid kecil.

Menyaksikan nasib para peziarah miskin yang harus membayar satu dirham untuk sebotol air kecil, Zubaydah juga membuat serangkaian sumur dan saluran yang digali sepanjang rute haji dari Lembah Nu’man ke Makkah. Sumur ‘Ayn Zubaydah ini dibangun dengan perkiraan biaya 54 juta dirham.

Ibn Jubayr, musafir yang melakukan perjalanan dari Andalusia ke Makkah, mencatat, “Para peziarah memanfaatkan sumur-sumur ini. Mereka bersukacita dalam kelimpahan. Orang-orang berenang, mandi, dan mencuci pakaian mereka. Itulah istirahat setelah sehari penuh menempuh perjalanan, sebuah hadiah yang diberikan oleh Allah.”

Kian meluasnya wilayah kekuasaan Islam membuat jamaah haji datang dari berbagai negara. Pada masa itu, para peziarah dari negara-negara lain berkumpul di ibukota Suriah, Mesir, dan Irak untuk pergi ke Makkah dalam sebuah kelompok atau karavan yang terdiri dari puluhan ribu jamaah.

Tanggung jawab untuk mengatur kafilah haji tersebut diberikan kepada komandan yang dikenal sebagai Umara’ al-Hajj. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan cara Muhammad saat menunjuk Abu Bakar memimpin sekitar 300 Muslim berhaji pada tahun 9 H. Umara’ al-Hajj bertugas melindungi para jamaah haji serta mengamankan dana dan perlengkapan selama perjalanan.

Patutnya menjadi contoh bagi pemerintah kita, agar dapat memberikan pelayanan terbaik untuk membantu warga negara melaksanakan ibadahnya. Dalam hal ini ibadah haji yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah mampu. Jika tidak, artinya pemerintah telah gagal melaksanakan amanat UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 tentang jaminan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Jangan sampai lalai dan abai sehingga mengkhianati amanah dari umat yang telah mempercayakan penyelenggaraan ibadah haji kepada pemerintah. Karena sungguh perkara ini akan dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah, Zat Yang Maha Kuasa.

Wallahu’alam

Penulis: Pien Ariesma (Aktivis Muslimah)

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.