19 Mei 2024

Penulis : Desi Dian S.

Dimensi.id-Memasuki pertengahan tahun 2020, sudah seharusnya indonesia melaksanakan hajatan besar di tingkat daerah yakni pilkada serentak 2020. Pilkada 2020 digelar di sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Mengacu pada Peraturan Perundang-undangan Nomor 2 Tahun 2020. Awalnya Pilkada 2020 akan diselenggarakan pada 23 September 2020 di 270 daerah dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, namun ditunda hingga 9 Desember 2020. (suara.com, 9/6/2020)

Namun benarkah pandemi berakhir desember mendatang? tidakkah kita belajar dari angka positif yang terus mengalami kenaikan? berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 hingga Selasa pukul 12.00 WIB, ada 3.507 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Dengan penambahan itu, maka kasus Covid-19 di Indonesia jumlah totalnya mencapai 225.030 orang, hal ini semakin menambah kekuatiran pelaksanaan pilkada 2020 menjadi cluster baru meningkatnya kasus positif di indonesia.

Dirut Indo Barometer, Mohammad Qodari menyatakan akan terjadi Superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19 apabila tetap dilaksanakan pilkada 9 desember mendatang. Sebab Dari simulasi yang dilakukan, kata Qodari, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak, (beritasatu.com, 13/09/2020).

Pelanggaran Protokol Kesehatan dalam Pilkada 2020

Mengutip data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pelanggaran dilakukan 243 bakal paslon Pilkada 2020. Sanksi teguran menjadi konsekuensi pelanggaran tersebu, (medcom.id, 15/09/2020).

Diantaranya bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh bakal pasangan calon (paslon) kepala daerah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 melanggar ketentuan protokol kesehatan. Misalnya bakal calon positif terpapar virus korona saat mendaftar.

Selain itu, tak sedikit paslon mengabaikan jaga jarak, menimbulkan kerumunan, dan tidak melampirkan hasil pemeriksaan swab test saat mendaftar. Pelanggaran juga dilakukan pendukung bakal pasangan calon dengan tidak mengenakan masker.

Bukan hanya pelanggaran yang dilakukan oleh bakal paslon, dasar hukum Pilkada 2020 juga memunculkan perdebatan diantaranya tertuang dalam Pasal 59 dan Pasal 63 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Non Alam Covid-19.

Pada Pasal 59, diatur tentang debat publik yang membolehkan 50 pendukung hadir. Sedangkan di Pasal 63 mengatur tujuh jenis kegiatan yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan UU. Antara lain, tidak dilarang melakukan konser musik.

Pilkada Terlilit Kebijakan

Walaupun berpotensi tinggi menjadi cluster baru penyebaran virus corona, Namun aspirasi publik ini ditolak oleh rezim karena  logika demokrasi yang menyesatkan, dan mengabaikan pertimbangan kesehatan.

Menteri Menkopolhukam Mahfud MD, menyebutkan usulan soal Pilkada Serentak kembali ditunda sulit diwujudkan karena perubahan UU membutuhkan waktu. Selain itu, penerbitan Perppu juga perlu persetujuan DPR dan belum tentu disetujui. Selain itu, munculnya banyak pejabat pelaksana tugas (Plt) di beberapa pemerintahan daerah bisa menjadi salah satu dampak dari penundaan pilkada 2020, (Terkini.id, 13/9/2020).

 “Tapi alasannya kita sampaikan, ya itu tadi, pertama, dulu kita tidak ingin adanya pemerintahan yang Plt, itu sampai 270 kalau ditunda. Tidak mungkin satu negara Plt-nya 270. Lalu alasan kedua, kalau tunggu COVID kapan tunggunya, itu alasan kemarin di DPR-KPU,” jelas Mahfud.

Selain itu, Mahfud turut membahas soal Perppu Corona yang disebut terlalu berorientasi pada ekonomi ketimbang kesehatan. Dia menjelaskan soal perlunya dasar hukum dalam mengeluarkan dana untuk penanganan COVID-19.

Democrazy Langgengkan Kekuasaan?

Inilah gambaran demokrasi yang rusak dan menyesatkan, di saat angka positif covid terus mengalami peningkatan, pemerintah hanya disibukkan untuk melanggengkan kekuasaan dalam pentas Pilkada 2020.

Fokus yang salah dalam penanganan maupun kebijakan hanya akan mempertaruhkan nyawa rakyat. Pilkada hanya dijadikan sebagai instrumen dalam mempertahankan demokrasi dan kekuasaan semata.

Pilkada harusnya menciptakan harapan baru dalam kepemimpinan di suatu wilayah, lantas apa jadinya jika pelaksanaan Pilkada hanya memunculkan cluster baru penyebaran virus Corona ? Pilkada hanya akan menjadi penyambung nyawa kerusakan dan keseimbangan kepemimpinan demokrasi. Maka tak heran jika banyak oknum yang menganggap Pilkada adalah harga mati untuk tetap dilaksanakan ditengah pandemi.

Islam  Solusi Pasti

Dalam sistem demokrasi terdapat politik transaksional sebab menerapkan konsep ruling party hal ini memungkinkan Penguasa mendapatkan modal besar dari pengusaha untuk berkuasa. Setelah penguasa yang didukung pengusaha sukses menjadi penguasa, maka para cukong mendapatkan konsesi, berupa berbagai proyek dari penguasa. Begitu mekanisme transaksi-transaksi politik yang terjadi antara berbagai kekuatan dalam sistem demokrasi.

Konsep tersebut tidak dikenal dalam Khilafah, meski Khalifah dan beberapa pejabat pentingnya berasal dari partai tertentu, tetapi setelah mereka berkuasa, hubungan antara mereka dengan partai politik pengusungnya sama dengan yang lain.

Partai polik pengusung mereka juga takkan merasa sia-sia, karena tugasnya menjalankan hukum syara’, mengantarkan Khalifah dan beberapa pejabatnya untuk menduduki posisi tertentu agar menerapkan Islam secara kaffah. Tugas partai juga mengoreksi kebijakan Khalifah dan para pejabatnya, jika melakukan penyimpangan hukum syara’.

Sebab satu-satunya yang dapat mengendalikan dan mengontrol negara adalah hukum syariah. Maka dalam Khilafah tidak akan pernah ada simbiosis mutualisme, antara penguasa dan pengusaha, partai politik, serta etnis tertentu.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.