19 Mei 2024

Penulis : Nafsil Mutmainah, S. Hum, Pemerhati Keluarga, alumni Bengkel Istri

Dimensi.id-Pemprov DKI berencana menghapus kebijakan larangan isolasi mandiri di rumah bagi pasien positif Covid-19 dengan gejala ringan (https://www.asumsi.co). Kebijakan ini dianggap lebih efektif untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Selain tingginya kasus covid-19 di Indonesia khususnya di Jakarta, juga karena kluster keluarga dan pemukiman menjadi salah satu penyumbang terbanyak penambahan pasien Covid-19. Tercatat kasus konfirmasi positiv Covid-19  tembus mencapai lebih dari 200.000 jiwa, karena ini pula 59 negara mulai menutup akses dari dan ke Indonesia.

Belum selesai kebijakan ini digodok, banyak pihak beranggapan ini adalah langkah buruk yang ditempuh Pemprov DKI Jakarta. Salah satunya anggota DPRD DKI Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak mengecam kebijakan ini.  Menurut Gilbert kebijakan ini gegabah dan menambah beban tenaga kesehatan (nakes) sebagai garda terdepan melawan covid-19 (https://akurat.co/news/id). 

Pendapat tersebut didasarkan pada fakta di lapangan, lebih dari 100 dokter meninggal ditambah jumlah nakes lainnya yang juga menjadi korban covid-19. Belum lagi, kapasitas fasilitas rumah sakit yang menjadi rujukan covid-19 sudah menipis. Sampai akhir Agustus 2020 saja, 70% tempat tidur isolasi dan ruang ICU di rumah sakit rujukan Covid-19 Jakarta sudah terisi (https://fokus.tempo.co). Kondisi ini sebenarnya justru memperlihatkan kegagalan pemerintah dalam menyiapkan tenaga medis, anggaran dan ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai terlebih di masa pandemi saat ini, bukan berarti kebijakan karantina wabah adalah langkah gegabah.

Jika Pemerintah mengeluarkan kebijakan tegas mencegah penyebaran virus Covid-19 dengan melakukan kebijakan isolasi/karantina wabah sejak awal, tentu polemik pandemi ini akan segera berakhir.  Karantina sebagaimana dijelaskan dalam UU No.6 tahun 2018 adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, alat angkut, atau barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau barang di sekitarnya.

Sementara Isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan. Akan tetapi yang dilakukan pemerintah justru sebaliknya, wisatawan asing masih dibebaskan keluar masuk Indonesia sejak awal ketika Covid-19 sudah mulai menyebar ke berbagai negara dengan dalih meningkatkan nilai devisa dan investasi dalam negeri. Akibatnya justru angka kasus semakin fantastis.

Mencegah keluar masuknya orang dari wilayah yang terkena wabah serta pengawasan ketat dengan kebijakan isolasi wabah (penyakit) dapat meminimalisasi penularan virus secara masif. Isolasi dilakukan terhadap pasien positif Covid-19 disertai perawatan intensif di fasilitas kesehatan yang disediakan secara memadai oleh pemerintah.  Inilah solusi yang dianjurkan di dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW. “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Serta Hadist lainnya “Apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). Islam memberikan rekomendasi karantina pembawa virus bukan lockdown total (blanket lockdown) sehingga aktivitas muamalah sebagian warga yang sehat masih dapat berlangsung secara normal. Hal ini tentu  disertai dengan kontrol dari negara dan tertibnya pelaksanaan perintah yang dilandasi ketakwaan dan keimanan.

Penerapan kebijakan karantina pasien positif Covid-19 di fasilitas kesehatan, tentu harus disertai dengan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana yang memadai oleh negara. Negara menyediakan fasilitas ruang isolasi yang mampu menampung seluruh pasien positif Covid-19 beserta kelengkapan alat medis yang dibutuhkan, kebutuhan pangan yang bergizi, serta jumlah tanaga medis kompeten yang mencukupi.

Terpenuhinya kebutuhan pokok anggota keluarga yang menjadi tanggungan pasien isolasi juga tak boleh luput dari perhatian negara. Untuk memenuhi itu semua negara membutuhkan anggaran yang tidak secuil. Sementara ketika pengelolaan sistem keuangan yang digunakan berbasis ribawi sebagaimana ekonomi kapitalis yang diterapkan dalam sistem demokrasi saat ini tentu akan sangat sulit terwujud. Ekonomi kapitalis terbukti rapuh dan terancam krisis terlebih saat pandemi.  

Dibutuhkan pengelolaan keuangan yang mampu bertahan ditengah keterbatasan transaksi yang terjadi baik antar individu maupun negara,  yang tidak akan memberikan dampak signifikan dalam perekonomian dalam negeri.  Sebagaimana sistem pengelolaan di dalam Baitul Maal yang terbukti mampu membawa kesejahteraan kesejahteraan masyarakat daulah berabad-abad lamanya.

Baitul Maal menjadi tempat untuk menghimpun harta sebagai pemasukan dan pengeluaran negara. Sumber pemasukan anggaran Baitul Maal adalah harta yang diperbolehkan oleh Allah SWT bagi kaum muslim untuk menjadi sumber pendapatan negara. Salah satunya harta kepemilikan umum, meliputi hasil dari pengelolaan sumber daya alam berupa ladang, air dan sumber energi semisal pertambangan dan sebagainya.

Harta kepemilikan umum ini tidak boleh dikuasai oleh negara, negara hanya mengelola untuk diserahkan kembali kepada warga dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok termasuk jaminan kesehatan. Tidak diperbolehkan bagi individu/swasta baik di dalam negeri maupun asing untuk menguasainya. Indonesia dengan potensi sumber daya alamnya yang melimpah tentu jika dikelola secara amanah akan mampu mengcover kebutuhan pengeluaran dalam jumlah yang tidak sedikit pada situasi bencana luar biasa semacam pandemi Covid-19 ini.

Ketika kondisi alam tidak bersahabat (paceklik/terjadi bencana alam) yang memungkinkan negara tidak dapat pemasukan dari kekayaan milik umum, ditambah pandemi yang bisa jadi mengharuskan negara menutup transaksi dengan negara luar, pemenuhan kebutuhan dalam negri dapat diambilkan dari kas negara yang berasal dari kekayaan milik negara, ghanimah, jizyah, maupun pajak yang dibebankan kepada warga. Kebolehan memungut pajak ini hanya untuk menutupi kekurangan anggaran saja, tidak boleh berlansung secara permanen dan menjadi sumber pemasukan utama. Pemungutannya pun tidak akan dibebankan kepada mereka yang faqir tetapi kepada warga yang mempunyai kemampuan saja.

Penerapan sistem Islam adalah suatu kebutuhan keberhasilan apapun kebijakan penganggulan pandemi Covid-19. Jika Pemprov DKI menghapus kebijakan isolasi mandiri bagi pasien positif Covid-19 dengan sistem demokrasi dan ekonomi kapitalistik,  mustahil menyelesaikan persoalan pandemi di negeri ini.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.