25 April 2024
75 / 100

Dimensi.id-Tahun 2024 adalah tahun politik. Pemilu serentak akan dilaksanakan Tanggal 14 Februari tahun ini. Para pasangan Capres dan Cawapres beserta Caleg  mulai melakukan kampanye dan mendekati para pemilih. Janji-janji manis terus dikampanyekan demi meraih suara terbanyak. Ketika ternyata janji-janji manisnya tak terpenuhi, rakyat terpaksa menyabarkan diri dengan kondisi yang ada sambil menunggu pemilu selanjutnya dan bertekad bahwa dia tidak akan memilih pemimpin yang sama untuk kepemimpinan periode selanjutnya. Harapan baru dipatri untuk paslon lain yang dinilai bisa membawa perubahan.

Itulah yang terjadi di Negeri ini, telah melakukan pemilu berkali-kali. Berkali-kali masyarakat di beri janji. Berkali-kali juga mereka harus menelan kenyataan pahit dibohongi. Tapi masih saja masyarakat berharap pada sistem demokrasi. Ritual demokrasi yang digelar lima tahunan ini seolah menjadi harapan dan jalan satu-satunya bagi perubahan. Semua lapisan masyarakat bersuka cita menyambutnya, ada harapan besar untuk kehidupan yang lebih baik bagi bangsa dan rakyat di negeri ini dengan adanya pergantian pemimpin setelah pemilu nanti.

Sosok seorang pemimpin memang menjadi salah satu faktor perubahan kehidupan di masyarakat, tapi bukan satu-satunya. Seorang pemimpin tidak berarti memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur segala sesuatunya sesuai keinginannya atau keinginan rakyatnya. Seorang pemimpin dibatasi oleh tugas dan tanggungjawab serta berbagai aturan-aturan yang mengikatnya. Dengan kata lain, seorang pemimpin terikat dengan sistem aturan yang berlaku sehingga tidak semua hal bisa dilakukan sesuai keinginannya.

Realitas Demokrasi

Berbicara tentang sistem yang berlaku saat ini, disadari atau tidak sesungguhnya kehidupan kita dipengaruhi oleh sistem hidup yang berkiblat pada barat yg mengemban ideologi sekuler kapitalisme. Hal ini terlihat dari bagaimana negara mengurusi rakyatnya dengan seperangkat aturan yang mengabaikan peran agama dan lebih menguntungkan para pemilik modal (Kapitalis).

Realitas demokrasi menunjukkan, kontestasi dalam pemilihan kepemimpinan nyatanya memang tidak lebih dari basa-basi politik. Melalui ajang pemilu, rakyat seakan diberi hak politik untuk memilih orang yang mereka anggap terbaik. Akan tetapi, sistem ini sejatinya tidak memberi pilihan-pilihan, termasuk perubahan. Visi kepemimpinan yang ditawarkan para kandidat bisa dipastikan sangat cair, pragmatis, dan jauh dari visi ideologis.

Tidak heran jika pada awalnya masing-masing bisa tampak saling bersaing, bahkan saling menyerang satu sama lain. Namun, tidak lama kemudian bisa berubah atas nama kepentingan, salah satunya melalui mekanisme koalisi, termasuk koalisi di tengah jalan, saat rangkaian proses pemilu sudah berjalan seperti sekarang. Para jagoan mereka bahkan turut terlibat dalam rezim kekuasaan yang sebelumnya berposisi sebagai lawan. Atas nama koalisi, mereka pun terlibat dalam pengambilan berbagai kebijakan yang nyatanya tetap merugikan rakyat banyak, termasuk merugikan konstituen setia yang sebelumnya membela mereka habis-habisan.

Penerapan sistem hidup yang sekuler kapitalisme inilah yang kemudian melahirkan berbagai persoalan hidup yang kita rasakan saat ini. kehidupan makin sulit dan makin jauh dari ideal. Nyaris di semua bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, hukum, dilingkupi berbagai persoalan yang saling berkelindan. Kezaliman, korupsi, kemiskinan, gap sosial, kriminalitas, dekadensi moral makin merebak tanpa bisa dihentikan. Kasus-kasus kriminalitas pun kian menggila. Kekerasan, bunuh diri, narkoba, judi online, tawuran, seks bebas di kalangan remaja, perselingkuhan, korupsi, perilaku menyimpang, dan sejenisnya tidak berhenti menghiasi pemberitaan media massa.

Kekuatan uang alias kaum oligarki makin mencengkeram kekuasaan. Hingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan para pemegang kekuasaan makin tampak pro kepentingan mereka. Sementara itu, rakyat banyak makin tenggelam dalam penderitaan dan sebagian dari mereka merasa cukup dihibur dengan berbagai paket bantuan sosial. Oleh karena itu, pergantian pemimpin saja tidaklah cukup untuk mengubah negeri ini. Bahkan sebaik apapun seorang pemimpin yang terpilih, dia tetap harus terikat dengan sistem aturan di negeri ini. karenanya, tidak cukup hanya dengan melakukan pergantian person pemimpin, tetapi perlu  ada perubahan sistem tata kelola kehidupan di negeri ini.

Pemimpin Dalam Islam

Sesungguhnya, pergantian kepemimpinan merupakan hal yang biasa dan lazim. Sebagaimana yang terjadi ketika Baginda Rasulullah ﷺ wafat, ia segera digantikan oleh Abu Bakar radhiyallahu anhu. Abu Bakar radhiyallahu anhu wafat, digantikan oleh Umar radhiyallahu anhu. Umar radhiyallahu anhu wafat, digantikan oleh Ustman, dan seterusnya.

Namun ada perbedaan pergantian pemimpin dalam Islam dan sistem hari ini. Perbedaannya adalah bahwa dasar pergantian kepemimpinan dalam Islam hanya diletakkan pada ketaqwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bukan kepentingan pribadi maupun segelintir golongan. Para pemimpin diangkat umat karena mereka dipandang mampu menjalankan syariat yang sangat berat. Dengan syariat itulah, mereka mengurus dan menjaga umat, dan dengan cara itu pula mereka akan mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki dan keberkahan hidup yang dicita-citakan seluruh rakyat.

Hal ini merupakan sesuatu yang pasti. Allah Taala berfirman,

 

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

 

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf: 96).

Syarat Pemimpin Dalam Islam

Pertama: Muslim, karena Al Quran melarang menyerahkan urusan kaum muslimin kepada orang kafir “Allah tidak akan pernah sekali-kali memberi jalan kepada orang kafir untuk (menguasai) orang beriman…” (QS. An Nisa 141).

“Hai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan yahudi maupun nashrani sebagai auwliya…” (QS. Al Maidah 51).

Kedua: Laki-laki, karena dalam HR Imam Bukhari ada celaan untuk memilih pemimpin seorang perempuan dengan kata “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepada seorang perempuan”. Kepemimpinan yang dimaksud adalah dalam wilayah aa’m (kepemimpinan umum).

Ketiga: Baligh, berdasarkan HR Abu Dawud “Diangkat pena (pertanggung jawaban amal/hisab) terhadap tiga golongan : orang tidur sampai terjaga, anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai berakal)

Keempat: Berakal. Tidak sah pemimpin bagi orang yang hilang ingatan baik sewaktu-waktu atau gila permanen. Dasarnya adalah hadis yang sama dengan dalil wajib pemimpin baligh (HR Abu Dawud).

Kelima: Adil. Pemimpin dalam Islam wajib adil, maksudnya adalah tidak fasik, secara pribadi tidak melakukan maksiat sehingga tidak terkategori sebagai orang yang fasik. Dalilnya adalah QS. Al Maidah: 8 “Hai orang-orang beriman hendaklah kalian menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, dan menjadi saksi dengan adil…”. Untuk menjadi saksi disyaratkan harus adil, terlebih lagi sebagai pemimpin yang kelak akan menjadi saksi atas perkara yang paling besar, tentu lebih utama disyaratkan adil.

Keenam: Merdeka. Pemimpin tidak boleh dalam keadaan tersandra, baik secara fisik atau secara mental psikologis, sehingga tidak memiliki kehendak sendiri untuk menjalankan kepemimpinannya.

Ketujuh: Mampu. Dalam aspek ini, selayaknya pemimpin memiliki sifat-sifat sehingga dia layak untuk menjalankan kepemimpinannya. Sifat-sifat tersebut diantaranya memiliki pribadi yang kuat secara pemikiran, paham dan cerdas tentang pelaksanaan kenegaraan dalam dan luar negeri. Senantiasa terikat dengan hukum syara’.

Dengan sifat-sifat seperti ini, maka pemimpin akan terhindar dari rayuan dunia yang bisa menjerumuskannya pada jurang kehancuran, juga sikapnya terhadap rakyat yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.

Sudah saatnya umat membuang harapan pada sistem yang jelas-jelas berulang kali mengecewakan, lalu menapaki jalan perubahan yang hakiki, yakni mewujudkan kembali kehidupan Islam. Terlebih berlama-lama hidup dalam sistem yang jauh dari Islam ini sama dengan melanggengkan kedurhakaan, karena hari ini begitu banyak hukum-hukum Allah yang tidak bisa diterapkan.

Hanya saja, menapaki jalan perubahan hakiki ini harus dimulai dengan sesuatu yang mendasar, yakni membangun kesadaran umat dengan ideologi Islam. Semua ini tentu membutuhkan pengorbanan dan kesabaran karena umat sudah lama hidup dalam kungkungan sistem hidup sekuler. Umat dijauhkan dari kesadaran ideologis yang benar dan tinggi, yakni kesadaran ideologis Islam yang hanya bisa diwujudkan dengan dakwah pemikiran.

Jalan inilah yang baginda Rasulullah saw. contohkan bersama kelompoknya. Beliau berhasil menggagas perubahan hakiki dengan tegaknya peradaban Islam cemerlang. Dimulai dari membangun kesadaran mendasar tentang hakikat diri dan tujuan penciptaan, memahamkan masyarakat tentang hukum-hukum Islam sebagai solusi tuntas masalah kehidupan, hingga berjuang mewujudkan kekuasaan yang akan menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Wallahu a’lam bish shawwab.

Oleh : Hamzinah, S.I.Pust (Pustakawan dan Pemerhari Opini Medsos)

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.