Pejabat Krisis Empati – Sekularisme berhasil menciptakan manusia baru yaitu manusia yang sudah kehilangan sisi kemanusiaan. Setiap aktivitasnya tidak lagi mempertimbangkan perasaan sesama apatah lagi halal dan haram. Tujuan hidup yang mengeliminir peran agama dalam kehidupan, akhirnya lahirlah manusia berhati batu.
Pandemi yang membuat kehidupan serba sulit ternyata tidak membuka mata hati pejabat untuk sekedar berempati akan keadaan rakyat. Rakyat yang terpapar adalah korban keegoisan kebijakan pemerintah yang mencla mencle. Ibarat pemerintah adalah kepala rakyat adalah ekor. Kepala yang menentukan apa yang harus dilakukan, ekor hanya pasrah mengikuti.
Pejabat yang dibayar oleh rakyat untuk melayani semua kebutuhan, harusnya mengevaluasi diri dan memaksimalkan pelayanan terhadap rakyat. Saatnya membuktikan apa yang menjadi janji-janji kampanyenya sebagai wakil rakyat. Melaksanakan apa yang sudah menjadi bagian dari sumpah jabatan.
Namun sayang, bak berharap hujan dimusim kemarau. Jangankan pejabat mau berempati dengan nasib rakyat, uang rakyat justru dikorupsi berjamaah. Muncul di depan publik harusnya memberikan teladan yang baik karena sejatinya mereka adalah pelayan publik. Namun nyatanya pejabat lebih banyak memberikan pernyataan-pernyataan yang blunder.
Baberapa waktu yang lalu, seorang pejabat dengan santainya menceritakan aktivitasnya yaitu menonton sinetron. Sebagai pejabat tinggi yang sedang dituntut keseriusannya berbenah dalam situasi genting seperti saat ini sangat tidak elok melempar statment yang seperti orang yang sedang berlibur. Rakyat yang sekarat tentu akan merasa tidak diperhatikan bahkan memang faktanya tidak menjadi prioritas negara.
Melayani Rakyat Bukan Tujuan Awal Meraih Kekuasaan
Sistem demokrasi yang berbiaya tinggi meniscayakan siapapun yang hendak menjabat berkorban mati-matian. Praktik suap-menyuap, black campaign, serta deal politik dengan pengusaha yang menjadi sponsor merupakan sesuatu yang biasa. Dari sini kita bisa menilai bahwa tujuan awal mereka menjabat memang bukan untuk mengabdi.
Baca juga: Indonesia dalam belenggu kemiskinan sistemik
Sejatinya saat ini kebanyakan orang memandang agama hanya sebatas ritual belaka. Kendatipun ada yang menjalankan ibadah dengan baik tetapi asas berpikirnya sekulerisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga setiap aktivitas selain ibadah dianggap tidak berkonsekwensi pahala dan dosa. Maka sangat wajar jika nilai-nilai kemanusiaan mulai terkikis.
Terlebih lagi bagi pejabat yang terbiasa hidup hedonis. Memanfaatkan masa jabatan untuk memperkaya diri. Masa jabatan adalah masa balas budi pada para sponsor kampanye. Tidak heran jika banyak sekali penyalahgunaan wewenang, dari bagi-bagi kursi hingga korupsi. Sumpah diatas kitab suci hanya menjadi pemanis bibir dan formalitas saat pelantikan.
Maka sulit menemui pejabat yang merakyat, amanah dan punya rasa empati yang tinggi. Karena asas sekulerisme sudah mengakar kuat sejak lahir hingga tidak disadari menjadi prinsip hidup. Ide sekulerisme ini memang sudah diadopsi sebagian besar negara di dunia dari seluruh aspek. Dari aspek pendidikan, pelajaran agama hanya diberi porsi yang sedikit dan sebatas ibadah saja.
Pejabat Ideal Hanya Ada Dalam Islam
Ketika Islam hanya dipandang sebagai agama maka nilai ruhiah yang dirasakan seorang muslim hanya ketika menjalankan ibadah mahdah saja atau ibadah ritual seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Perasaan diawasi atau muraqabah hanya dirasakan ketika seseorang beribadah dan merasa takut ketika melanggar atau tidak menjalankan ibadah. Namun ketika melakukan aktivitas muamalah menganggap bahwa semua perkara menjadi sesuatu yang boleh-boleh saja.
Seorang pejabat menganggap bahwa menjadi muslim yang baik hanya cukup dengan memperbaiki ibadahnya saja. Sedangkan setiap kebijakan yang diambil, serta aktivitas politiknya terlepas dari beban hukum. Sehingga kalaupun ada sebagian pejabat yang terlihat seolah membela rakyat kecil dengan statmentnya, akan tetapi belum tentu kebijakannya semua memihak pada kepentingan rakyat.
Jabatan dalam Islam adalah amanah maka pejabat yang mendapatkan amanah ini menganggap jabatan merupakan musibah. Karena sedikit saja dia tidak adil dalam menjabat maka pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Bahkan Rosullullah Saw. memberikan ancaman bagi mereka yang meminta jabatan bahkan berambisi untuk menduduki sebuah jabatan.
“Sesungguhnya kamu sekalian akan berambisi untuk dapat memegang suatu jabatan tetapi nanti pada hari kiamat jabatan itu menjadi sebuah penyesalan”. (HR. Bukhari)
Dalam shahih Muslim dikisahkan suatu ketika Abu Dzar berkata kepada Nabi; Wahai Rasul hendaklah engkau memberiku jabatan! Rasulullah lalu menepuk punggung Abu Dzar seraya berkata: “Wahai Abu Dzarr sesungguhnya engkau itu lemah dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan jabatan itu pada hari kiamat hanyalah kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya secara benar dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”.
Suatu hal yang mustahil bisa menemui pejabat yang amanah serta pejabat yang dilantik bukan karena meminta jabatan atau berambisi meraih kursi jabatan. Sistem demokrasi meniscayakan sebuah kekuasaan diraih dengan berebut saling sikut. Semakin tinggi sebuah jabatan maka mahar politik semakin besar. Semakin sulit seseorang mendapatkan sebuah kursi kekuasaan maka bisa dipastikan bahwa rakyat bukan lagi prioritas utama.
Wallahu a’lam bishshawaab
Penulis: Merli Ummu Khila | Pemerhati Kebijakan Publik
Editor: Fadli