1 Mei 2024

Dimensi.id-Soal ulet, pemerintah kita patut diberi acungan jempol. Berbagai macam cara ditempuh agar pendapatan negara dari sektor pajak meningkat dan APBN yang defisit segera bisa diatasi. Tak peduli bagaimana rakyat sudah “berkubang” darah karena setiap sen pendapatan mereka diambil untuk pajak, padahal beban hidup sudah berat, sementara pendapatan kian menurun karena harus work from home atau malah sudah kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Bak pepatah, sesulit apapun, pemerintah tetap tak bergeming, akan terus menarik pajak dari rakyat, bahkan jika itu sesulit unta masuk lubang jarum. Mulai April 2022 mendatang, pemerintah bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen. Hal ini seiring dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tahun 2025 tarif PPN akan kembali naik hingga 12 persen, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan tentunya dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sendiri ada penambahan fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP). Artinya, setiap WP OP yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan pemberlakuan NIK menjadi NPWP tidak otomatis menyebabkan pemilik NIK akan dikenai pajak, namun hanya memperkuat reformasi administrasi perpajakan yang sedang berlangsung saja. “Dengan ketentuan baru ini, maka WP OP tidak perlu repot melakukan pendaftaran ke KPP, karena NIK tersebut sudah berfungsi sebagai NPWP,” ucapnya. Faktanya, tak hanya mempermudah administrasi, namun juga mempermudah negara menekan pungutan pajak kepada rakyatnya dan menegaskan bahwa instrumen pendapatan negara masih bersandar pada pungutan pajak. Ini yang tak dijelaskan oleh pemerintah.

Baca juga: Jika Utang adalah Destinasi, Untuk Apa Anggaran?

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan dalam sidang paripurna bahwa kenaikan tarif PPN di Indonesia masih lebih rendah dibanding negara lain secara global. “Secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4 persen dan juga lebih rendah dari Filipina (12 persen), China (13 persen), Arab Saudi (15 persen), Pakistan (17 persen), dan India (18 persen),”. Lantas apakah itu memaksa Indonesia harus menaikkan tarif pajak?

Selain menaikkan tarif, pemerintah juga batal mengenakan PPN untuk beberapa barang/jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya, seperti jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jasa lainnya. Hal ini sejalan dengan usulan seluruh fraksi di DPR RI dan aspirasi masyarakat (Kompas.com,7/10/2021).

Pemerintah juga tidak jadi menerapkan sistem multi tarif PPN. Sistem PPN yang dipakai setelah disahkan UU HPP tetap single tarif. Hal ini dilakukan berdasarkan aspirasi seluruh stakeholder. Sistem multitarif PPN dikhawatirkan akan meningkatkan cost of compliance dan menimbulkan potensi dispute (sengketa). Fraksi yang menyetujui adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PAN, dan PPP. Sedangkan satu fraksi yang menolak adalah PKS.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie OFP dalam Sidang Paripurna mengungkapkan, PKS menolak RUU HPP karena tidak sepakat rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Menurutnya, kenaikan tarif akan kontra produktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional. “Hal ini sekali lagi merupakan bentuk keberpihakan DPR sebagai wakil rakyat dalam terhadap kebutuhan dasar masyarakat banyak,” beber Dolfie (kompas.com,7/10/2021).

Tak bisa dipungkiri, pro dan kontra terkait kebijakan baru pajak ini karena faktanya negara kita minim pendapatan, sementara terkait utang, Kementerian Keuangan melaporkan hingga akhir Agustus 2021, posisi utang pemerintah mencapai Rp 6.625,43 triliun. Ini setara dengan 40,85% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bukan jumlah yang kecil, sudah hampir mendekati ambang batas aman. Tidak masalah jika dibayar dengan uang negara sendiri, namun, uang rakyatlah yang nantinya digunakan, dalam bentuk pajak. Sedangkan penerimaan negara dari sektor lain sangatlah minim, termasuk dari hasil pengelolaan SDA yang haknya saja sudah ada di tangan investor asing, jadi manalah mungkin bisa mendulang dollar atau rupiah sekalipun dari sana.

Maka, terlihatlah akhirnya, Pemerintah terus mencari cara agar tdk ada individu dan obyek harta/kepemilikan yang lepas dari pajak. Kebijakan2 intensifikasi dan ekstensifikasi pajak nyatanya berbanding terbalik dengan kebijakan merevisi pengelolaan harta publik berupa SDA. Mengapa pemerintah mengejar pajak yang makin membebani rakyat hingga ke lubang jarum sementara meloloskan SDA berlimpah dinikmati segelintir orang karena pengelolaan kapitalistik di sisi yang lain?

Tindakan pemerintah ini bukan tanpa landasan hukum, UU Cipta Kerjalah yang makin melegitimasi kezaliman ini. Siapa pun tahu, UU Cipta Kerja sarat dengan kepentingan para pengusaha, baik lokal maupun global. Dengan demikian, kita dapat lihat target “kebijakan” yang ada dalam UU HPP adalah “mengurangi” beban pengusaha sekaligus memuluskan bisnis mereka. Namun, pada saat yang sama justru mengalihkan beban itu kepada individu rakyat dengan berbagai dalihnya.

Semua ini menegaskan watak kapitalistik yang mengiringi pemberlakuan ideologi kapitalisme. Ideologi yang landasannya adalah sekuler, pemisahan agama dari kehidupan. Hukum dibuat oleh manusia, tanpa seayatpun mengikutsertakan halal haram sebagaimana ketentuan Allah SWT. Padahal Allah berfirman dalam QS Al -Maidah 44 yang artinya: “… Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”. Bagaimana janji Allah terkait mereka yang terkatagori kafir meskipun mereka awalnya beriman atau Muslim? Ya, neraka, nauzubillah.

Dalam sistem kapitalis, penguasa dan pengusaha saling bekerja sama untuk menarik sebanyak-banyak keuntungan dari masyarakat. Bahkan mereka berhak merampas hak milik rakyat dengan berbagai cara. Bisa dipahami jika kemudian Indonesia negara dengan julukan Jamruz Katulistiwa, kaya sumber daya hayati dan hewani, namun rakyatnya miskin dan tak sejahtera, ya karena Semua kekayaan itu hanya jadi rebutan pengusaha yang berkolaborasi dengan penguasa.

Sungguh keadaan ini tak akan ditemui di negara Islam, bentuk negara dengan satu kepemimpinan yaitu Khalifah dan seluruh UUnya hanya bersumber dan berlandaskan Alquran dan As -Sunnah. Kesejahteraan adalah hak setiap individu rakyat. Aturan-aturannya datang untuk memastikan hal tersebut tercapai sempurna. Islam pun mengatur soal kepemilikan berlandaskan paradigma halal dan haram. Dengan aturan ini, negara memastikan tiap individu memiliki sumber-sumber kekayaan minimal. Lalu ditopang oleh peran negara yang dipastikan memiliki modal membangun dan mewujudkan kesejahteraan.

Banyak pos pendapatan negara yang bisa digunakan, salah satunya dari kekayaan alam yang secara syar’i ditetapkan sebagai milik umat. Adapun negara mendapat amanah oleh Allah untuk mengelola harta milik umat dalam fungsi utamanya sebagai pengurus dan penjaga umat. Dengan harta itulah negara menjamin sebesar-besar kesejahteraan rakyat melalui mekanisme yang dipastikan memberi rasa keadilan bagi semua.

Faktanya, semua kekayaan milik umat ini dirampok oleh kapitalis rakus, baik lokal maupun asing. Di luar sumber daya alam itu, masih banyak pos penerimaan yang akan mengisi kas baitulmal negara Islam. Antara lain berupa jizyah, ganimah, fai’, kharaj, usyur, rikaz, dan juga zakat. Hanya saja, pemanfaatan zakat ini harus mengikuti aturan khusus yang ditetapkan. Maka, tak ada ceritanya rakyat berdarah-darah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya karena sekaligus menyusui penguasa rakus yang samasekali tak lembut hati kepada rakyatnya. Hal itu berlangsung selama 1300 tahun, bukan waktu yang singkat untuk sebuah kesejahteraan yang menyeluruh dan stabil. Adakah hari ini yang demikian?

Dharibah atau semacam pajak hanya dipungut saat kas negara kosong dan upaya lain sudah ditempuh maksimal oleh negara. Dharibah juga hanya dipungut dari orang kaya dari kaum mukminin. Memungut kepada selain mereka disebut sebagai kezaliman yang ancamannya adalah api neraka. Saatnya kita beralih, cabut sistem batil dan menyengsarakan ini dan beralih kepada syari’at, sebab ini juga bagian dari keimanan kita bahwa hanya Allah-lah yang berhak mengatur kehidupan manusia. Wallahu a’ lam bish showab. [DMS] .

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.