30 April 2024
19 / 100

Dimensi.co.id–Komnas Perempuan mencatat, per 2023, jumlah kasus kekerasan dalam pacaran menempati urutan kedua terbesar setelah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan pada masa pandemi Covid-19, jumlahnya tidak berkurang hanya pindah bentuk (kekerasan), dari offline menjadi online.

 

Anggota Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan ini adalah fenomena yang memrihatinkan. Menurutnya, hubungan pacaran termasuk hubungan yang berisiko bagi perempuan. Apalagi bila hubungan tersebut termasuk yang tidak sehat atau toksik. Hal ini ia sampaikan di acara diskusi daring bertajuk “Kekerasan dalam Pacaran” republika.co.id, 16/4/2024).

 

Solusinya menurut Alimatul ketika perempuan mengalami kekerasan seksual, hingga terjadi kehamilan, maka berdasarkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), apapun relasinya, itu masuk kategori kekerasan seksual, sehingga (pelaku) bisa dilaporkan jika kabur.

 

Dilansir dari liputan6.com, 22 November 2020, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 menyebut 81 persen pemudi telah berpacaran sedang pemuda 84 persen sudah berpacaran. Bahkan, mereka mulai berpacaran rata-rata sejak usia 10 hingga 17 tahun (liputan6.com, 22/11/2020).

 

Sekretaris Umum Korps HMI-Wati (Kohati) Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Mutya Gustina menyebutkan kekerasan seksual tak hanya terjadi dalam kehidupan rumah tangga, dalam hubungan pacaran atau relasi romantis lainnya kekerasan seksual juga banyak terjadi. Bahkan kemajuan teknologi semakin memperparah. Dimana kekerasan seksual bukan lagi fisik namun verbal dan video.

 

Kekerasan dalam pacaran tidak selamanya berbentuk kekerasan seksual. Kekerasan dalam pacaran sendiri didefinisikan sebagai pola atau perilaku di mana salah satu pasangan berusaha mengontrol atau mengatur yang menyebabkan rasa takut atau membuat ketergantungan pasangan di dalam relasi romantis.

 

Dalam sebuah situs hukum dari pemerintah AS, Nasional Institut of Justice (IJP) menjelaskan, remaja lesbian, gay, biseksual, dan transgender berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan dalam pacaran dibandingkan remaja heteroseksual dan cisgender.

 

Maka, perlunya ada beberapa program yang bisa dibuat untuk mengurangi tindak kekerasan itu, di antaranya pertama, Program Kencan Aman yaitu program pencegahan berbasis sekolah untuk siswa sekolah menengah pertama dan atas yang dirancang untuk menghentikan atau mencegah tindakan dan viktimisasi kekerasan dalam pacaran. Tujuan lain dari program ini adalah untuk mengubah norma-norma mengenai kekerasan dalam pacaran dan peran gender serta meningkatkan keterampilan resolusi konflik dalam hubungan pacaran.

 

Kedua, Program Pergeseran Batas (Kurikulum Kelas dan Intervensi Sekolah) untuk siswa sekolah menengah dirancang untuk mengurangi kekerasan teman sebaya dan pacaran serta pelecehan seksual dengan menyoroti konsekuensi dari perilaku ini dan meningkatkan pengawasan lembaga sekolah terhadap area yang tidak aman. Program ini terbukti mengurangi viktimisasi seksual dan viktimisasi serta perbuatan kekerasan (nij.ojp.gov, 1/5/2023).

 

Hanya Teori Tanpa Dasar Kuat Mana Bisa Mencapai Solusi?

 

Angka kekerasan dari hubungan pacaran kian tahun kian meresahkan. Sampai di situ pemerintah masih saja bergeming, bersandar pada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang hingga kini seolah mandul tak mampu menghasilkan solusi.

 

Bahkan cenderung mengikuti arahan dan hasil penelitian asing dengan dimasukkannya bab pacaran ke dalam kurikulum. Intinya bukan pacarannya yang dihilangkan, tapi bagaimana pacaran yang tak bisa ditolak akibat “ cinta tak bisa memilih” bisa berjalan aman dan sehat.

 

Sementara di sisi lain, pernikahan dini (di bawah umur sesuai UU Indonesia) seringkali dijadikan kambing hitam rusaknya psikologis ibu, rusaknya alat reproduksi perempuan dan angka stunting dilarang. Dengan payung hukum UU No 16 tahun 2019 mengatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun, padahal dampak negatifnya sangat luarbiasa.

 

Perzinahan kian marak, pergaulan bebas, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan hingga yang sudah menikah pun enggan memiliki anak dan konsisten childfree. Dunia kian tak beraturan sebab fitrah mencintai dan dicintai yang itu merupakan karunia Allah diabaikan. Diganti dengan hukum manusia yang ujungnya menghilangkan syariat pernikahan dan membebaskan masyarakat berzina.

 

Islam Fix Atur Hidup Manusia Sebagaimana Fitrahnya

 

Cinta adalah anugerah, menjadi bencana jika diartikan sesuai pemahaman sistem kapitalisme. Hubungan antar lawan jenis dianggap penjajakan dan harus saling memberi benefit atau manfaat meskipun faktanya mereka bukan suami istri. Sehingga hukumnya tidak boleh saling memiliki kecuali sudah ada akad ijab kabul pernikahan.

 

Namun inilah faktanya kapitalisme, pacaran dibolehkan dengan harapan mampu membuka peluang bisnis kian lebar, sebab segala hal yang berkaitan dengan pengumbaran syahwat sesaat atas nama pacaran ini sangatlah menjanjikan. Segala pernak-pernik melambangkan cinta ( fun, food, fashion), momen spesial yang dimonetisasi, dibuat sesakral mungkin seolah inilah pembuktian cinta sejati, hingga penjualan alat kontrasepsi bebas tanpa pengawasan. Ujung-ujungnya tetaplah eksploitasi jati diri sebagai pribadi muslim yang terjebak ke dalam budaya barat.

 

Dalam pandangan Islam, pacaran jelas haram, tidak ada jalan menuju kesana sekalipun mendatangkan banyak keuntungan materi. Hal ini tegas difirmankan Allah swt. Yang artinya,”Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk” (TQS al-Isra:32).

 

Maka, syariat ini mengikat pada setiap individu muslim dan negaralah pihak yang menjamin terlaksananya syariat ini tanpa tapi dan tanpa nanti. Semakin ditunda maka semakin besar dampak negatifnya, yaitu azab Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,”Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani).

 

Maka, hal yang akan dilakukan oleh negara adalah memastikan setiap individu berada dalam pergaulan yang sesuai syariat, tidak Ikhtilat atau kholwat. Memastikan setiap individu rakyat menutup aurat dengan sempurna. Memastikan tempat-tempat hiburan tidak mengizinkan agenda yang melanggar syariat, dengan misalnya mengadakan konser musik dan lainnya.

 

Negara akan mengadakan pengawasan terhadap media sosial, terutama pemberian sanksi dan hukum terhadap situs-situs yang menyebarkan pornoaksi dan pornografi. Dan terutama menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat terkait sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan yang meminimalisir terjadinya kasus mencari nafkah dengan hanya modal syahwat atau hubungan terlarang.

 

Negara juga akan tegas memberi sanksi hukum bagi pelaku zina dan mereka yang memfasilitasi perzinahan. Semua ini hanya butuh satu syarat, cabut kapitalisme dan terapkan syariat Kaffah. Wallahualam bissawab. [DMS].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.