2 Mei 2024
9 / 100

Dimensi.id–Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan berdasarkan hasil Asesmen Nasional pada 2022, terdapat 36,31 persen atau satu dari tiga peserta didik (siswa) di Indonesia berpotensi mengalami bullying atau perundungan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami (republika.co.id, 20/10/2023).

 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas siswa yang mengalami perundungan, atau yang sering disebut sebagai bullying, di Indonesia adalah laki-laki. Persentase kasus bullying di kategori siswa kelas 5 SD pada siswa laki-laki mencapai 31,6 persen, sementara siswa perempuan mencapai 21,64 persen dan secara nasional sebesar 26,8 persen (republika.co.id, 21/10/2023).

 

Sedangkan menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini menyatakan, data tepat berapa korban bullying ibarat Fenomen gunung es, sebenarnya lebih banyak kasus yang tidak terekspos atau tidak teradukan , “Terlihatnya sedikit dan hanya ada di sekitar Pulau Jawa, tapi kalau kita melihat fenomena itu juga jauh banyak, mungkin juga terjadi di daerah-daerah luar pulau. Di daerah-daerah 3T bahkan, dan alat kontrol kita, alat pengawasan kita pun juga terbatas,” jelas Diyah.

 

Pemicu bullying beragam, yang paling sering adalah validasi diri yang salah dan tak terarah justru menjebak anak-anak di lingkup pendidikan tak segan-segan melakukan kekerasan. Munculah fenomena geng sangat sulit dihindarkan di sekolah. Para siswa cenderung berkelompok dalam menyalurkan hobi dan kesamaan. Kemudian ada faktor senioritas dari kakak kelas yang mengajak adik kelasnya masuk ke sebuah geng atau bahkan menginisiasi kelompok baru. Perkumpulan dalam kelompok atau geng ini menjadi masalah ketika akhirnya, menjelma menjadi sarana kekerasan atau perilaku negatif lainnya.

 

KPAI telah banyak menemukan kasus perundungan yang terjadi di sekolah dengan berbagai jenjang, seperti di Jakarta, Cilacap, Demak, Blora, Gresik, Lamongan, dan Balikpapan. Data pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI hingga Agustus 2023 mencapai 2.355 kasus. Anak sebagai korban perundungan (87 kasus), anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan (27 kasus), anak korban kebijakan pendidikan (24 kasus), anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis (236 kasus), anak korban kekerasan seksual (487 kasus), serta masih banyak kasus lainnya yang tidak teradukan ke KPAI.

 

Upaya Yang Dilakukan Lebih Ke Arah Lips Servis

 

Mengungkap dan membenahi akar kekerasan yang terjadi pada anak, menjadi penting diupayakan oleh segala pihak. Pasalnya, kasus kekerasan pada anak di sekolah saat ini, masih terjadi di semua jenjang pendidikan. Beberapa upaya pun telah dilakukan, di antaranya Puspeka, di tahun 2021 telah bekerja sama dengan UNICEF Indonesia untuk melaksanakan bimbingan teknik (bimtek) Roots pada 10.708 satuan pendidikan, melatih 20.101 fasilitator guru, dan membentuk 51.370 siswa agen perubahan. Adapun target di tahun 2023, akan dilaksanakan bimtek Roots secara luring dan daring pada 2.750 satuan pendidikan jenjang SMP, SMA, dan SMK, serta melakukan refreshment pada 180 orang fasilitator nasional.

 

Program Roots menjadi sebuah program pencegahan kekerasan, khususnya perundungan sehingga selama dua tahun pelaksanaannya, program ini telah mendorong 34,14 persen satuan pendidikan membentuk tim pencegahan kekerasan.

 

Kemudian Assoc. Prof. Dr. Susanto, Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk periode 2017-2022 yang merasa terpanggil dengan maraknya bullying ini dan sebagai wujud keterpanggilan sebagai warga negara, Prof Susanto telah meluncurkan Gerakan Pelopor Anti Bullying melalui Olimpiade Anti Bullying tingkat nasional bagi pelajar tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. “Untuk mengatasi masalah serius ini, perlu ada peran lebih dari sekadar guru dan orang tua. Kepemimpinan pelajar dalam upaya mengatasi kasus bullying di sekolah dan madrasah sangat penting untuk meminimalkan bahkan menghentikan kejadian bullying,” katanya.

 

Ia menjelaskan, untuk menjadi pelopor antibullying, peserta harus mengikuti langkah-langkah tertentu melalui sistem Sang Juara. Berupa web, dimana peserta harus mendaftar ke web Sang Juara, kemudian menjawab soal kompetisi online, hasil ujian diberi peringkat. Peserta yang berhasil meraih Medali Emas akan mendapatkan Bimbingan Teknis Gratis Tingkat Nasional terkait Strategi Pencegahan Bullying yang efektif di Sekolah/Madrasah/Pesantren, disampaikan oleh narasumber terpilih dan tokoh nasional. “Selain itu, peserta terbaik akan memperoleh beasiswa pendidikan dari Yayasan Pusat Sang Juara,” kata Susanto.

 

Dan bagaimana upaya pemerintah menghilangkan bullying ini? Tak ada, kecuali aturan-aturan tanpa kekuatan hukum dan keadilan, sehingga lebih terlihat pihak-pihak di luar negaralah yang konsentrasi memberi solusi. Padahal solusi yang diberikan pun hanya lips servis, samasekali tidak menyentuh akar persoalan. Dan bagaimana pula bisa berharap kekerasan demi kekerasan terus berlangsung pada generasi bisa membawa kepada cita-cita pendidikan bangsa yaitu manusia yang bertakwa dan cerdas? Bagaimana pula nasib bangsa ini di tangan mereka yang mudah naik darah dan tak segan menghilangkan nyawa teman sepermainan sejak usia belia?

 

Bullying masih marak, butuh solusi komprehensif

 

Bullying masih saja terus terjadi, padahal sudah ada banyak aturan yang ditetapkan negara. Begitu pun lembaga-lembaga di luar pemerintah juga getol mengupayakan penyelesaiannya. Namun tak menyentuh akar persoalan bahkan penyebabnya yang sangat kompleks pun tak terurai bagaimana bisa benar-benar tertangani?

 

Penyelesaian bullying juga tak cukup dengan adanya Gerakan Pelopor anti Bullying atau Program Roots guna pencegahan kekerasan melainkan membutuhkan peran serta semua pihak dan juga solusi komprehensif. Dan solusi itu tak akan bisa diterapkan selama negeri ini masih menerapkan sistem demokrasi sekuler. Demokrasi hanya menempatkan pemimpin tak beda dengan robot, hanya melanjutkan kebijakan pemimpin sebelumnya.

 

Sementara pemimpin sebelumnya pun tak beda, kembali menggunakan hukum sekuler, pemisahan agama dari kehidupan. Padahal, jika manusia diberi kebebasan untuk membuat hukum sendiri yang ada adalah kebebasan tanpa batas, sesuai dengan keinginan dan pemahaman manusia itu sendiri. Dan jelas, standar sekuler bukan agama, sehingga tak mungkin berharap mereka mau berhukum kecuali hukum itu menguntungkan mereka.

 

Hanya Khilafah yang mampu memberikan solusi komprehensif untuk memberantas bullying secara tuntas. Sebab standarnya bukan sekulerisasi tapi syariat Allah. Halal dan haram. Maka, dalam sistem Islam ini ada tiga pilar yang akan ditegakkan, pertama, individu rakyat yang bertakwa, tentu ini akan diproses melalui institusi keluarga dan pendidikan yang kurikulumnya di susun berdasarkan akidah. Sehingga setiap pribadi mengedepankan keimanannya dalam setiap perilakunya. Dia akan paham bahwa menyakiti sesama adalah haram, dan kelak di akhirat akan mendapat balasan.

 

Kedua adalah pilar masyarakat, kepekaan masyarakat akan tinggi sebab terus diasah melalui perintah syariat yaitu amar makruf nahi mungkar. Jika aktifitas nasehat menasehati ini berjalan, otomatis akan meminimalisir tindak kejahatan dan kekejian. Pilar ketiga adalah negara yang menerapkan syariat, pelaku bullying di negeri ini masih bisa bebas karena memang tidak ada hukum yang adil dan tegas yang mampu mengadili mereka secara adil. Dalam Islam ada yang disebut qishas atau bolehnya meminta ganti nyawa dengan nyawa, hidung dengan hidung , mata dengan mata, gigi dengan gigi dan selanjutnya.

 

Keputusan itu diberikan oleh Qadhi (hakim) tanpa melihat strata pelaku, cukup dengan pembuktian dan benar pelakunya sudah baligh, dimana kini seringnya mengalami kerancuan, usia baligh masih disebut di bawah umur, sebab usia dewasa adalah di atas 18 tahun. Tentulah tidak menciptakan keadilan. Qishas bisa dibatalkan jika keluarga korban rida, sebagai gantinya adalah membayar kafarat atau denda, sesuai dengan tingkat kejahatannya.

 

Dengan ini, maka bagi orang beriman, hukum mana yang lebih baik? Sebagaimana firman Allah swt.,yang artinya, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS al-Maidah: 50). Wallahualam bissawab. [DMS].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.