6 Mei 2024
66 / 100

Dimensi.id-Ketua Perkumpulan Kader Bangsa, Dimas Oky Nugroho menilai, pertarungan sejati dalam konteks perpolitikan nasional dan berbagai kekuatan politik justru terjadi pasca-pilpres 2024 dan bukan saat pilpres berlangsung. Menurut dia, kalau dalam pilpres, murni pertarungan antarpaslon, partai pengusung, dan para pendukung.

 

Sedangkan pasca pilpres berbagai kekuatan baik kekuatan politik dan kekuatan ekonomi memberikan atensi yang luar biasa untuk bisa memastikan siapa dan bagaimana keputusan MK. Karena itu nantinya menentukan bagaimana nasib perpolitikan Indonesia, kepemimpinan nasional, dan kebijakan strategisnya ke depan kata Dimas (republika.co.id, 23/4/2024).

 

Hasil putusan yang diambil oleh MK terhadap sengketa pilpres akan memunculkan peluang, harapan, maupun kesempatan baru. Dia menilai, negara secara politik butuh yang namanya ekuilibrium baru di tengah berbagai tekanan atau kesempatan baik tingkatan lokal, regional, maupun global.

 

Ekuilibrium atau keseimbangan itu biasanya dilalui setelah melalui proses dan dinamika yang tajam bahkan konfliktual. Ekuilibrium baru itu sifatnya konsensual, semua pihak akan bertemu dalam satu kesadaran dan kepentingan bersama, yakni kepentingan nasional.

 

Indonesia sebagai negara majemuk tak mungkin dilepaskan dari bingkai dan kelembagaan politik yang demokratis. Hal itu sebagai sebuah mekanisme otentik dalam mengelola hidup bersama secara produktif. “Negara dan pemerintah yang sehat membutuhkan suara-suara alternatif dan kritis untuk muncul. Itu semua justru dibutuhkan untuk check and balance demi jalannya sebuah negara dan pemerintahan yang baik dan benar, yang sungguh-sungguh berpihak pada kesejahteraan dan kemuliaan negara-bangsa serta seluruh rakyat tanpa terkecuali,” ucap Dimas.

 

“Indonesia butuh semangat dan kesegaran baru yang positif dan rekonsilitatif untuk menyambut dan memulai era politik baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran,” ucap Dimas.

 

Ekublirium Mana Yang Dimaksud?

 

Jika yang dimaknai ekublirium adalah keseimbangan politik, dimana pimpinan baru hasil pemilu akan benar-benar membawa semangat dan kesegaran baru rasanya terlalu awal untuk diucapkan. Dalam alam kapitalisme, perubahan macam apa yang bisa diharapkan? Sedangkan hasil dan proses pemilu saja tak masih dipersengketakan kog sudah bicara keseimbangan.

 

Jelas hanya buang energi, sepanjang masih dalam lingkup Kapitalisme yang melahirkan sistem politik demokrasi maka tak akan ada perubahan yang signifikan bahkan menyeluruh. Hal ini karena landasan sistem kapitalisme ataupun demokrasi adalah sekuler, pemisahan agama dari kehidupan. Lahirlah pilar demokrasi dimana rakyat dijadikan berdaulat atau memiliki kewenangan membuat aturan.

 

Yang ada dalam pandangan kapitalisme hanyalah manfaat, jika bisa memperoleh seluruh pemenuhan kebutuhan jasadiyahnya maka itulah kebahagiaan atau sejahtera, tak peduli apakah cara memperoleh akses itu halal atau haram. Bahkan jika diperlukan campur tangan dalam mengatur kebijakan sebuah negara maka akan dilakukan.

 

Inilah yang terjadi dalam setiap proses pemilu. Kecurangan secara transparan diperlihatkan, money politik hingga serangan fajar jadi andalan. Biaya mahal memunculkan celah pendanaan dari pihak pengusaha dengan imbalan. Apalagi jika bukan eksploitasi kekayaan negeri berikut SDMnya.

 

Hari ini ibarat kendaraan sistem kapitalisme sejatinya sudah tua dan tak laik jalan, maka berapa kali pun berganti sopir yang ada di tengah jalan akan mengalami kerusakan hingga berakhir mogok. Dan faktanya memang belum ada yang sukses luarbiasa setelah pemilu dan terpilih pemimpin yang baru.

 

Perubahan Hakiki Hanya Ada Pada Islam

 

Era politik baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran akan sama dengan era kepemimpinan yang sebelumnya. Lebih tepatnya hanya berganti pemegang tongkat estafet sementara garis finish masih jauh dan kabur.

 

Banyak masyarakat bahkan dari kalangan kaum muslim sendiri yang terjebak pada demokrasi, bahkan dengan nada putus asa mengatakan akan membawa perubahan dari dalam parlemen. Nyatanya tak semudah itu, meski kemudian banyak yang mengatakan ini karena banyak muslim yang golput sehingga perolehan suara tidak maksimal, tapi bagaimana dengan partai Islam yang kemudian koalisi dengan partai nasional yang bahkan dasar pembuatan partainya bukan Islam?

 

Jelas mereka akan berjalan sesuai dengan proyeksi mereka dan aktifis partai muslim terpaksa membebek dan menelan ludah sendiri ketika samasekali tak diberi kesempatan mengubah demokrasi dari dalam. Yang ada mereka sudah terbawa arus.

 

Islam adalah agama yang sempurna, tak hanya mengatur akidah pemeluknya tapi juga memberikan solusi terbaik bagi setiap manusia apapun agamanya yaitu syariat. Sayangnya, saking mundurnya pemikiran kaum muslim dan jauhnya gambaran bagaimana ketika Islam memimpin menjadikan mereka banyak meragukan agamanya sendiri.

 

Akibatnya begitu percaya bahwa demokrasi bakal membawa pada perubahan, sekali-kali tidak. Bahkan demokrasi dan kapitalisme tak bisa disatukan dengan Islam bagaimana pun caranya. Secara landasannya saja sudah berbeda bagaimana dengan yang lainnya.

 

Maka, sudah selayaknya kaum muslim mulai mempelajari Islam dari akar hingga daun, artinya harus mulai memahami bahwa Islam adalah agama yang dinamis, mengikuti perkembangan zaman dan pasti sesuai fitrah manusia.

 

Demikian juga akan menemukan keseimbangan tiada batas di semua aspek kehidupan manusia, mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika dia menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian” (TQS al-Anfal [8] : 24). Wallahualam bissawab. [DMS]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.