4 Mei 2024
12 / 100

 

 

Oleh Suryani

Pegiat Literasi

 

 

Kasih ibu kepada beta

Tak terhingga sepanjang masa

Hanya memberi tak harap kembali

Bagai sang surya menyinari dunia

 

Bait syair lagu ini menggambarkan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Sosok yang rela berkorban demi kebahagiaan sang buah hati. Namun apa yang terjadi bila ia justru tega menjualnya?

Itulah kenyataan yang baru-baru ini terjadi. Polres Metro Jakarta Barat mengungkap kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) korbannya adalah bayi yang baru dilahirkan, peristiwa tersebut terjadi di daerah Tambora. Mirisnya pelaku adalah ibu kandung sang bayi yang berinisial T (35). Ia menjual anaknya ke EM (30) yang berperan sebagai mediator, mereka berkenalan di grup aplikasi sosmed. Ini bukanlah pertama kali bagi pelaku, ia mengaku telah bertransaksi sebanyak empat kali, tiga diantaranya di Karawang dan satu di Surabaya. Sebelumnya polisi telah menggrebek penampungan bayi yang ada di Bandung, serta mengamankan dua orang tersangka dari Kerawang. (BeritaSatu com, sabtu 24/2/2024).

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi, atau yang akrab disapa Kak Seto, di laman Republika, co.Id menyatakan bahwa perdagangan bayi bak fenomena gunung es, sangat mungkin banyak kasus serupa yang tidak terungkap. Oleh karenanya ia menekankan adanya kerja sama dari mulai level tetangga untuk perduli dengan anak yang ada di wilayahnya.

Dalam keterangannya, pelaku EM mengaku bahwa sasarannya adalah ibu-ibu hamil dari keluarga yang tidak mampu. Ia merayunya agar mau menjual bayinya. Salah satunya adalah T, hingga ia tega menyerahkan anaknya dengan imbalan Rp4.000.000. Padahal uang tersebut tidak seberapa bila dibanding dengan pengorbanannya ketika hamil dan melahirkan.

Sungguh sebuah fakta yang sangat miris dan menyesakkan dada, mendapati seorang ibu yang seharusnya menyayangi dan merawat buah hatinya, justru tega menjualnya dengan alasan ekonomi. Ia menganggap bahwa kehadiran seorang anak hanya menambah beban hidupnya. Begitu pun dengan si penadah yang notabene juga seorang perempuan, ia telah berlaku amoral karena menjadikan bayi sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Entah apa yang ada dalam benaknya hinga berlaku setega itu. Apakah tidak ada sumber nafkah lain yang bisa ia lakukan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya? Fitrah keibuannya demikian mudah tercerabut.

Inilah buah pahit penerapan sistem kapitalisme sekular. Tekanan hidup yang demikian hebat telah membutakan hati dan pikiran seorang ibu maupun penadah yang juga perempuan. Berpikir bagaimana terbebas dari beban anak, di samping mendapatkan sejumlah uang. Untuk alasan apapun sebenarnya penjualan bayi tidak bisa dibenarkan. Namun karena tipisnya keimanan dan sempitnya lapangan kerja bisa mengakibatkan gelap mata dan berbuat nekat, lupa akan akhirat.

Sekularisme yang meminggirkan agama dari pengaturan kehidupan, menjadikan perbuatan manusia tidak lagi didasarkan pada halal haram, tetapi didasarkan pada untung rugi. Bila menguntungkan akan dijalankan tak peduli agama mengharamkannya, sebaliknya bila merugikan tidak akan dilakukan. Hal ini bisa kita perhatikan bukan hanya dalam kasus penjualan bayi saja, tapi hampir dalam seluruh transaksi. Jual beli miras, pelacuran, riba, mengurangi timbangan, suap menyuap, jual beli jabatan, dan masih banyak lagi. Semuanya standarnya adalah untung rugi. Maka wajar walaupun negeri mayoritas muslim tapi transaksi haram begitu mendominasi.

Kapitalisme sekular hanya melahirkan individu masyarakat yang rapuh, karena keimanan tidak dijadikan pondasi dalam perbuatan. Lebih buruknya lagi pengayoman penguasa kepada rakyat sangatlah minim, karena lebih mengutamakan kepentingan para pengusaha dan pemilik modal. Membuat rakyat harus berjuang sendiri dalam memenuhi kebutuhannya. Lapangan kerja begitu sempit, di samping harus bersaing dengan tenaga kerja asing. Kebutuhan hidup makin berat, pungutan pajak jauh dari kata bijak, mungkinkah hal ini akan membentuk pikiran masyarakat sehat? Inilah derita hidup dalam naungan kapitalisme, sangat jauh berbeda dengan pandangan Islam dalam menangani hal ini.

Islam memandang anak sebagai karunia dan nikmat yang Allah berikan untuk manusia. Keberadaannya akan menjadi pengikat rumah tangga dan menjadi qurrataa’yun (penyejuk hati) bagi orang tuanya. Keberadaannya adalah titipan yang harus dijaga dengan baik karena kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Menyia-nyiakan, terlebih menghilangkan nyawanya adalah perbuatan dosa, bahkan dengan alasan takut miskin, sebagaimana firman-Nya: “……….janganlah membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka,…..” (TQS. al-An’am ayat 151)

Rasulullah saw. menyeru kaum laki-laki untuk menikahi perempuan-perempuan yang pencinta dan subur, karena beliau akan bangga dengan jumlah umatnya yang banyak. Mereka akan menjadi anak-anak salih yang senantiasa mendoakan orang tuanya ketika mereka telah wafat, menjadi amal jariah yang akan terus mengalir.

Terkait masalah ini, syariat memiliki solusi hakiki yang bisa dilakukan, seperti;

Pertama, pelurusan jalur nafkah dan cara halal mendapatkan harta. Kedua, faktor ketakwaan individu yang ditunjang sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Ketiga, sanksi tegas berlandasan hukum Islam.
Seorang wanita jalur penafkahannya ketika belum menikah menjadi tanggung jawab ayahnya, setelah itu beralih kepada suami, pun jika ditakdirkan menjadi janda maka dikembalikan kepada ayahnya (bila masih hidup), saudara, atau anak laki-laki. Apabila jalur ketiganya tidak ada maka nafkah ditanggung negara melalui baitul mal.

Negara berkewajiban memastikan semua laki-laki bisa menafkahi keluarganya lewat lapangan pekerjaan yang tersedia. Serta menerapkan standar halal haram bagi rakyat dalam mengembangkan hartanya berdasarkan syariat.

Negara pun akan mengelola sumber daya alam sesuai ketentuan syariat, juga dari sumber lainnya, sehingga negara memiliki kemampuan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya. Bagi penanggung nafkah yang sakit atau cacat sehingga tidak mampu bekerja, maka nafkah tidak akan dibebankan kepada para perempuan karena Islam tidak mewajibkan nafkah di pundak perempuan. Kewajiban itu ada pada negara untuk memenuhi kebutuhannya.
Bila seluruh mekanisme di atas sudah dijalankan, dan kemungkinan terjadi pelanggaran syariat semisal menjual bayi, maka negara akan memberlakukan sanksi yang tegas berdasarkan hukum Islam.

Penerapan Islam kafah menjadi solusi hakiki, terciptanya kesejahteraan yang akan dirasakan umat manusia. Fitrah seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya pun tidak akan tercerabut sebagaimana dalam sistem kapitalisme sekular. Wallahu alam bi sawwab. [DMS]

Editor: Reni Rosmawati 

 

1 thought on “Marak Kasus Penjualan Bayi, Butuh Solusi Hakiki

  1. Semoga Islam segera dapat diterapkan, hingga tidak terjadi lg kasus penjualan bayi..sediiiih..

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.