3 Mei 2024
11 / 100

 

Oleh Reni Rosmawati

Ibu Rumah Tangga 

 

 

Perhelatan akbar Pemilu 2024, kembali menuai berbagai fenomena miris. Caleg (calon anggota legislatif) yang gagal terpilih dan tim suksesnya (timses) mengalami kekecewaan berat. Tak ayal, tidak sedikit dari mereka yang menderita stress bahkan bunuh diri, hingga ada yang menarik kembali pemberiannya pada masyarakat sewaktu kampanye. Seperti salah satunya yang dilakukan caleg di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Jawa Timur, yang menarik kembali paving blok yang telah ia sumbangkan. (Kompas.com, 19/2/2024)

 

Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Lantaran kecewa tidak mendapatkan dukungan suara, salah satu Caleg DPRD Subang melakukan pembongkaran terhadap jalan yang telah ia bangun. Bukan itu saja, caleg tersebut pun meneror warga dengan petasan yang mengakibatkan seorang warga meninggal dunia akibat serangan jantung. (News.okezone.com, 25/2/2024)

 

Sementara itu, seorang tim sukses caleg berinisial WG (56),warga Desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di pohon rambutan miliknya pada Kamis (15/2/2024). Berdasarkan keterangan Polres Pelalawan, WG melakukan hal tersebut karena depresi caleg yang diusungnya kalah. (Media Indonesia, 19/2/2024)

 

Fenomena Berulang

 

Setiap lima tahun sekali, panggung politik di tanah air memang tidak pernah sepi dari hingar-bingar dinamika yang menyertainya. Setiap musim pesta demokrasi, caleg gagal tak lepas dari berbagai aksi fenomenal.

 

Jika kita flashback ke belakang, tepatnya pada Pemilu 2019, maka akan kita dapati betapa hal serupa juga terjadi persis seperti hari ini. Dilansir oleh suara.com (13/2/2019), sejumlah caleg yang gagal naik ke kursi anggota dewan mengalami depresi hingga melakukan provokasi kepada masyarakat, bahkan ada yang mencuri kotak suara, juga sampai gantung diri. 

 

Dari fakta ini kita bisa melihat betapa lemahnya kondisi mental para caleg dan tim suksesnya. Mereka hanya siap menang dan tidak siap kalah. Sehingga ketika kalah mudah stress, depresi, hingga bunuh diri. Astaghfirullah.

 

Hal ini juga membuktikan betapa hari ini jabatan menjadi sesuatu yang amat diharapkan, mengingat dari jabatanlah berbagai fasilitas, keuntungan, dan pundi-pundi materi bisa didapatkan. Sehingga apapun dilakukan demi meraihnya termasuk membeli suara rakyat menggunakan modal besar, dengan pamrih ingin mendapatkan suaranya. Alhasil ketika sesuatu yang diinginkannya tersebut tidak tercapai, maka stress dan depresi melanda. Apa yang diberikan, ada yang diambil kembali, bahkan rakyat pun diteror hingga jadi korban. Naudzubillahi min dzalik.

 

Potret Politik dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme 

 

Inilah potret politik dalam sistem demokrasi kapitalisme. Penerapan sistem demokrasi kapitalisme telah membuat politik demikian kotor dan keji. Politik dan kekuasaan dipandang suatu jalan instan dalam meraup keuntungan materi bersifat duniawi. Tak sedikit manusia yang akhirnya berebut mendapatkannya. Apapun dilakukan termasuk dengan cara membeli suara rakyat. Hal ini karena legalitas kekuasaan dalam politik demokrasi kapitalisme hanya dilihat dari suara mayoritas. Bukan dilihat dari seberapa layak orang tersebut mampu memimpin dan berkuasa. 

 

Dalam sistem demokrasi kapitalisme, money politics (politik uang) memang suatu keniscayaan untuk meraih kekuasaan. Meski katanya hal tersebut mencederai demokrasi itu sendiri, namun nyatanya itu semua sampai hari ini masih terus terjadi dan sulit dibasmi. 

 

Di sisi lain, hal tersebut juga diperparah dengan rendahnya kesadaran politik di tengah masyarakat. Mereka tidak sadar suaranya dibeli oleh para calon wakilnya. Akibatnya yang terpilih sebagai wakil rakyat pun hanya orang-orang yang dikenal dan memberikan money politics saja. Tidak dipikirkan kebijakan apa yang akan dibuat oleh wakil rakyat tersebut, apakah menguntungkan ataukah merugikan rakyat. Alhasil, ketika lahir berbagai kebijakan menyengsarakan, rakyat hanya bisa meratap dan menjerit menerima penderitaan. 

 

Politik dalam Sistem Islam 

 

Dalam pandangan Islam politik demikian dipandang luhur. Politik bukanlah hal kotor. Politik juga tidak identik dengan rebutan kedudukan dan kekuasaan. Politik dalam Islam adalah siyasah yang diambil dari Bahasa Arab ‘sasa-yasusu-siyasatan’ yang berarti memelihara, mengatur, atau mengurusi. Menurut Imam al-Bujairimi; ‘politik adalah memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara membimbingnya agar taat pada pemerintahan’.

 

Karena itu dalam pandangan Islam politik sangat diprioritaskan. Politik dan Islam ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Imam al-Ghazali mengatakan, “Agama dan kekuasaan (pemerintahan) tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi, sementara pemerintahan adalah penjaga. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap”.

 

Sementara menurut Imam Fahrudin ar-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghayb bab 3 halaman 424 dijelaskan bahwa ‘berkat agama Islam yang bersanding dengan kekuasaan, Allah Swt. menghilangkan berbagai keburukan dunia dari manusia’.

 

Adanya politik dalam Islam semata-mata untuk mengayomi, mengurus, memelihara, dan menyejahterakan rakyat. Sementara kekuasaan dipandang sebagai amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kelak di akhirat. 

 

Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Abu Dzar, engkau adalah orang yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah dan akan menjadi penyesalan juga kehinaan di akhirat kelak. Kecuali bagi mereka yang menjalankannya dengan benar.” (HR. Muslim)

 

Tujuan politik dan kekuasaan dalam Islam hanya untuk menerapkan syariat Islam. Bukan untuk memperkaya diri dan golongan. Karena itu cara meraihnya pun harus ditempuh sesuai dengan hukum syarak. 

 

Adapun pemilu dalam Islam adalah uslub untuk mencari pemimpin/wakil majelis ummah. Namun tentunya pemilu dalam Islam memiliki mekanisme sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji.  Para calon pun wajib memiliki kepribadian Islam dan hanya mengharap keridaan Allah semata. 

 

Dalam kitab Ajhizah ad-Daulah dijelaskan bahwa metode baku untuk mengangkat seorang kepala negara Islam (khalifah) adalah baiat. Tanpa baiat, kekuasaan seorang khalifah (penguasa tertinggi dalam Islam), tidak sah. Sementara pemilu (intikhabat) hanyalah uslub (cara) saja untuk memilih calon khalifah.

 

Sedangkan batas kekosongan kepemimpinan dalam Islam hanya boleh 3 hari saja. Karena itu selama 3 hari majelis umat dan mahkamah mazalim akan bekerja siang malam untuk menyeleksi calon khalifah. Setelah terseleksi, maka rakyat boleh melakukan pemilu untuk memilih khalifah. Mekanisme ini pernah dijalankan ketika pemilihan khalifah sepeninggal Khalifah Umar bin Khattab, yang mana kala itu calonnya ada dua orang yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

 

Demikianlah sedikit pemaparan tentang makna politik dalam pandangan Islam. Sungguh hanya sistem Islamlah yang mampu menciptakan politik bersih dan tentunya akan menciptakan kebaikan juga rahmat bagi kita semua. Semoga penjelasan ini bisa membuka pikiran kita semua betapa kita amat sangat membutuhkan diterapkannya kembali sistem Islam. Karena hanya sistem Islamlah solusi tuntas bagi seluruh masalah kehidupan kita, tak terkecuali bagi dunia perpolitikan yang saat ini sudah demikian rusak parah. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. [DMS]

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.