2 Mei 2024
Lulusan Perguruan Tinggi Jadi Koruptor, Kok Bisa?
61 / 100

Dimensi.id-Praktek korupsi di negeri ini seolah telah mewabah dan sulit diberantas. Siapa pun bisa menjadi pelakunya. Mirisnya, baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengungkapkan bahwa 84% koruptor yang ditangkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) merupakan lulusan perguruan tinggi. Dari 1300 koruptor yang sudah diadili, 900 di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi. (Kompas.com, 17/12/2023)

 

Pernyataan Menkopolhukam, Mahfud MD tersebut dibenarkan oleh Prof. Dr. Mohammad Nasih, S.E. M. T., Ak., CA Rektor Universitas Airlangga (Unair). Menurut Nasih, 900 koruptor lulusan perguruan tinggi berada di wilayah tidak normal (outlayer). (Surabaya.net, 19/12/2023)

 

Bukti Gagalnya Sistem Pendidikan 

 

Tindak korupsi di negeri ini memang telah menjamur. Meski ada badan khusus untuk menyelesaikan korupsi (KPK), tetapi nyatanya tak mampu membendung tindak kejahatan tersebut. Mirisnya, ternyata mayoritas koruptor adalah lulusan perguruan tinggi. Astaghfirullah, mengapa hal ini bisa terjadi?

 

Maraknya lulusan perguruan tinggi yang menjadi koruptor mencerminkan betapa rendahnya kualitas pendidikan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi telah gagal mencetak generasi berkepribadian mulia, yaitu kepribadian Islam. Hal ini karena kurikulum pendidikan yang saat ini diterapkan senantiasa mengacu pada dunia bisnis. Terbukti dengan adanya program KnowledgeBasedEconomy (KBE) atau kunci pertumbuhan ekonomi. Di mana tujuan dari KBE ini adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dengan cara memberdayakan sumberdaya manusia sebagai tumpuannya.

 

Di sisi lain, mayoritas koruptor adalah lulusan perguruan tinggi juga menunjukkan lemahnya pemberantasan korupsi di negeri ini. Sebagaimana kita ketahui, hukuman bagi para pelaku korupsi demikian lemah dan tidak mampu memberikan efek jera. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dinyatakan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 setiap orang yang secara melawan hukum melaksanakan tindakan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara, maka hukumannya di penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Adapun denda paling sedikit Rp200.000.000, paling banyak Rp1.000.000.000. (Kompas, 14/7/2023)

 

Realita Sistem Demokrasi Kapitalisme 

 

Sejatinya, maraknya korupsi di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Penerapan sistem demokrasi kapitalisme telah mendorong manusia menghalalkan segala cara agar dapat meraih keuntungan. Pasalnya sistem ini menganut paham bahwa materi adalah segalanya. Di lain sisi, sistem ini pun mengemban paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Inilah yang menjadikan manusia sangat rentan terjerumus ke dalam kejahatan (korupsi) yang dalam pandangan agama terkategori maksiat.

 

Sistem demokrasi kapitalisme dan korupsi seolah dua sisi mata uang yang tak dapat terpisahkan. Hal demikian karena mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi kapitalisme, menjadikan para pemimpin yang terpilih kerap terpeleset melakukan penyelewengan kekuasaan. Itu karena mereka harus mengembalikan modal yang telah digelontorkan selama proses politik berlangsung.

 

Hal ini diperparah dengan lemahnya hukum yang ada. Sistem hukum dan sanksi di alam demokrasi bagi pelaku kejahatan, tak terkecuali korupsi demikian lemah, tidak berefek jera. Sehingga, pelaku kejahatan termasuk korupsi terus ada. Seolah tidak ada habisnya.

 

SistemIslamSolusibagiMasalah Korupsi

 

Islam hadir ke dunia ini sebagai solusi bagi seluruh problematik kehidupan. Dalam pandangan Islam, korupsi adalah jarimah (kejahatan). Karena itu, sistem Islam menetapkan hukuman yang jelas dan menjerakan untuk pelakunya. Islam juga memiliki mekanisme yang jitu untuk mencegah dan memberantas korupsi hingga tuntas seperti:

 

Pertama, sistem Islam mewajibkan negara agar sejak dini membina ketakwaan dan keimanan rakyatnya dengan menerapkan sistem pendidikan agama yang kuat. Dalam hal ini sistem Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas kurikulum pendidikan. Akidah Islam inilah yang akan mampu membentengi manusia dari perbuatan tercela dalam kesehariannya. Manusia akan selalu sadar akan adanya pengawasan dari Allah Swt..

 

Kedua, sistem Islam pun akan mendorong negara agar membudayakan amar makruf nahi mungkar dan saling menasehati di tengah masyarakat. Sehingga ketika kejahatan terjadi bisa segera dicegah dan diatasi. Sebab, masyarakat tak segan saling menasehati.

 

Ketiga, sistem Islam pun jika diterapkan akan mampu membuat negara memberi gaji yang cukup bagi seluruh rakyat yang bekerja. Baik yang bekerja di pemerintahan ataupun karyawan biasa. Sebab upah dalam sistem Islam upah pekerja akan disesuaikan dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja, dan tempatnya.

 

Keempat, sistem Islam pun memiliki sanksi dan hukuman yang tegas dan menjerakan bagi pelaku kejahatan. Jika ada yang terbukti melakukan korupsi, maka sistem Islam akan memaksa pelaku untuk mengembalikan dana yang dikorupsinya. Negara yang menerapkan sistem Islam pun tidak akan segan-segan memecat pejabat yang terbukti melakukan korupsi. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menyita kekayaan para pejabat yang bukan didapat dari gaji mereka. Tentunya, sanksi dan hukuman ini bisa bersifat sebagai pencegahan sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku maupun orang lain. Sehingga tidak ada lagi celah lahirnya kejahatan serupa.

 

Selain itu, biaya politik dalam sistem Islam demikian murah bahkan bisa jadi tidak berbiaya. Hal ini karena setiap pemimpin baik wali (gubernur) atau amil (penguasa setingkat kabupaten/kota) dipilih langsung oleh Khalifah, bukan oleh rakyat.

 

Sedangkan pemilihan kepala negara langsung dipilih oleh rakyat dan prosesnya pun tidak berbelit. Berdasarkan ijmak sahabat hanya 3 hari sampai proses baiat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan para sahabat yang langsung mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq 3 hari sepeninggal Rasulullah saw..

 

Melalui mekanisme demikian, maka dapat dipastikan tidak ada biaya pilkada yang mahal. Sehingga tidak ada peluang bagi pemimpin yang terpilih melakukan korupsi dan penyelewengan kekuasaan.

 

Demikianlah beberapa mekanisme yang ditempuh sistem Islam untuk memberantas tindak korupsi. Semoga sedikit penjelasan di atas mampu membuka mata dan pikiran kita semua bahwa hanya sistem Islamlah satu-satunya yang mampu menuntaskan masalah korupsi hingga ke akar. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Penulis : Reni Rosmawati (Ibu Rumah Tangga)

 

 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.