17 Mei 2024

Larangan Mudik – Ramadan tinggal menghitung hari, sebentar lagi umat Islam akan menunaikan ibadah puasa. Sudah menjadi tradisi tahunan, mudik menjadi momen yang paling dinanti. Bertemu sanak saudara di kampung halaman. Berlebaran dan bersilaturahmi menjadi tradisi di awal bulan Syawal.

Nampaknya tahun ini masyarakat masih harus bersabar untuk tidak mudik. Seperti diketahui bahwa larangan mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19 di seluruh Indonesia. Sama halnya lebaran setahun silam, ketika pandemi memasuki bulan ke empat di Indonesia. Artinya dalam satu tahun belum ada tanda-tanda kurva melandai, justru makin tinggi.

Seperti dikutip CNN Indonesia, 26-03-2021, Pemerintah resmi mengumumkan larangan mudik lebaran 2021 pada 6-17 Mei 2021. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy “Cuti bersama Idul Fitri satu hari ada, tapi enggak boleh ada aktivitas mudik. Pemberian bansos akan diberikan,” kata Muhadjir di Jakarta, Jumat (26/3).

Aturan Plin Plan Membingungkan Banyak Kalangan

Kebijakan larangan mudik ini tentu membingungkan dan mengecewakan banyak pihak. Para perantau harus kecewa untuk kedua kalinya. Demikian juga pedagang di terminal, pengusaha rumah makan dan rest area.

Terlebih lagi armada transportasi, awalnya tidak ada larangan mudik merupakan kabar gembira. Berharap bisa menaikkan pendapatan yang nyaris ambruk oleh pandemi. Mudik lebaran adalah musim panen bagi armada transportasi.

Namun larangan mudik ini memupuskan harapan para pengusaha bidang transportasi. Mengingat larangan mudik ini bukan sekedar himbauan, namun juga ada sanksi hukum bagi yang melanggar. Meskipun sanksi tersebut belum dijelaskan secara spesifik, namun pengusaha transportasi tentu wajib mematuhi regulasi yang ada.

Larangan Mudik Efektif Menurunkan Penyebaran Virus?

Sejak pandemi memasuki negeri ini, negara sudah gagap dan gagal dalam pencegahan dan penanggulangan. Masyarakat hanya dilarang keluar rumah, namun tidak dicukupi kebutuhannya. Akhirnya mereka terpaksa keluar rumah demi mencari nafkah.

Baca Juga: Anak muda melek politik islam

Penyebaran kasus tidak hanya disebabkan mudik, faktanya pada hari biasa pun belum ada tanda-tanda kurva melandai. Salah satu penyebabnya karena sulit menerapkan prokes dengan baik. Yaitu mendisiplinkan masyarakat untuk melakukan 3M yakni memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Minimnya sosialisasi dan masyarakat yang cenderung abai.

Larangan mudik juga tidak akan efektif karena banyak juga masyarakat yang curi “start” mudik. Begitu pula pengawasan di lapangan tidak mungkin bisa terkontrol setiap kendaraan yang melintas. Larangan mudik justru memicu kerumunan perantau yang tidak mudik mengunjungi daerah wisata saat libur lebaran.

Gagal Sejak Awal Akibat Salah Kebijakan

Harus diakui bahwa berapa kali kebijakan yang diambil pemerintah tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Seandainya saja kebijakan lockdown diterapkan sebelum wabah menyebar. Kemudian dibarengi dengan menjamin kebutuhan pokok masyarakat yang dikarantina. Melakukan penanganan yang cepat dan cermat bagi pasien tersuspect. Tentu penanggulangan  tidak akan berlansung lama dan menyebarkan luas.

Namun hal ini tidak akan ditemui di negara yang menganut asas kapitalisme sekuler. Bagi negara, nyawa rakyat bukanlah prioritas utama. Tidak ada pencegahan secara ketat bagi warga negara asing masuk, bahkan terkesan dibiarkan. Anggaran penanggulangan Covid-19 untuk kesehatan pun kalah jauh besarnya dengan anggaran penyelamatan ekonomi.

Ketika kebijakan diambil bukan demi keselamatan rakyat, maka bisa dipastikan semakin lama kita bebas dari pandemi ini. Miris memang, kegagalan dunia menjaga nyawa rakyat harusnya menjadi momen tobat global. Manusia memang tidak mampu mengatur urusan bernegara dengan sistem ciptaan manusia.

Peran Pemimpin Dalam Sistem Islam

Kepemimpinan dalam Islam adalah pelayan umat. Tugasnya asalah menjamin setiap warga negaranya mendapatkan kehidupan yang layak. Setiap kebijakannya selalu untuk kepentingan rakyat karena bersandarkan pada Al-Qur’an dan Sunah sebagai tolak ukur.

Sebagaimana sabda Rosullullah saw.:

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Seorang pemimpin juga sebagai pelindung umat. Setiap ada hal yang membahayakan warga negaranya, maka dialah yang terdepan pasang badan. Khalifah melindungi warganya dari ancaman musuh atau segala sesuatu yang membahayakan keselamatan.

Nabi Muhammad saw. bersabda:

Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Pemimpin seperti ini tidak akan pernah ditemui di negara manapun selama asas bernegaranya kapitalisme atau sosialisme. Karena kedua ideologi ini sudah pernah diterapkan dan terbukti gagal membawa masyarakat pada kesejahteraan. Kita hanya punya tiga pilihan ideologi yaitu sosialisme, kapitalisme, dan Islam.

Ideologi sosialisme nyatanya sudah gagal pasca runtuhnya Tembok Berlin sebagai simbol runtuhnya sosialisme yang diusung oleh Uni Soviet tahun 1991 silam. Meskipun saat ini sudah diusung oleh China yang nota bene sebuah negara besar yang berhasil mendominasi percaturan global. Tapi apakah umat mau diatur oleh sistem yang tidak mengakui keberadaan Tuhan?

Demikian pula sistem kapitalisme yang saat ini kita rasakan kebobrokannya. Apakah kita mau terus bertahan dengan sistem kufur ini? Bertahan dengan sistem kufur ini sama dengan melanggengkan kesengsaraan hidup. Harapan semu yang di manterakan demokrasi yang merupakan turunan kapitalisme tidak bisa dipercaya.

Lalu, pilihan kita cuma satu yaitu Islam. Sebuah ideologi yang menjadikan Al-Qur’an dan Sunah sebagai landasan bernegara. Sistem ini bukanlah sistem uji coba melainkan sistem yang diterapkan Rosullullah saw. Kemudian dilanjutkan khulafaur Rasyidin, Kekhilafahan Ummayyah, Kekhalifahan Abbasiyah, dan berakhir pada Kekhalifahan Utsmaniyah selama ribuan tahun.

Tidakkah kita merindukan kepemimpinan seperti Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu saat mendengar berita seekor keledai tergelincir kakinya dan jatuh ke jurang. Umar berkata: “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Ta’ala, “Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?”.

Wallahu a’lam bishshawaab

Penulis: Merli Ummu Khila | Pemerhati Kebijakan Publik

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.