25 April 2024

Bak memberi asa untuk mewujudkan negeri bebas minuman keras (miras). Hal itu lantaran dicabutnya peraturan terkait investasi miras yang sebelumnya menjadi kontroversi di tengah masyarakat negeri ini.

Sebagaimana dilansir dari Okezone bahwa pada 2 Maret 2021 Presiden Joko Widodo telah mencabut lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Poin yang menjadi sorotan sejumlah pihak adalah soal investasi miras. (07/03)

Keputusan ini diambil Presiden setelah menerima masukan dari berbagai ormas keagamaan seperti ulama MUI, NU, Muhammadiyah, dan tokoh-tokoh agama hingga pemerintah provinsi dan daerah.

Pencabutan aturan tersebut jelas memberi angin segar terutama bagi mayoritas penduduk negeri ini yang beragama Islam. Karena jika aturan tersebut dilegalkan maka sama saja dengan mengundang azab Allah dan keberkahan akan dicabut dari masyarakat negeri ini.

Hal tersebut disabdakan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabrani yakni, “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.”

Selain hal itu, efek negatif miras juga sangat buruk bagi kesehatan karena dapat meningkatkan risiko kanker, diabetes, dan penyakit lainnya. Kesehatan yang buruk tentu akan meningkatkan risiko kematian. Seperti yang dilaporkan dari WHO, sebanyak tiga juta orang di dunia meninggal akibat konsumsi alkohol pada 2016 lalu. Angka itu sama dengan satu dari 20 kematian di dunia akibat konsumsi alkohol (cnnindonesia.com, 24/09/2018).

Tak hanya itu, miras juga erat kaitannya dengan tindak kejahatan. Banyak pelaku kejahatan yang berada di bawah pengaruh miras. Contoh kasus terbaru di negeri ini ada seorang oknum polisi dalam keadaan mabuk (di bawah pengaruh miras) menembak empat orang. Tiga di antaranya meninggal, salah satunya anggota TNI. (kompas.com, 26/02/2021)

Itu hanya contoh satu kasus, faktanya masih banyak kasus lain seperti pencurian, perkelahian, perampokan, pemerkosaan, pembegalan, dll yang para pelakunya dipengaruhi oleh miras.

Pantas saja jika miras disebut sebagai induk kejahatan oleh Rasulullah, “Khamr adalah biang kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR. Ath-Thabrani)

Bahkan Rasulullah juga melaknat berbagai pihak yang terkait pada miras/Khamr, “Rasulullah Saw. telah melaknat terkait khamr sepuluh golongan: pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pengantarnya, yang minta diantarkan khamr, penuangnya, penjualnya, yang menikmati harganya, pembelinya, dan yang minta dibelikan,” (HR at-Tirmidzi)

Dalam Alquran yang menjadi pedoman hidup kaum Muslimin juga secara tegas bahwa Allah SWT melarang Khamr dan memerintahkan untuk menjauhinya, “Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (TQS Al-Maidah [5] : 90)

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa Islam melarang secara tegas dan total semua hal yang terkait dengan miras (khamr) mulai dari pabrik/produsen miras, distributor, penjual hingga konsumen (peminumnya).

Dengan demikian Islam pasti juga punya sanksi bagi pelanggarnya yang akan membuat jera. Bagi peminum khamr akan dikenakan hukuman 40 atau 80 cambuk. Kemudian bagi selain peminumnya akan dikenakan sanksi ta’zir yang diserahkan sesuai kebijakan Khalifah maupun hakim/Qadhi.

Oleh karena itulah ketika dilegalkan aturan terkait khamr ini banyak pihak yang menentangnya dan memberi masukan agar presiden menggagalkan aturan tersebut. Namun, apakah dicabutnya lampiran Perpres investasi miras ini akan mampu mewujudkan negeri bebas miras?

Bagai fatamorgana! Mungkin ini ungkapan yang tepat karena asa akan terwujudnya negeri bebas miras hanyalah harapan yang mustahil terealisasi. Hal ini disebabkan oleh industri miras, perdagangan eceran dan kaki lima yang sudah ada akan tetap berjalan.

Hal tersebut lantaran aturan yang dicabut bukan Perpresnya, tetapi hanya lampirannya. Itu pun hanya lampiran Bidang Usaha No.31 dan No.32. Sedangkan lampiran Bidang Usaha No.44 tentang Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol dan No.45 tentang Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol tidak dicabut.

Lalu, kenapa hal itu bisa terjadi padahal mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam yang pastinya sudah paham bahwa Islam mengharamkan khamr?

Hal tersebut merupakan akibat negeri ini tidak menerapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan. Islam hanya dianggap sebagai agama yang mengatur hubungan dengan Sang Pencipta (ibadah). Sementara dalam urusan negara seperti ekonomi dan politik menerapkan aturan kapitalis yang asasnya manfaat dan akidahnya sekuler (memisahkan agama dari kehidupan).

Akibat penerapan sistem kapitalis sekuler, maka bukan aturan Allah Al-Mudabbir (Sang Pengatur) yang diterapkan. Melainkan pembuatan aturan diserahkan kepada manusia melalui mekanisme demokrasi. Sehingga hasilnya miras tetap diizinkan beredar meski dengan embel-embel dibatasi dan diawasi.

Hal itu diputuskan sebab tolak ukur kapitalisme dalam segala hal (termasuk pembuatan hukum dan pengaturan urusan masyarakat) adalah keuntungan terutama materi. Dalam hal terkait miras bahwa industri dan perdagangan miras diklaim memberikan manfaat secara ekonomi, yakni memberikan pendapatan bagi negara.

Pada 2020, penerimaan cukai dari Etil Alkohol sebesar Rp240 miliar dan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) Rp5,76 Triliun (cnnindonesia.com, 02/03/2021).

Karena itu, selama sistem kapitalis sekuler tetap diadopsi dan diterapkan, negeri ini tidak akan bebas lepas dari jeratan miras. Masyarakat akan terus terancam dengan miras beserta segala kerusakannya.

Maka untuk mewujudkan negeri bebas miras harus dicampakkan lebih dulu sistem aturan pemicunya, yakni sistem kapitalis sekuler. Kemudian beralih menerapkan sistem aturan yang secara total mengharamkannya, yakni Islam. Wallahu a’lam!

Penulis: Wida Nusaibah | Pemerhati Kebijakan Publik

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.