13 Mei 2024

Seruan benci produk luar negeri, nampaknya hanya retorika belaka. Hal tersebut diperkuat dengan adanya gagasan bahwa pemerintah akan impor 1 juta-1,5 juta ton beras dalam waktu dekat ini.  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Airlangga Hartarto) mengatakan itu dilakukan demi menjaga ketersediaannya di dalam negeri supaya harganya tetap terkendali.

“Salah satu yang penting adalah penyediaan beras dengan stok 1 juta -1,5 juta ton,” ujarnya dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2021. (cnnindonesia.com. 04/03/2021)

Tentunya secara politik, steatment membenci produk luar negeri dan mencintai produk dalam negeri hanya slogan yang dijadikan sebagai alat untuk memikat hati rakyat. Karena faktnya impor terus berlangsung hingga mencapai jumlah yang besar tersebut.

Hal tersebut menunjukan adanya sikap tidak konsisten. Disisi lain, munculnya slogan “Benci Produk Luar Negeri” tidak disertai peta jalan untuk memandirikan kemampuan dalam negeri.

Gaung di dalam Negeri

Sebagaimana diberitakan bahwa Presiden Joko Widodo meminta agar kampanye cinta produk-produk Indonesia terus digaungkan dan meminta masyarakat agar ajakan untuk mengetahui produk-produk luar negeri disuarakan.

Hal itu beliau sampaikan saat membuka rapat kerja nasional Kementerian Perdagangan tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (4/3/2021). Menanggapi hal itu ekonom Indef Bhima Yudhistira berpendapat bahwa ditunjukkan oleh Presiden kurang konsisten dengan realitas yang terjadi. Dia menyatakan itu hanya menjadi slogan.

Sebab Menurut dia, Fakta berdasarkan, kontribusi impor Bahan baku Dan barang modal Cukup Tinggi selama 6 Tahun belakangan karena adanya Pembangunan Proyek Infrastruktur Pemerintah . “Besi baja impornya besar sekali. Tahun 2019 nilainya 10,3 miliar dollar AS, tahun 2020 6,8 miliar dollar AS.

Jadi sebenarnya sikap Presiden ini kurang konsisten dan hanya jadi slogan,” ujarnya saat dihubungi. Dia berpendapat untuk mengurangi kegiatan penting dari proyek pemerintah saja kurang dikendalikan, apalagi untuk memberitahukan ke masyarakat dan swasta untuk belanja produk-produk, cukup sulit sekali. (Kompas.com 04/03/2021)

Kebiasaan dalam mengimpor produk- produk luar negeri telah menggambarkan bahwa pemerintah telah berada dalam genggaman kebijakan ekonomi neo liberal. Artinya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif rakyatnya, rezim pemerintahan negeri ini membangun ketergantungan kepada negara lain. Bukan membangun kemandirian.

Solusi di dalam Islam

Dengan demikian dibutuhkan penguasa yang menerapkan kebijakan yang membawa pada visi dan misi yang jelas, yakni pemerintah yang dapat mengayomi warga negaranya sehingga memposisikan diri sebagai pelayan rakyat bukan sebagai pebisnis.

Baca juga: Hilangnya kemandirian pangan negara

Selain itu dibutuhkan aturan yang jelas pula, yakni syari’at islam yang melindungi warga negaranya. baik muslim mupun non muslim (kafir dzimmi). Dari sinilah dibutuhkan Negara yang mengemban Islm secara utuh (kaffah)

Perdagangan luar negeri ini, dalam pandangan Islam  dilihat dari orang yang melakukan perdagangan. Dalam hal ini, mereka bisa diklasifikasikan menurut negara asalnya, menjadi tiga: (1) Kafir Harbi, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum Muslim; (2) Kafir Mu âhad, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam; (3) Warga negara Islam.

Terkait dengan warga negara kafir harbi, mereka diperbolehkan melakukan perdagangan di negara Islam, dengan visa khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka. Kecuali warga negara “Israel”, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, dan negara-negara kafir harbi fi’lan lainnya, sama sekali tidak diperbolehkan melakukan perdagangan apa pun di wilayah negara Islam.

Sementara bagi warga negara kafir muâhad, dibutuhkan visa atau tidak, kembali kepada klausul perjanjian antara negara Khilafah dengan negara mereka. Jika arus orang, barang, dan modal itu tidak termaktub dalam klausul perjanjian tersebut, maka mereka membutuhkan visa khusus tadi. Semuanya ini di bawah kontrol Departemen Luar Negeri. Ini terkait dengan negara asal dan supliernya.

Sementara warga Negara Islam/ Khilafah, baik Muslim maupun nonmuslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan Negara Khilafah dan menguatkan musuh.

Dari sini tergambar jelas begitu sempurna dan utuhnya pengaturan negara khilafah dalam aspek perdagangan luar negerinya. Negara bervisi besar dan lengkapnya pengaturan yang digali dari Alquran dan Sunah ini pasti mampu mengatasi karut marut yang biasa terjadi pada urusan ekspor impor.

Sebagaimana firman Allah Swt., “Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS Al-Nisâ’ ayat141). Wallahu’alam bish showab.

Penulis: Asri Prasasti, SE.I

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.