7 Mei 2024

Korbankan Rakyat Demi Korporat – Upaya menurunkan gelombang Covid-19 di Indonesia tampaknya jauh panggang dari api. Pasalnya, di tengah kepungan wabah Corona yang kian menggila, negeri ini masih saja kedatangan puluhan tenaga kerja asing (TKA). Dilansir oleh WARTAKOTALIVE.COM, (5/7/2021), Indonesia kedatangan puluhan tenaga kerja asing asal China melalui Bandara Sultan Hasanuddin Makassar.

Sontak saja, hal ini memantik kehebohan masyarakat. Pasalnya kedatangan TKA kali ini bertepatan dengan hari pertama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali. Masyarakat menilai pemerintah tidak konsisten dalam penanganan Covid-19. Mereka menyayangkan kebijakan pemerintah yang memberikan izin TKA masuk Indonesia di tengah lonjakan kasus pandemi.

Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan, masuknya tenaga kerja asing (TKA) asal China di tengah lonjakan pandemi Covid-19, merupakan sebuah ironi yang melukai kaum buruh dan mencederai rasa keadilan.

Said Iqbal selaku Presiden KSPI mengatakan, kedatangan TKA tersebut semakin  menegaskan fakta UU Cipta Kerja. Pemerintah membuat klaster ketenagakerjaan untuk memudahkan TKA masuk, yang mana itu mengancam lapangan pekerja lokal.

Menurut Iqbal, dengan adanya UU Cipta Kerja, maka TKA yang masuk ke Indonesia hanya perlu melapor ke RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), tidak perlu menunggu memegang surat ijin dari Menaker (Menteri Ketenagakerjaan). Padahal dalam UU Ketenagakerjaan No 13/2003, seorang TKA diwajibkan mengantongi surat izin tertulis dari Menteri Tenaga Kerja untuk dapat masuk ke Indonesia. (Bisnis.com, 11/5/2021).

Korbankan Rakyat Demi Korporat - Upaya menurunkan gelombang Covid-19 di Indonesia tampaknya jauh panggang dari api.
Ilustrasi tenaga kerja asing, sumber: nasional.tempo.id

Sungguh tak punya hati, di saat rakyat mati segan hidup tak mau karena himpitan ekonomi, ribuan orang kehilangan pekerjaan akibat pandemi, sementara gerak rakyat pun dibatasi, pemerintah justru kembali memberikan izin bagi TKA China masuk negeri ini. Padahal sudah jelas nyata masuknya TKA selama pandemi adalah ironi. Terbukti kasus varian terbaru Covid-19 merupakan kasus yang diimpor, didapatkan dari mobilitas orang dan perjalanan internasional.

Kenyataan ini memang menyakitkan bagi masyarakat. Bagaimana tidak, dalam kondisi seperti ini semestinya negara beserta pemerintah berjuang sekuat tenaga melindungi dan menjaga rakyatnya, serta menghindarkan rakyatnya dari berbagai ancaman seperti melarang orang asing masuk ke Indonesia agar tidak terjadi penularan wabah berlanjut. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Baca juga: Menyoal hakikat kemenangan yang sebenarnya

Di saat rakyat berjuang sendiri menghadapi dilema pandemi, pemerintah justru menggelar karpet merah untuk para TKA. Sangat ironis, inilah yang terjadi ketika kebijakan negeri ini diatur oleh sistem kapitalisme-sekuler. Karakter kepemimpinan khas kapitalisme, membuat rakyat sendiri dianaktirikan dengan kebijakan-kebijakan yang pro asing.

Rakyat terus didorong untuk bekerja mandiri karena sempitnya lapangan pekerjaan. Di saat yang sama pemerintah justru membuka lapangan pekerjaan untuk TKA China, meski situasi tidak memungkinkan untuk memasukkan pendatang dari luar.

Di saat yang sama pemerintah justru membuka lapangan pekerjaan untuk TKA China, meski situasi tidak memungkinkan untuk memasukkan pendatang dari luar.
Ilustrasi kemiskinan, sumber: tandaseru.com

Mirisnya, negara dan penguasa dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator, bukan pengurus rakyat. Hal ini karena pemimpin dalam sistem kapitalis lahir dari rahim para korporat. Itulah sebabnya, seluruh kebijakan yang mereka keluarkan pun senantiasa tunduk pada kepentingan para kapital. Mereka merencanakan dan mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja demi memuluskan bisnis korporat.

Meski harus mengorbankan kebutuhan dan keselamatan rakyat. Mudahnya TKA China masuk ke Indonesia sebagai konsekuensi dan fasilitas yang harus diberikan dari disahkannya UU Cipta Kerja, menjadi bukti nyata bahwa adanya UU Cipta Kerja sejatinya untuk mempermudah bisnis para kapital bukan untuk rakyat.

Baca juga: Kek lido, romantisme kemakmuran

Melihat semua kondisi ini, jelaslah bahwa ini adalah problem sistemik. Maka untuk menyelesaikannya dibutuhkan upaya secara sistemik pula. Yakni, dengan mencabut sistem ekonomi kapitalisme yang melahirkan UU menyengsarakan. 

Diganti dengan sistem ekonomi yang adil dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat, yaitu sistem ekonomi yang sesuai dengan syariat Islam. Karena ideologi Islam adalah solusi sistematis yang datang dari Zat Pembuat Hukum sesungguhnya yaitu Allah Swt. yang tentunya akan mampu mengatasi seluruh problematika kehidupan.

Ilustrasi sistem ekonomi yang adil, sumber: kedaipena.com

Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), negara dan penguasa berfungsi menerapkan syariat Islam secara total guna menjamin keseimbangan ekonomi dalam segala kondisi. Meskipun sedang terjadi wabah pandemi. Di saat terjadi wabah pandemi, negara Islam berikut penguasanya akan dengan sigap melakukan berbagai cara agar wabah segera berakhir.

Negara khilafah pun akan melarang keluar masuk warga negara yang terbukti menjadi tempat wabah. Selain itu, negara Islam (khilafah) dan penguasa Islam (khalifah) tidak akan membiarkan rakyatnya susah payah mencari kerja atau memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri.

Baca juga: Tips menjaga ghirah menulis agat tetap menyala

Hal ini karena bagi Islam kemandirian ekonomi adalah bagaimana rakyat bisa bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya. Bukan bagaimana rakyat menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini sama seperti negara berlepas diri dari tanggungjawabnya sebagai pelayan rakyat.

Negara dan penguasa yang berlandaskan Islam, akan melaksanakan tanggung jawabnya meriayah (mengurus), melindungi, dan memastikan kemaslahatan rakyat sebaik mungkin. Seluruh kebijakan yang dikeluarkannya pun semata-mata hanya demi kemaslahatan rakyat bukan yang lain. Hal ini karena penguasa Islam (khalifah) tahu betul betapa berat tanggungjawabnya sebagai pemimpin.

Negara dan penguasa yang berlandaskan Islam, akan melaksanakan tanggung jawabnya meriayah (mengurus), melindungi, dan memastikan kemaslahatan rakyat sebaik mungkin.
Ilustrasi negara dan penguasa, sumber: yakusaaa.blogspot.com

Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (khalifah) itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al-Bukhari dan Imam Ahmad)

Dalam Islam, bekerja adalah kewajiban bagi laki-laki yang telah akil balig. Kewajiban ini berkaitan dengan tanggung jawab syariat yang dibebankan kepadanya untuk menanggung orang yang ada dalam walinya. Sementara yang tidak memiliki kemampuan karena sakit, cacat, janda yang tidak memiliki kerabat yang menanggung nafkahnya, maka negara yang akan menanggungnya.

Baca juga: Khilafah solusi tepat atasi penistaan agama

Demi memastikan kewajiban ini terlaksana dengan baik, maka negara khilafah akan memberikan modal usaha kepada rakyatnya serta membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya.  Pembukaan lapangan pekerjaan negara khilafah akan dilakukan dengan mengelola SDA secara mandiri.

Tentunya, pengelolaan ini akan membutuhkan banyak tenaga ahli maupun teknis. Jika memang memerlukan tenaga ahli asing, mereka hanya akan disewa karena keahlian juga kemampuannya, untuk akad ijarah dan mengajarkannya kepada kaum muslimin. Selanjutnya, jika umat muslim telah menguasai kemampuan tersebut, negara bisa dengan mudah menghentikan kontrak kerja.

Tentunya, pengelolaan ini akan membutuhkan banyak tenaga ahli maupun teknis. Jika memang memerlukan tenaga ahli asing, mereka hanya akan disewa karena keahlian juga kemampuannya, untuk akad ijarah dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.
Ilustrasi pengelolaan sumber daya alam, sumber: kompas.com

Selain memberikan modal usaha dan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, khilafah pun akan memanfaatkan lahan yang luas untuk padat karya. Dalam Islam, tanah yang terlantar selama lebih dari tiga tahun akan diambil alih oleh negara, diserahkan kepada pihak yang membutuhkan dan sanggup untuk mengelolanya.

Dengan mekanisme demikian, maka akan memudahkan bagi masyarakat dalam memperoleh pekerjaan guna mencukupi kebutuhan pokok hidupnya. Serta peluang lapangan pekerjaan dikuasai asing pun akan tertutup rapat.

Demikianlah perbedaan sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalisme-sekuler. Dari sini, maka tak ada keraguan lagi untuk kembali kepada Islam dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan. Serta mencampakkan sistem kapitalisme-sekuler biang kerusakan.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.

Penulis: Reni Rosmawati | Ibu Rumah Tangga

Editor: Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.