6 Mei 2024
11 / 100

 

 

 

 

Oleh Irma Faryanti
Pegiat Literasi

 

Hingar bingar pemilihan umum telah berlalu, namun nampaknya kesempitan hidup yang akan dihadapi masyarakat akan terus melaju. Di tengah himpitan ekonomi akibat harga kebutuhan pokok yang kian melambung tinggi, rakyat harus menelan kenyataan pahit bahwa beban berat di kemudian hari tengah menanti.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menegaskan bahwa seluruh kebijakan di era pemerintahan Jokowi akan dilanjutkan oleh presiden terpilih berikutnya. Termasuk mengenai kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipastikan akan naik sebesar 12 persen di tahun 2024. Hal ini diungkap Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto yang menyatakan bahwa kenaikan tarif ini disebabkan oleh keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program keberlanjutan dari Presiden sebelumnya, termasuk rencana kenaikan PPN tersebut. (tirto.id, Jumat 8 Maret 2024)

Sebelumnya, Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pasal 7 ayat 1 telah mengubah tarif PPN yang semula 10% menjadi 11% pada April 2022. Dan akan kembali naik 12 persen di tahun 2025 mendatang. Airlangga menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan paling rendah 5% dan maksimal 15%. Ia juga memastikan bahwa keputusan tersebut tidak akan mengalami penundaan, namun Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan bidang komunikasi strategis, Yustinus Prastowo mengungkapkan bahwa pelaksanaannya tentu melihat dinamika kondisi perekonomian 2024, jika perlu penyesuaian akan dibicarakan kembali dengan DPR.

Menyikapi hal ini, Febrio Kacaribu selaku Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menyatakan bahwa tahun ini bukan waktu yang tepat untuk kenaikan tersebut karena Indonesia masih mewaspadai kondisi perekonomian global dan perlu menjaga resiliensi atas efek bunga yang cukup tinggi.

Seperti yang kita ketahui, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pungutan yang dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi yang dibebankan pada konsumen (pembeli). Itu sebabnya kita akan mendapati di lembar struk pembelian tercantum PPN atau istilah lain dikenal dengan VAT (valueaddedtax). Adapun barang-barang yang biasanya terkena kenaikan tarif adalah: layanan fintech (termasuk transaksi pinjol), aset kripto, pembelian mobil bekas, penyaluran LPG nonsubsidi, akomodasi jasa keagamaan atau perjalanan wisata, tarif paket internet, layanan perbankan, harga barang di pasar modern dan layanan TV kabel.

Dengan adanya kenaikan tarif ini, otomatis harga barang pun akan ikut naik. Termasuk layanan kuota dan paket internet yang saat ini seolah telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat, karena berbagai layanan publik saat ini tidak bisa lepas dari akses digital. Dari sekian banyak barang yang biasa terkena pajak tersebut, masih terbuka kemungkinan objek baru yang akan dikenai PPN akan bertambah. Terlebih dengan jumlah utang senilai Rp8.041 triliun per November 2023, yang pembayarannya dibebankan pada penduduk Indonesia. Yang jika dikalkulasikan per orang akan menanggung kurang lebih Rp28 juta.

Inilah cara pandang kapitalis dalam mengatasi masalah utang, yaitu dengan menaikkan tarif dan mencari objek yang bisa dikenai pajak. Maka dari itu kenaikannya akan menjadi kebijakan yang pasti siapapun pemimpinnya. Pun jika tidak naik, akan beralih pada sektor lain yang bisa menambah pendapatan negara. Inilah yang terjadi ketika sebuah pemerintahan menerapkan aturan kapitalisme.

Setiap pemerintahan yang menganut ideologi kapitalisme akan memungut pajak dari rakyatnya, karena apa yang mereka tunaikan akan menambah pemasukan bagi negara. Selain itu, pemasukan juga diperoleh dari retribusi, keuntungan BUMN, pencetakan uang kertas juga hadiah (hibah). Penerapannya pun ditujukan pada perorangan, badan usaha dan lembaga-lembaga masyarakat, tanah dan bangunan, barang produksi, perdagangan juga jasa.

Oleh karena itu, keputusan untuk menaikkan pajak otomatis akan membebani masyarakat walaupun bisa menutup defisit anggaran negara. Jika memilih rakyat agar tidak terbebani, langkah lain yang diambil adalah dengan cara berutang. Dampaknya akan lebih buruk lagi, penguasa akan menghapus subsidi, mengurangi anggaran serta memprivatisasi BUMN dalam rangka liberalisasi ekonomi.

Berbeda dengan kapitalis, Islam memiliki sumber pemasukan negara yang nantinya ditempatkan di Baitul mal, yang diperoleh dari: fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, kekayaan haram pejabat dan pegawai, juga dari khumusrikaz dan pertambangan, hartanya orang yang tidak memiliki ahli waris juga milik orang murtad.

Pengambilan pajak pun berbeda dengan kapitalis, baik dilihat dari subjek dan objek pajaknya atau cara pemungutannya, walaupun dari segi istilah yang digunakan sama. Dalam Islam dikenal dengan Dharibah, yaitu jalan terakhir yang diambil ketika kas Baitul mal benar-benar kosong dan tidak mampu menunaikan kewajibannya. Dalam kondisi inilah pungutan akan diambil dari kaum muslim saja, dari sisa nafkah setelah dikurangi kebutuhan hidup. Juga dari orang-orang kaya setelah mereka memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya. Namun pemungutannya hanya sebatas kebutuhan Baitul mal saja, jika sudah terpenuhi maka harus dihentikan pengambilannya.

Islam tidak menjadikan pajak sebagai beban ekonomi yang berat bagi masyarakat. Karena penerapannya ditujukan atas individu (jizyah dan dharibah atas kaum muslim) tanah kharaj dan cukai atas barang impor. Jadi pemungutannya hanya bersifat sementara bukan menjadi agenda rutin. Karena syariat telah menetapkan dua sumber penerimaan lainnya bagi negara, yaitu kepemilikan umum dan sedekah.

Kepemilikan umum yang dimaksud adalah: Pertama fasilitas/sarana yang dibutuhkan banyak orang seperti air, padang rumput dan jalan-jalan. Kedua, barang-barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas, seperti: minyak bumi, emas, logam mulia dan lain sebagainya. Ketiga, sumber daya alam yang tidak boleh dimiliki oleh individu seperti: laut, sungai, danau dan lain sebagainya.

Kepemilikan umum ini akan memberi potensi besar dalam menghasilkan pendapatan bagi negara jika dikelola secara mandiri. Bukan dengan mewajibkan penarikan pajak seperti yang dilakukan dalam sistem kapitalis, di mana akan berdampak buruk bagi perekonomian dan bisa meningkatkan kemiskinan suatu bangsa. Seorang penguasa Muslim akan memperhatikan itu semua dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Karena semua itu merupakan bagian dari tanggung jawabnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR al Bukhari:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”

Untuk bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi hanya bisa dilakukan dengan kembali pada syariat Allah Swt. Menerapkan hukum-hukum-Nya di setiap aspek kehidupan secara keseluruhan dalam naungan sistem kepemimpinan Islam.
Wallahu alam Bissawab. [DMS]

Editor: Reni Rosmawati

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.