30 April 2024
8 / 100

 

 

 

 

Belum lama ini dunia maya diramaikan dengan kasus penganiayaan seorang balita berinisial JAP yang baru berusia 3 tahun, oleh pengasuhnya (IPS). Kejadian ini cukup menyita perhatian publik mengingat korban merupakan anak dari seorang selebgram asal Jawa Timur yaitu Aghnia Punjabi. Pelaku menyiksanya dengan bengis, hingga menyebabkan luka lebam di wajah.

Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polresta Malang, Kompol Danang Yudanto mengungkap motif di balik penganiayaan. Pelaku mengaku kesal karena korban menolak diberi obat untuk luka cakar di wajahnya. Meski demikian hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan penyiksaan, pihak kepolisian pun terus melakukan pendalaman kasus tersebut melalui pemeriksaan CCTV. Atas perbuatannya tersangka dijerat pasal 80 (1) sub (2) Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan ancaman penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah. (Liputan6.com, Sabtu 30 Maret 2024)

Kasus kekerasan terhadap anak bukan kali ini saja terjadi, bahkan semakin meningkat. Dilansir dari Jawapost.com, KPAI mencatat, sepanjang tahun 2023, setidaknya ada 2.355 kasus, 723 diantaranya terjadi pada satuan pendidikan. Baik terkait bullying, penyiksaan fisik juga seksual, pengasuhan, kesehatan dan lain sebagainya. Sementara itu, sumber lain menyatakan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan bahwa terdapat 16.854 anak yang menjadi korban pada rentang waktu yang sama.

Kasus kekerasan yang terus berulang seharusnya mendapat perhatian dan penanganan serius dari pemerintah. Karena pelanggaran hukum ini terus terjadi dari mulai perkotaan hingga pelosok pedesaan. Keamanan anak masih dalam ancaman, mereka terancam eksploitasi bahkan kehilangan nyawa. KPAI sendiri menyebut beberapa faktor penyebab terjadinya peristiwa ini yaitu: adanya budaya patriarki, penelantaran, kesalahan pola asuh, rendahnya pengontrolan, kurangnya kesadaran untuk melaporkan, maraknya pornografi, pengaruh media, dan lain sebagainya.

Namun, dari semua penyebab yang disebutkan, faktor terbesar dari semua itu adalah akibat sistem sekuler yang saat ini tengah diterapkan. Sebagai turunan dari kapitalisme, ide ini cenderung menjauhkan peran agama dari kehidupan. Sudut pandang manusia dalam menilai sesuatu sering didasarkan pada manfaat yang hendak diraih. Pengendalian emosi yang kurang, mampu membutakan mata sehingga tega menyakiti sesama.

Sistem kapitalis juga minim akan pencegahan, hal ini tampak dari semakin meningkatnya kasus serupa dari waktu ke waktu. Ketidaktegasan sanksi bagi pelaku, tidak memberi efek jera bagi pihak lain untuk tidak melakukannya. Bahkan jenis penyiksaannya semakin variatif dan kejam.

Dalam sebuah negara kapitalis, peran keluarga dalam melindungi anak-anaknya dinilai sangat minim. Karena orang tua sering disibukkan oleh aktivitas bekerja. Ibu yang seharusnya berperan penuh dalam mengasuh dan mendidik buah hatinya, justru harus turut bekerja demi menopang ekonomi keluarga. Sementara anak dibiarkan diasuh oleh orang lain sehingga terabaikan, kurang perhatian, hingga mendapat perlakuan yang tidak sepatutnya.

Inilah yang terjadi ketika aturan kapitalis yang dijadikan sebagai pijakan. Peran orang tua tidak berjalan sebagaimana mestinya akibat kurangnya pemahaman mereka tentang pola pengasuhan anak. Padahal dalam Islam, anak harus dibekali oleh landasan yang kuat sejak dini. Yaitu dengan membekali akidah Islam dalam diri mereka, hingga terbentuk ketaatan kepada sang Pencipta.

Di sisi lain, negara juga bisa melakukan pencegahan peningkatan kasus serupa dengan meminimalisir penyebarannya di tengah masyarakat agar tidak terulang hal serupa. Salah satunya dengan pengontrolan ketat dan pengawasan konten pada media, agar tontonan yang dihasilkan senantiasa menjadi tuntunan, bukan berbau kekerasan, pornografi ataupun maksiat.

Penetapan sanksi tegas juga turut membantu mencegah terjadinya kasus serupa. Dengan hukuman yang memberi efek jera, orang akan berpikir berkali-kali untuk melakukan kemaksiatan serupa. Karena sejatinya dalam Islam, manusia dituntut saling menyayangi, tidak semena-mena apalagi berbuat zalim kepada orang lain. Rasulullah saw. bersabda dalam HR. Bukhari dan Muslim: “Bertakwalah kepada Allah, dan takutlah kalian pada perbuatan zalim, karena sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat.”

Dalam Islam, anak adalah aset berharga, generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangan membangun peradaban. Baik buruknya masa depan sebuah negara, tergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Maka harus ada upaya untuk membuat mereka cerdas, berkualitas, baik secara akademis, emosional dan spiritual. Penguasa juga akan memberikan perlindungan baik secara fisik, psikis, moral, ekonomi dan lain sebagainya. Menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan, keamanan dan kehormatan, melindungi hak-haknya, serta menjaga dari pergaulan yang bisa mengantarkan pada kehancuran.

Setidaknya ada tiga pihak yang bisa merealisasikan semua itu: Pertama, keluarga yang berperan sebagai sekolah pertama dan utama bagi anak. Kerjasama ayah dan ibu sangat penting dalam menjaga, membekali dengan agama, mencukupi gizinya dan memberi pengasuhan serta pendidikan yang baik. Kedua, lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak, agar terhindar dari kekerasan dan kemaksiatan, melalui kewajiban amar makruf nahi mungkar. Ketiga, negara yang kedudukannya sangat penting yaitu sebagai kunci dalam mewujudkan sistem pendidikan, sosial, dan keamanan dalam melindungi warganya. Melalui kekuasaannya, penguasa akan menetapkan hukuman bagi pelaku yang bisa memberi efek jera bagi masyarakat sekitar untuk tidak melakukan hal serupa.

Penguasa juga akan memberi jaminan pemenuhan atas perekonomian masyarakat, membuka lapangan kerja agar para laki-laki bisa mencari nafkah dan para ibu fokus mendidik dan mengasuh buah hatinya agar kelak menjadi generasi penerus yang berkualitas. Hanya dalam naungan kepemimpinan Islam lah semua itu bisa terwujud. Sebuah institusi yang akan menerapkan aturan Allah Swt. di setiap aspek kehidupan. Wallahu alam Bissawab. [DMS]

Penulis Irma Faryanti

Pegiat Literasi

Editor Reni Rosmawati 

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.