30 April 2024

Penulis : Pipit Agustin (Koordinator JEJAK)

Dimensi.id-Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak (PP Kebiri Kimia). Keputusan ini langsung menuai pro dan kontra.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) berharap PP ini dapat memberikan efek jera bagi para pelaku. Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar, mengatakan kekerasan seksual terhadap anak harus ditangani secara luar biasa. Salah satunya dengan kebiri kimia terhadap para pelaku yang dinilai telah merusak masa depan bangsa Indonesia. (kompas.com, 4/1/2021).

Namun di pihak yang kontra, seperti Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A.T. Napitupulu, menyebut PP ini memuat banyak masalah. Seperti tidak detail dalam mekanisme pengawasan, pelaksanaan, dan pendanaannya.

Menurutnya, bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Kemudian, pelaksanaan kebiri membutuhkan sumber daya dan mahal. (bbc.com, 4/1/2021).

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) belum bersikap dan mengaku bakal mencari jalan tengah merespons terbitnya PP ini. Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) IDI, Nazar, mengaku heran ada aturan yang mengatur dokter menjadi pelaksana tindakan kebiri kimia. Sebab, terang dia, perlakuan itu bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter. (cnnindonesia.com, 5/1/2021).

Pro kontra kebiri sebagai solusi atas kekerasan seksual pedofil merupakan indikasi problem sistemik. Persoalannya bukan hanya memperbaiki sistem sanksinya melainkan memperbaiki tatanilai yang membangun dan mengatur  kehidupan kita hari ini. Inilah sumber persoalan yang lebih mendasar. Bukan waktunya kita hanya menyalahkan lalu menghukum pelaku kejahatan, tetapi abai terhadap norma-norma yang menjadi atmosfer kehidupan kita.

Kekerasan dan kejahatan seksual yang mewabah adalah gejala masyarakat Barat yang liberal. Wabah ini ditularkan ke negeri-negeri muslim melalui injeksi media dan ditopang oleh industri hiburan. Nilai-nilai sekuler ini merasuki masyarakat dan secara perlahan tapi pasti mengubah mental masyarakat layaknya predator seksual. Mengerikan.

Nilai-nilai seksualisasi ala Barat ini mengubah masyarakat memiliki cara pandang yang murah terhadap relasi perempuan dan laki-laki, yakni sebatas konteks pemuasan syahwat. Bahkan rasa kemanusiaan dikalahkan oleh nafsu kebebasan. Pada akhirnya, nilai sekuler liberal ini mengikis mental tanggung jawab dalam masyarakat dalam melihat relasi hubungan antara perempuan dan laki-laki secara sehat.

Karenanya, kita tidak cukup hanya menyalahkan individu pelaku. Tidak cukup hanya dengan menangkap dan menghukum pelaku. Pelaku tindak kekerasan seksual tidak punya benteng iman yang kuat. Namun, di balik semua itu, kita patut menengok sistem pendidikan hari ini yang mandul menjaga akidah individu.

Konten porno dikonsumsi setiap waktu, begitu juga miras dan narkoba. Aurat dimana-mana.

Jika negara tegas terhadap pelaku, tetapi tidak tegas terhadap produsen pornoaksi, maka negara gagal memberikan rasa aman.

Pemberatan hukuman terhadap pelaku tidak akan berpengaruh signifikan terhadap ketergantungan kasus kekerasan seksual.

Di sisi lain, negara tidak boleh mengandalkan pada peran  keluarga dan masyarakat saja tetapi negara harus menjadi garda terdepan melindungi masyarakat. Caranya dengan melarang segala bentuk kepornoan. Negara pantang berhitung pajak dari bisnis maksiat kepornoan.

Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang integratif dan komprehensif, dan Islam menawarkannya.

Islam Menawarkan Sanksi yang Pro Akidah

Syariat Islam tegas mengharamkan perilaku liberalisme, berzina ataupun mendekati zina, memperkosa/pelecehan seksual, sekalipun semua itu suka sama suka. Pelarangan ini disertai sejumlah sanksi dan mengandung efek jera. Sanksi dalam Islam didesain sedemikian rupa sehingga memiliki dua fungsi sekaligus.  Pertama fungsi jawabir (penebus), yaitu sanksi hukuman di dunia dapat menghapus (menggugurkan) sanksi hukuman di akhirat. Kedua fungsi zawajir (pencegah), yaitu mencegah manusia lain dari perilaku kemaksiatan.

Sanksi bagi pemerkosa atau pelaku pelecehan seksual yang sampai menzinai, dibedakan menjadi dua.

Pertama, sanksi bagi pezina dan pemerkosa yang belum menikah. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik dalam kitab Muwatha’ pelaku wajib dicambuk 100 kali cambuk dan boleh diasingkan selama satu tahun, serta memberikan “mahar” (denda) yang diberikan kepada korban.

Sesuai firman Allah,

الزّانِيَةُ وَالزّانى فَاجلِدوا كُلَّ وٰحِدٍ مِنهُما مِا۟ئَةَ جَلدَةٍ ۖ وَلا تَأخُذكُم بِهِما رَأفَةٌ فى دينِ اللَّهِ إِن كُنتُم تُؤمِنونَ بِاللَّهِ وَاليَومِ الءاخِرِ ۖ وَليَشهَد عَذابَهُما طائِفَةٌ مِنَ المُؤمِنينَ.

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS an-Nur: 2).

Tentang diasingkan selama satu tahun, berdasarkan hadis Rasulullah Saw.,

“Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. menetapkan bagi orang yang berzina tetapi belum menikah diasingkan selama satu tahun, dan dikenai hukuman kepadanya.”

Sedangkan bagi pezina dan pemerkosa yang belum menikah dan melakukannya disertai ancaman serta menakut-nakuti, maka wajib dicambuk 100 kali cambuk dan boleh diasingkan selama setahun serta dipenjara selama tiga tahun.

Jika disertai penganiayaan yang melukai tubuh korban, pelaku didenda sesuai jenis penganiayaan dan dendanya diberikan kepada korban.

Adapun besarnya denda penganiayaan organ tubuh, yaitu satu organ tubuh yang terdiri dari 10 organ, misalnya jari-jari tangan, maka dendanya adalah per jari yang rusak didenda sepersepuluh diyat.

Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Nasa’i, satu diyat itu setara dengan 100 unta atau 1.000 dinar (1 dinar= 4,25 gram emas).

Sedangkan bagi korban, tidak ada had/hukuman baginya, karena dia dipaksa. Allah SWT berfirman,

ۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ

“Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah: 173).

Sementara itu, bagi pezina atau pemerkosa yang sudah pernah menikah dan melakukannya disertai ancaman dan menakut-nakuti, maka pelaku wajib dihukum rajam sampai mati.

Jika disertai penganiayaan yang melukai tubuh korban, pelaku sebelum dihukum mati, didenda sesuai dengan jenis penganiayaan dan dendanya diberikan kepada korban.

Islam mengatur secara rinci sanksi pelaku kekerasan seksual. Jika dibandingkan produk hukum sekuler hari ini, hukum Islam jelas sangat humanis dan solutif.

Penting dipahami bahwa sebelum menghadirkan sanksi, sistem Islam mengatur kehidupan masyarakatnya dengan pengaturan sesuai syariat yang rinci. Masyarakat di bangun di atas fondasi iman dan takwa kepada Allah SWT. Benteng akidah inilah yang menjadi penghalang tindak kejahatan karena berimplikasi pada dosa.

Sistem Islam juga sangat kondusif bagi upaya amar makruf nahi mungkar. Budaya saling menasihati sesama merupakan pencegahan kolektif dari tindak kejahatan.

Terakhir, negara sebagai pilar terakhir penjaga masyarakat yang berhak menerapkan sanksi apabila  terjadi tindak kejahatan individu maupun kelompok masyarakat.

Sungguh, semesta persoalan kekerasan seksual yang ada hanya akan dapat diselesaikan dengan Islam melalui penerapan syariahnya dalam aturan kehidupan bernegara. Dengan kesempurnaan Islam yang telah Allah rekomendasikan, sudah sepatutnya kita mengambilnya sebagai pedoman.

Editor : Fadli

Apa pendapatmu?

This site uses User Verification plugin to reduce spam. See how your comment data is processed.